Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Polemik Muruah Polri: Viralitas vs Kedigdayaan RUU Polri Nomor 2 Tahun 2002
12 Juni 2024 7:54 WIB
·
waktu baca 7 menitDiperbarui 13 Oktober 2024 15:41 WIB
Tulisan dari Natasha Andriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Maraknya fenomena viralitas mengenai ragam peristiwa yang disuarakan warganet dalam berbagai platform media sosial yang tersedia, mampu menciptakan tantangan tersendiri bagi elemen pemerintahan dalam merespon keluh kesah masyarakat. Idealnya, pemerintah sebagai pelayan masyarakat diharuskan untuk selalu transparan dalam menindak lanjuti setiap persoalan yang dilayangkan masyarakat di samping turut adaptif dengan modernitas serta perkembangan teknologi. Namun di satu sisi, fenomena viralitas rentan menjadi pisau bermata ganda yang tidak jarang menyudutkan lembaga pemerintahan, khususnya bagi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam menjawab tuntutan pengungkapan peristiwa-peristiwa yang kontradiktif dengan hukum kenegaraan dan norma sosial. Acapkali dari peristiwa-peristiwa tersebut menyeret nama institusi Polri itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Topik Umum
Rasa-rasanya sudah tidak aneh lagi jika akhir-akhir ini pemberitaan yang marak terjadi selalu berkaitan dengan Polri dan bahkan tidak sedikit dari pemberitaan tersebut menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Misalnya pada kasus konvensional yang sudah menjadi 'rahasia umum', yaitu kasus penyuapan dalam penerimaan anggota Polri, baik itu penerimaan di tingkat tamtama, bintara, maupun perwira. Istilah-istilah yang umum melekat di kalangan calon siswa (casis) baik TNI (Tentara Nasional Indonesia) maupun Polri, seperti 'titipan jenderal' maupun 'mayat hidup'. Yang dimana istilah-istilah tersebut dimaksudkan sebagai fenomena 'orang dalam'. Walau begitu, keironian tersebut masih sering terjadi meskipun dalam praktiknya kedua pimpinan dari intansi tersebut baik Jenderal Polisi dan Panglima TNI yang menjabat saat ini bertekad kuat untuk menghapus stigma tersebut.
ADVERTISEMENT
Berbicara soal perwira, baik di tubuh TNI maupun Polri, keduanya memiliki wadah perguruan tinggi khusus untuk mencetak pemuda-pemudi yang ketika lulus kelas akan mendapatkan gelar akademik (Diploma-4 setara Strata-1) sekaligus pangkat Perwira Pertama (Pama) yaitu Letnan Dua (TNI) dan Inspektur Polisi Dua (Polri). Dengan waktu tempuh pendidikan selama empat tahun yang kemudian masing-masing dikenal dengan Akademi Kepolisian dan Akademi TNI (AAL, AAU, Akmil).Kemudian di tingkat Bintara dan Tamtama, masing-masing kedua institusi memiliki wadah pendidikan tersendiri yang memakan waktu tempuh pendidikan kurang lebih 5-7 bulan. Sebagai informasi tambahan, dari tiap tingkat wadah pendidikan keprofesian masing-masing institusi baik TNI maupun Polri tidak dikenakan pungutan biaya selama pendidikan dikarenakan termasuk ke dalam perguruan tinggi kedinasan dan karenanya juga ditanggung oleh APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
ADVERTISEMENT
Jika sebelumnya membahas tentang fenomena orang dalam terkait penerimaan anggota TNI-Polri, maka baik TNI maupun Polri sangat dimungkinkan menjadi salah satu sumber yang rentan terhadap tumbuh suburnya bibit KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Ditambah, baru-baru ini salah satu delegasi petinggi Kemendikbud Ristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) memberikan pernyataan yang dianggap blunder oleh sebagian besar masyarakat. Beliau mengatakan,
Dan jika dikaitkan dengan dua hal yakni eksistensi akademi keprofesian suatu institusi beserta stigma orang dalam, maka penulis berkeyakinan bahwa kedua hal tersebut dapat dijadikan justifikasi terhadap paradoks yang dikatakan. Di samping pentingnya tingkat pendidikan terhadap kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), realitas bahwa biaya pendidikan tinggi saat ini baik di perguruan tinggi negeri, swasta, maupun kedinasan (khususnya Polri) membutuhkan nilai rupiah yang tidak sedikit sehingga dapat dikategorikan sebagai "tersiery education".
ADVERTISEMENT
Kemudian pada bulan Mei silam, khalayak ramai dihebohkan akan pemberitaan kasus penguntitan seorang Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) yang dilakukan oleh oknum Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri (Densus 88) . Sesuai namanya, Densus 88 merupakan pasukan khusus milik Polri yang dikhususkan menangani tindak pidana terorisme. Sejalan dengan yang termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang terkait kewenangan Densus 88 untuk melaksanakan penegakan hukum kontra terorisme berlandaskan bukti dari laporan intelijen dalam 7x24 jam. Tanpa membahas lebih jauh latar belakang dari oknum tersebut, kemudian menimbulkan sebuah tanda tanya besar bagi setiap orang.
