Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Feminisme dan Islam: Bersama untuk Kesetaraan Gender
7 Maret 2025 13:22 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Natasha Andriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
A. Pendahuluan
Dalam perdebatan mengenai hak perempuan dan keadilan gender, feminisme dan Islam sering kali dipandang sebagai dua entitas yang saling bertentangan. Meskipun keduanya membahas isu-isu yang berkaitan dengan perempuan, akar, tujuan, dan pendekatannya sangat berbeda. Feminisme berjuang untuk kesetaraan gender dan pembebasan perempuan dari penindasan, sementara Islam menawarkan pandangan yang kompleks mengenai peran dan hak perempuan, yang telah diakui dalam ajarannya selama lebih dari seribu tahun. Tulisan ini sedikit banyaknya mengeksplorasi perbedaan mendasar antara feminisme dan Islam serta menunjukkan bagaimana keduanya dapat saling melengkapi tanpa harus saling bertentangan.
ADVERTISEMENT
B. Pembahasan
1. Apa itu Feminisme?
Feminisme merupakan gerakan sosial dan politik yang bertujuan mengatasi ketidakadilan gender. Di dalamnya terdapat beberapa aliran yang masing-masing memiliki fokus dan pendekatan berbeda.
ADVERTISEMENT
Sementara feminisme interseksional mengedepankan pemahaman kompleks tentang penindasan, ajaran Islam menekankan kesatuan dan tujuan bersama dalam masyarakat, meskipun tidak mengabaikan isu-isu yang diangkat feminisme. Islam, sebagai agama yang diwahyukan lebih dari 1.400 tahun lalu, mengakui hak dan tanggung jawab perempuan, serta memberikan dasar hukum untuk melindungi hak-hak tersebut, seperti dalam Surah An-Nisa yang menekankan keadilan dan penghormatan terhadap perempuan (Ahmed, 1992). Meskipun pendekatan keduanya berbeda, kesetaraan dan keadilan bagi perempuan adalah tujuan yang dapat menyatukan keduanya.
2. Pandangan tentang Peran Perempuan
Feminisme berupaya mengadvokasi kesetaraan di semua aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan sosial. Aliran ini menolak norma tradisional yang menempatkan perempuan hanya sebagai istri atau ibu, mendorong perempuan untuk mengambil peran kepemimpinan dan berkarir. Feminisme menekankan pentingnya representasi perempuan dalam semua bidang kehidupan dan berjuang untuk menciptakan lingkungan yang mendukung partisipasi aktif perempuan dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Islam memberikan kerangka yang berbeda dalam memahami peran perempuan. Dalam ajaran Islam, perempuan diakui memiliki hak dan tanggung jawab yang penting, baik sebagai ibu, pendidik, maupun pemimpin. Islam mengajarkan bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk berkontribusi di berbagai bidang, yang tercermin dalam sejarah tokoh perempuan, seperti Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Nabi Muhammad. Khadijah adalah seorang pengusaha sukses yang mendukung suaminya dalam menyebarkan ajaran Islam. Keberadaan hadis yang menyatakan bahwa "surga terletak di bawah telapak kaki ibu" juga menunjukkan penghormatan Islam terhadap peran ibu dalam membentuk generasi masa depan.
Dengan demikian, meskipun feminisme dan Islam memiliki pendekatan yang berbeda dalam membahas peran perempuan, keduanya menekankan nilai penting dari kontribusi perempuan dalam masyarakat. Pemahaman ini membuka ruang untuk kolaborasi antara kedua perspektif demi mencapai kesetaraan dan keadilan bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
3. Ketaatan vs Otonomi
Salah satu perdebatan yang muncul dalam diskursus feminisme dan Islam adalah tentang ketaatan dan otonomi. Feminisme menekankan pentingnya otonomi individu dan kebebasan untuk memilih. Ini termasuk hak untuk menentukan cara berpakaian, berkarir, dan menjalani hidup. Feminisme berargumen bahwa setiap perempuan harus memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa tekanan dari masyarakat atau keluarga.
Di sisi lain, Islam mengajarkan bahwa ketaatan kepada Tuhan dan ajaran-Nya adalah hal yang utama. Banyak perempuan Muslim melihat ketaatan, seperti mengenakan hijab, mengenakan pakaian agamis, sebagai bentuk pilihan dan identitas yang mencerminkan keyakinan mereka, bukan sebagai pengekangan. Ketaatan ini bisa dilihat sebagai cara untuk mengungkapkan rasa syukur dan kedekatan kepada Tuhan, yang memberikan makna tersendiri bagi banyak perempuan Muslim. Ini menciptakan perdebatan tentang keseimbangan antara ketaatan agama dan kebebasan individu (Wadud, 1999).
