Perjuangan Karmaka Membesarkan Bank OCBC NISP

Ndoro Kakung
Blogger dan Kreator Konten
Konten dari Pengguna
29 April 2019 0:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ndoro Kakung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hokja, Provinsi Fujian, Tiongkok, Februari 1935. Perayaan Tahun Baru Imlek baru saja berlalu. Seorang ibu menggendong anak laki-lakinya yang baru berumur 10 bulan menuju Pelabuhan Xiamen (Amoy).
ADVERTISEMENT
Pramukti dan Parwati bercerita tentang sejarah Bank OCBC NISP di depan para kreator digital, Kamis (25/4/2019). (Foto: Eny Firsa)
Ibu dan anak itu tengah meninggalkan kampung halamannya untuk melakukan "xia nan yang" – berlayar mengarungi Laut Cina Selatan menuju ke negeri yang jauh. Sang ibu hendak menyusul suaminya, Kwee Tjie Kui, yang sudah dua tahun lebih dulu meninggalkan Hokja dan tinggal di Bandung, Jawa Barat.
Perjalanan melintasi laut itu ternyata penuh tantangan. Gelombang laut Februari yang biasanya memang besar, kerap datang menghantam kapal. Selama pelayaran, bayi sepuluh bulan yang terombang-ambing di atas kapal pun jadi rewel.
Menjelang kapal mendarat di Pelabuhan Sunda Kelapa, bayi itu diserang diare. Suhu badannya tinggi. Akibatnya, mereka dilarang meninggalkan kapal. Penguasa Belanda waktu itu tidak ingin sang bayi membawa penyakit ke daratan dan menulari penduduk sekitar. Si bayi harus sembuh dahulu, baru boleh turun ke darat.
ADVERTISEMENT
Sampai berhari-hari ibu dan anak itu terpaksa tetap berada di atas kapal, tertahan di pelabuhan. Padahal Kwee Tjie Kui, sang suami, sudah menjemput di pintu pelabuhan bersama beberapa tokoh Tionghoa Hokja yang tinggal di Bandung. Kondisi sang bayi yang masih sakit membuat mereka terpisah tanpa kejelasan kapan bisa bertemu.
Di saat Kwee nyaris putus asa lantaran istri dan anaknya tak boleh mendarat, tiba-tiba datang pertolongan. Seorang tokoh komunitas Hokja, The Tjie Tjoen, bersedia menyerahkan uang jaminan kepada penguasa Belanda agar ibu dan anak diperkenankan turun dari kapal. Uang jaminan itu cukup besar waktu itu, yaitu 500 gulden.
Dengan uang jaminan sebesar itu, akhirnya penguasa Belanda pun mengizinkan mereka keluar kapal. Kwee Tjie Kui pun segera memboyong istri dan anaknya ke Bandung. Di Bandunglah, sang anak dirawat hingga sembuh dan tumbuh sehat. Kelak, saat usianya mencapai 32 tahun, bayi itu menjadi warga negara Indonesia. Namanya berubah menjadi Karmaka Surjaudaja (pada 29 April 2019 usianya 85 tahun).
ADVERTISEMENT
Kisah tersebut saya baca dalam buku biografi Karmaka yang ditulis oleh Dahlan Iskan dengan judul Tidak Ada yang Tidak Bisa. Karmaka inilah yang kelak membesarkan Bank NISP yang diambil alih oleh mertuanya, Liem Khe Tjie, pada tahun 1948. Didirikan oleh tiga orang Belanda pada 4 April 1941, Bank NISP adalah bank tertua keempat di Indonesia.
Sekilas sejarah Karmaka dan Bank NISP (sekarang OCBC NISP) itu dituturkan kembali oleh Pramukti dan Parwati, anak ketiga dan keempat Karmaka, malam itu di kediaman keluarga di daerah Lembang kepada saya dan para kreator digital yang diundang makan malam, Kamis (25/4/2019).
Bapak dan Ibu Karmaka (duduk) bersama para kreator digital di rumah keluarga, Bandung. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Saya terus terang takjub dan kagum mendengar cerita perjuangan Karmaka, termasuk kisah dia jatuh bangun membesarkan salah satu dari sedikit bank lokal yang punya reputasi sangat baik itu.
ADVERTISEMENT
“Pak Karmaka selalu menasihati kami anak-anaknya bahwa dalam hidup ini tidak ada yang tidak bisa. Prinsip ini kami pegang sampai sekarang, termasuk dalam menjalankan bisnis bank,” kata Parwati sambil menatap bangga ayah dan ibunya yang duduk di depannya.