ADVERTISEMENT
Apa motif di balik penguntitan yang dilakukan oknum tersebut terkait tupoksinya sebagai satuan khusus antiteror milik Polri?
Mengutip kumparanNEWS , pada hari Rabu (29/5/2024) Ketut Sumedana yang menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung membenarkan adanya kasus penguntitan yang dilakukan oleh enam orang anggota Densus 88. Tidak berhenti disitu, setelah dilakukan penggeledahan terhadap salah satu oknum yang tertangkap oleh Polisi Militer (PM) yang mengawal Jampidsus saat itu, ditemukan indikasi aktivitas profiling daripada Jampidsus yang dibuntuti. Tidak lama setelah kasus ini, terjadi pelaporan yang dilakukan oleh Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST) didampingi lembaga Indonesian Police Watch (IPW) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyeret nama Jampidsus, Febrie Adriansyah. Meskipun pihak Kejagung telah mengklarifikasi adanya kekeliruan terhadap subjek pelaporan serta terbukti tidak bersalah dengan memenangkan gugatan di tingkat Pengadilan Tinggi. Melihat narasi pemberitaan yang ramai beredar, kembali dengan relevansi pertanyaan sebelumnya, apakah Jampidsus Kejagung terlibat aktivitas terorisme terorganisir? Sayangnya, keterkaitan antara tupoksi Densus 88 dengan kasus tersebut masih menjadi ambiguitas seperti apa benang merahnya dikarenakan sampai tulisan ini dipublikasikan pihak Kepolisian Republik Indonesia belum merilis pernyataan lebih lanjut mengenai tujuan penguntitan yang dilakukan oknum tersebut. Dengan demikian, kejadian tersebut menggantungkan ambiguitas di tengah-tengah masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap Polri menurun seiring bertambahnya persoalan yang terjadi di dalam internal Polri.
ADVERTISEMENT
Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri)
Melalui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai usulan RUU Polri yang terbaru, terdapat poin-poin penting yang menjadi kekhawatiran publik terkait isi dari pasal-pasal tertentu. Di antara pasal-pasal tersebut, penulis hendak menyoroti dua pasal yang dirasa berpotensi membatasi kehidupan sosial individu maupun kelompok masyarakat.
Pasal 14: Tentang Penyadapan
Pasal 14 ayat (1) huruf (o) terkait wewenang melakukan penyadapan. Pasal ini berpotensi membatasi independensi serta kapabilitas individu ataupun kelompok masyarakat karena perluasan wewenang Polri untuk memasuki ranah privasi dapat membatasi gerak-gerik maupun kehidupan seseorang. Hal tersebut sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatur adanya hak kebebasan, rasa aman serta makin menimbulkan rasa tidak percaya masyarakat terhadap Polri dikarenakan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang. Misalnya, ketika seseorang terlibat sebagai saksi dalam suatu tindak kejahatan yang di mana penyidik berhak menyadap HP maupun PC orang tersebut dan ditemukan adanya indikasi tindak penyimpangan, maka seseorang yang awalnya hanya sebagai saksi berpotensi dijerat pelanggaran/pemidanaan di luar keterlibatannya sebagai saksi. Dalam ranah hukum, bentuk tindakan penjeratan yang dilakukan oleh penyidik di luar prosedural yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
ADVERTISEMENT
Pasal 16: Penggalangan Intelijen
Pasal 16A terkait wewenang melakukan penggalangan intelijen. Penggalangan Intelijen adalah tindakan memengaruhi objek hidup yang bertujuan untuk mentransisikan perilaku sesuai dengan kehendak dari pihak yang melakukan penggalangan. Ini sama saja menjadikan Polri juga memiliki kekuasaan untuk memiliki data intelijen dari pihak-pihak lain yang melakukan fungsi intelijen, seperti lembaga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS), dan Badan Intelijen Negara (BIN). Dengan kewenangan yang diperluas tersebut menjadikan Polri lebih leluasa dalam memaksimalkan deteksi dan pencegahan akan ancaman yang membahayakan stabilitas negara. Namun, di lain sisi tentunya berpotensi terjadi tumpang tindih fungsi serta konflik internal antar lembaga negara. Misalnya, ketika terjadi suatu tindakan yang dianggap melanggar ideologi negara kemudian Intelkam (Intelijen dan Keamanan) Polri memiliki kewenangan untuk meminta informasi dari BIN, maka berpotensi menimbulkan ketidaksepemahaman antar pihak dikarenakan perbedaan otoritas kelembagaan serta prinsip pelaksanaan kerja masing-masing institusi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, penulis hendak memberikan saran bagi Polri agar selalu transparan dan akuntabilitas. Dalam menghadapi kekhawatiran ini, pengawasan menjadi penting untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh Polri, termasuk penyadapan dan penggalangan intelijen, dilakukan dengan transparansi dan diawasi oleh lembaga independen. Selain itu, pentingnya edukasi dan sosialisasi mengenai RUU ini kepada publik. Masyarakat perlu memahami apa yang diatur dalam RUU dan bagaimana hal tersebut kelak memengaruhi kehidupan bernegara mereka. Sehingga, kepercayaan publik terhadap Polri dapat meningkat ke arah yang lebih baik.