ADVERTISEMENT
Dari perspektif ini, penting untuk memahami bahwa bagi banyak perempuan Muslim, pilihan untuk mengikuti ajaran agama tidak selalu berarti kehilangan otonomi. Sebaliknya, mereka mungkin merasa bahwa identitas religius memberikan kekuatan dan makna dalam hidup mereka. Dalam konteks saat ini, perempuan Muslim di berbagai belahan dunia berjuang untuk menemukan keseimbangan antara ketaatan dan otonomi, terutama dalam isu-isu seperti hak reproduksi dan kebebasan berpakaian. Dalam proses ini, mereka tidak hanya mencari untuk menegaskan identitas mereka sebagai Muslim, tetapi juga menuntut pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka sebagai perempuan.
4. Fitrah Manusia
Dalam konteks Islam, fitrah manusia merujuk pada kondisi dasar dan sifat alami yang diciptakan Allah dalam diri setiap individu. Fitrah ini mencakup rasa malu, afeksi, dan keinginan untuk berbuat baik. Dalam pandangan Islam, perempuan diciptakan dengan fitrah yang berbeda namun setara dengan laki-laki, di mana masing-masing memiliki peran yang saling melengkapi dalam kehidupan. Fitrah perempuan, yang mencakup kelembutan dan kepedulian, dianggap sebagai kemuliaan yang harus dijaga. Dalam banyak tradisi, nilai-nilai ini dipandang sebagai kualitas yang membuat perempuan unik. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat sangat penting, dan Islam memberikan dukungan untuk menjaga nilai-nilai ini.
ADVERTISEMENT
Sangat penting memahami bahwa dalam konteks fitrah, Islam tidak membatasi perempuan hanya pada peran tradisional. Sebaliknya, ada banyak contoh perempuan dalam sejarah Islam yang telah memegang peran aktif dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, politik, dan bisnis. Misalnya Aisyah, istri Nabi Muhammad, dikenal sebagai seorang cendekiawan dan pengajar. Dia menyampaikan banyak hadis dan berperan sebagai sumber pengetahuan bagi umat Islam. Aisyah terlibat dalam diskusi politik dan sosial pada masanya, termasuk dalam Perang Jamal. Ini menunjukkan bahwa dalam kerangka Islam, perempuan dapat mencapai potensi penuh mereka dalam masyarakat.
5. Stigma dan Interpretasi
Feminisme memfokuskan perhatian pada stigma yang melekat pada perempuan, terutama terkait norma budaya dan agama. Feminisme berargumen bahwa banyak interpretasi tradisional tentang peran perempuan digunakan untuk membenarkan penindasan dan memperkuat patriarki. Dalam konteks perubahan sosial dan peran perempuan, Valentine Moghadam menulis buku dengan judul “Modernizing Women: Gender and Social Change in the Middle East” mencatat bahwa,
ADVERTISEMENT
Ini menegaskan bahwa meskipun ada kemajuan, tantangan yang dihadapi perempuan masih tetap ada.
Di sisi lain, banyak feminis Muslim berpendapat bahwa interpretasi progresif terhadap ajaran Islam dapat mendukung pemberdayaan perempuan. Dalam sebuah buku karya Margot Badran yang berjudul “Feminism in Islam: Secular and Religious Convergences” menyatakan bahwa,
Hal ini menunjukkan bahwa ada ruang untuk mengintegrasikan nilai-nilai feminis ke dalam pemahaman Islam, dengan tujuan menciptakan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan.
Lebih jauh, dalam sebuah artikel tahun 2002 yang ditulis Valentine Moghadam dengan judul “Feminism and Islamic Fundamentalism: The Limits of Postmodern Analysis” menekankan bahwa perempuan Muslim dapat menemukan kekuatan dalam tradisi mereka dan mengubah narasi tentang peran mereka dalam masyarakat. Pendekatan ini menunjukkan bahwa banyak perempuan Muslim melihat ajaran agama mereka sebagai sumber kekuatan, yang bukan hanya membatasi, tetapi juga memberdayakan mereka untuk menuntut hak-hak mereka dalam konteks modern.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, banyak feminis Muslim berusaha mendefinisikan kembali stigma ini dalam konteks ajaran Islam, menegaskan bahwa interpretasi yang lebih progresif dapat mengatasi tantangan yang dihadapi oleh perempuan.
6. Ruang untuk Dialog
Meskipun terdapat perbedaan, penting untuk membangun dialog antara pemikiran feminis dan ajaran Islam. Dialog ini dapat mengurangi ketegangan antara kedua perspektif dan menciptakan peluang untuk kolaborasi dalam pemberdayaan perempuan. Pada tahun 2014 data yang dilaporkan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), salah satu organisasi internasional milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sekaligus merupakan badan khusus PBB, tokoh seperti Malala Yousafzai menunjukkan bahwa pendidikan dan aktivisme dapat dilakukan dengan tetap berpegang pada nilai-nilai agama. Malala berjuang untuk pendidikan bagi perempuan di Pakistan sambil merangkul identitasnya sebagai seorang Muslim.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, dialog ini berfungsi untuk mengatasi mispersepsi dan stigma yang sering mengelilingi kedua perspektif. Dengan mengedepankan saling menghormati dapat memperkuat pemahaman bahwa perjuangan untuk keadilan perempuan dapat dilakukan dalam kerangka nilai-nilai agama. Menggabungkan kedua perspektif ini tidak hanya membantu mengatasi kesenjangan antara teori feminisme dan praktik ajaran Islam, tetapi juga menciptakan kesempatan untuk saling belajar.