Dari biografi yang ditulis oleh Dahlan Iskan itu saya juga mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai perjuangan Karmaka. Di zaman pendudukan Jepang pada awal 1940an, keluarga Karmaka menjadi pembantu di sebuah restoran, terutama membantu memasak dan mencuci. Mereka tidak memperoleh upah, tapi mendapatkan makan, minum, dan tempat tinggal gratis. Untuk makan, mereka mendapatkan makanan dari sisa-sisa makanan tamu restoran.
Untuk menambah penghasilan, ibu Karmaka pun membuat kue untuk dijual. Karmaka dan adiklah yang menjajakan kue itu di Jalan Braga dan ke rumah-rumah warga di sekitar tempat mereka tinggal.
ADVERTISEMENT
Dengan usaha keras kedua orang tuanya, Karmaka dan adiknya bisa bersekolah. Adiknya bahkan sempat kuliah dan lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sayang seribu sayang. Sebelum diwisuda sebagai dokter spesialis penyakit dalam, sang adik menjemput ajal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.
Hidup jalan terus. Selain adik yang meninggal, Karmaka mempunyai masih memiliki delapan adik lain. Mau tak mau, sebagai anak tertua Karmaka harus bekerja untuk menghidupi mereka. Takdir membawanya menjadi guru les dan karyawan pabrik tekstil. Siang kerja di pabrik, malam memberi les.
Di pabrik tekstil inilah Karmaka memperlihatkan bakatnya sebagai usahawan. Ia mampu melihat di mana ketidakberesan pabriknya, bagaimana membereskannya, dan akhirnya meningkatkan keuntungan.
Perjalanan hidup Karmaka kemudian sampai di titik ketika ia menjadi menantu Liem Khe Tjie yang memimpin NV Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (Bank NISP atau Nilai Inti Sari Penyimpan). Pada waktu itu, awal 1960-an, bank tengah mengalami masalah besar. Manajemen melakukan penyelewengan dan berusaha mengambil alih bank dari tangan sang mertua. Karmaka diminta membenahi semua kemelut itu.
ADVERTISEMENT
Meski belum berpengalaman mengelola bank, Karmaka yakin mampu mengurai persoalan di Bank NISP. Ia merasa tidak ada yang tak bisa. Rupanya keyakinan dan kemampuannya terbukti. Berkat usaha Karmaka yang tak mengenal kata menyerah, kondisi bank perlahan-lahan membaik.
Namun itu baru yang permulaan. Beberapa kali Bank NISP digoncang badai masalah. Salah satu cobaan terberat terjadi pada tahun 1965 ketika pemerintah menerapkan kebijakan sanering. Bank NISP limbung dan terpaksa memecat lebih dari 3.000 karyawan dan menutup 43 kantor cabang.
Setiap kali hampir tenggelam, Karmaka selalu saja mampu menegakkannya kembali sampai hari ini ketika bank tersebut kemudian diteruskan pengelolaannya oleh kedua anaknya, Pramukti dan Parwati, menjadi salah satu bank terkemuka di Indonesia.
Malam itu Parwati mengenang betapa berat perjuangan hidup ayahnya di masa lalu. Karmaka pernah diculik, dua kali hendak dibunuh, juga mencoba bunuh diri. Itu masih ditambah dengan masalah kesehatannya. Ia menderita sirosis liver dan terpaksa menjalani operasi cangkok liver. Transplantasi ginjal pun pernah dialaminya dua kali. “Bapak saya berkali-kali masuk rumah sakit, dioperasi. Saking seringnya, badannya seperti ada salibnya, bekas sayatan pisau bedah,” kata Parwati.
ADVERTISEMENT
Sekarang semua itu telah menjadi sejarah. Hari ini kita bisa melihat jejak sejarah itu di Gedung de Vries, Jalan Asia Afrika, Bandung. Gedung pertama Bank NISP ini sekarang menjadi museum yang merekam perjalanan bank tersebut sejak 1941. Dindingnya dihiasi oleh catatan tahun-tahun penting yang mewarnai jatuh dan bangunnya bank. Ada tahun-tahun yang mengenaskan, ada juga masa-masa keemasan, termasuk ketika Bank NISP berkongsi dengan Bank OCBC sehingga berubah nama menjadi Bank OCBC NISP.
Di antara jejak-jejak sejarah itu kita bisa merasakan ada satu benang merah yang menyatukannya, yakni filosofi hidup yang selalu dipegang teguh oleh Karmaka: tidak ada yang tidak bisa.