Isu Penceramah Radikal, Menguntungkan Siapa?

Carrera Zenitha Niqi
Content writer
Konten dari Pengguna
10 Maret 2022 10:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Carrera Zenitha Niqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
kumparan.com
ADVERTISEMENT
Di tengah kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga elpiji, rakyat kembali dibuat gaduh dengan persoalan penceramah radikal. Entah mengapa, isu keagamaan khususnya radikalisme selalu menjadi kategori isu yang mudah viral. Bisa jadi dengan menaikkan rating isu radikal ini, maka akan menutupi ketidakmampuan negara dalam mengurusi masalah minyak goreng dan elpiji, di mana keduanya termasuk kebutuhan pokok rakyat.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya isu radikal ini sudah basi di tengah masyarakat. Rakyat tidak lagi gampang dibodohi, karena isu ini kerap dijadikan tameng pengalihan isu terhadap masalah penting di Negara ini. Agar drama radikal radikul ini dianggap serius, maka Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ikut buka suara soal lima ciri penceramah radikal yang patut diwaspadai.
Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama. Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks.
Selanjutnya keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Kelima, biasanya memiliki pandangan anti budaya ataupun anti kearifan lokal keagamaan. BNPT juga menambahkan bahwa radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama (kumparan.com, 07/03/2022). Namun, apakah tuduhan BNPT tersebut sepenuhnya benar?
ADVERTISEMENT
***
Menarik dari apa yang ditemukan oleh John Pilger, seorang jurnalis Australia sekaligus kritikus kebijakan luar negeri Amerika Serikat, bahwa ternyata korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tidak ada perang melawan terorisme, yang ada adalah perang dengan alasan terorisme.
Terorisme sebenarnya tak layak disematkan pada kaum muslimin. Karena mereka justru adalah korban. Korban yang tiba-tiba diberi identitas baru. Gelar radikal, fundamentalis, ekstremis dan yang pasti teroris. Selanjutnya seluruh dunia takut sekaligus benci dengan Islam. Alias islamofobia mulai merebak. Seorang muslim yang semakin taat dengan agamanya maka akan semakin dibenci dan dosis pencitraan negatifnya semakin tinggi.
Wajar jika kemudian ada nasihat dari seorang tokoh agar jangan terlalu dalam belajar agama. Untuk apa? Agar kebencian terhadap umat Islam bisa segera hilang, akibat kaum muslimin menjadi moderat alias tidak dalam-dalam amat dalam beragama.
ADVERTISEMENT
Kalau kaum muslimin hanyalah korban, lalu siapakah biang keladi kegaduhan ini semua? Menurut John Pilger, umat Islam hanyalah korban fundamentalisme Amerika, yang kekuasaannya, dalam segala bentuknya, militer dan strategis ekonomi adalah sumber terorisme terbesar di bumi.
Kita masih ingat bagaimana Imam Samudra meledakkan bom di sepenggal jalan di Bali yang menewaskan ratusan orang, kemudian dia merasa salah target dan dihukum mati. Bandingkan dengan apa yang terjadi pada Invasi Militer Amerika Serikat di Irak tahun 2003 lalu. Menggunakan alasan melucuti senjata pemusnah massal, tapi ternyata tidak ada satu pun senjata pemusnah massal ditemukan. Padahal sudah menewaskan sekitar setengah juta orang.
Lalu, apakah Presiden Amerika dihukum? Semua pasti sudah tahu jawabannya. Tak salah jika kemudian banyak yang menyimpulkan bahwa perang melawan terorisme ini hanyalah jargon untuk memuluskan rencana Amerika Serikat dalam melakukan invasi militer untuk mencari gold, glory, dan gospelnya.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi dengan bocornya dokumen RAND Corp yang membagi umat Islam ke dalam empat kelompok, yakni fundamentalis, tradisionalis, modernis, dan sekularis. Melalui skema pembagian tersebut dengan mudah akan diperuncing perbedaannya dan saling dibenturkan antarkelompok. Sehingga tidak perlu susah payah menyerang kaum muslimin, cukup memakai politik devide et empera.
***
Maka kita harus paham bahwa label fundamentalisme itu hanyalah buatan Barat, tepatnya RAND Corp. Untuk memframing bahwa kelompok tersebut adalah golongan Islam yang patut dijauhi, biang keladi terorisme. Kemudian mereka juga memberi kriteria siapa saja yang termasuk fundamentalisme. Misalkan, yang bercelana cingkrang, jenggot, cadar, jilbab syari, mengusung khilafah dan jihad. Padahal kita tahu kriteria tersebut tidak ada yang melanggar ajaran Islam.
ADVERTISEMENT
Akar munculnya intoleransi dalam konteks kebangsaan di sini juga akhirnya bisa ditemukan. Karena dari dahulu umat Islam adalah kaum yang menjaga pluralitas. Jadi jelas bukan kaum muslimin penyebab perpecahan maupun terorisme. Tapi memang ada yang sengaja merekayasa isu tersebut, agar umat selalu mengkambing hitamkan ustaz atau penceramah yang sengaja dimasukkan dalam kategori radikal.
Jangan sampai bangsa ini terpecah belah karena isu terorisme atau radikalisme. Karena kita semua sejatinya adalah saudara. Kita harus melihat dengan jernih persoalan radikal radikul ini, sehingga nantinya tidak terjebak pada konflik horizontal yang panjang dan melelahkan. Itu sangat merugikan persatuan dan kesatuan bangsa. Juga karena masih banyak masalah bangsa yang masih harus kita selesaikan bersama, seperti minyak goreng, elpiji, tempe, BPJS dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Jelas isu radikalisme yang terus berulang ini bukan persoalan mendasar dan utama negeri ini, melainkan hanya agenda terselubung dari Amerika Serikat sebagaimana uraian John Pilger sebelumnya. Dengan demikian maka umat Islam akan semakin jauh dengan agama dan ideologinya. Sehingga penguasa bisa aman dari koreksi rakyat atas kezaliman sistem kapitalisme yang mereka terapkan selama ini. Wallahu alam bishowab.