Saat ini, banyak organisasi non-pemerintah (LSM) dan kelompok masyarakat sipil berusaha mengintegrasikan pendekatan feminis dan religius untuk merancang program-program yang lebih inklusif. Dengan mendidik masyarakat tentang hak-hak perempuan dalam konteks ajaran Islam dan membangun forum diskusi yang terbuka, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih adil dan setara bagi semua.
7. Keadilan dan Kesetaraan dalam Praktik
Di Indonesia, perempuan sering kali berada di persimpangan antara tuntutan untuk keadilan dan kebutuhan akan kesetaraan. Keadilan sering kali berfokus pada menangani ketidakadilan yang telah terjadi, seperti kekerasan atau diskriminasi. Namun, untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan, pendekatan kesetaraan sangat penting. Ini berarti memberi perempuan akses yang sama dalam pendidikan, pekerjaan, dan peluang kepemimpinan. Contoh nyata dapat dilihat dalam program-program pemberdayaan yang berfokus pada pendidikan dan keterampilan bagi perempuan. Program-program ini tidak hanya membantu perempuan menjadi lebih mandiri, tetapi juga menciptakan perubahan sosial yang lebih luas. Menurut salah satu penelitian yang dilakukan dewan utama PBB yang bergerak untuk mengusahakan kesetaraan gender hingga pemberdayaan perempuan di mata dunia pada tahun 2015, meningkatkan akses perempuan ke pendidikan dan pelatihan keterampilan dapat meningkatkan kontribusi mereka dalam ekonomi dan pengambilan keputusan (UN Women, 2015).
ADVERTISEMENT
Kesetaraan bukan hanya tentang memperbaiki kesalahan masa lalu, tetapi juga tentang menciptakan masa depan di mana perempuan memiliki kekuatan dan suara yang sama dalam masyarakat. Penerapan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan ini akan membawa dampak positif tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks Islam, keadilan juga mencakup pengakuan terhadap hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hak dalam keluarga, pendidikan, dan pekerjaan. Misalnya, beberapa organisasi masyarakat di Indonesia telah mulai menerapkan prinsip-prinsip keadilan gender dalam program-program mereka, yang menunjukkan bahwa Islam dan feminisme dapat berjalan beriringan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil (Badran, 2009).
C. Kesimpulan
Feminisme dan Islam, meskipun sering dianggap bertentangan, memiliki potensi besar untuk saling melengkapi dalam perjuangan untuk kesetaraan gender. Kedua perspektif ini, ketika dipahami secara kontekstual, tidak hanya dapat berdialog, tetapi juga berkolaborasi untuk menciptakan perubahan yang nyata. Penting bagi aktivis feminis dan pemimpin agama untuk menjalin kerja sama, mengingat perjuangan untuk keadilan perempuan adalah tanggung jawab bersama. Melalui langkah-langkah ini, kita dapat membangun masyarakat di mana perempuan, dengan berbagai identitas dan keyakinan, dapat hidup dengan martabat dan hak yang setara. Mari kita terus berkomitmen untuk menjalin dialog, mengatasi kesenjangan, dan menciptakan dunia yang lebih baik bagi seluruh umat manusia.
ADVERTISEMENT
Referensi
Ahmed, L. (1992). Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate. New Haven: Yale University Press.
Badran, M. (2009). Feminism in Islam: Secular and Religious Convergences. Oxford: Oneworld Publications.
Crenshaw, K. (1991). Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence against Women of Color. Stanford Law Review, vol. 43, no. 6, pp. 1241-1299.
Echols, A. (2019). Daring to Be Bad: Radical Feminism in America 1967-1975. Thirtieth Anniversary Edition. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Moghadam, V. (2002). Feminism and Islamic Fundamentalism: The Limits of Postmodern Analysis. Gender and Society, 566-586.
Moghadam, V. (2003). Modernizing Women: Gender and Social Change in the Middle East. Boulder: Lynne Rienner Publishers.
ADVERTISEMENT
Tong, R. (2009). Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Boulder: Westview Press.
UNESCO. (2014). Malala Yousafzai: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by the Taliban. Paris: UNESCO Publishing. Retrieved from https://malala.org/malalas-story/.
UN Women. (2015). Progress of the World's Women 2015-2016: Transforming Economies, Realizing Rights. New York: UN Women. Retrieved from https://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2015/4/progress-of-the-worlds-women-2015
Wadud, A. (1999). Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective. Oxford: Oxford University Press.