Konten dari Pengguna

Boba: Si Mungil Bawa Bahaya untuk Kesehatan Kaum Muda

novri syafitri rahmayanti
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14 Desember 2022 14:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari novri syafitri rahmayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay.
ADVERTISEMENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut jumlah orang dewasa dengan berat badan berlebih atau yang akrab disebut obesitas jumlahnya naik hingga dua kali lipat dalam dua dekade terakhir. Data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) pada 2018 membuktikan bahwa jumlah kasus obesitas di Indonesia meningkat hingga 35,4 persen. Padahal, Riskesdas 11 tahun yang silam menunjukkan bahwa angka obesitas di Indonesia masih berada pada angka 19,1 persen.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun yang sama dalam surveinya menyebut jumlah prevalensi orang Indonesia terkena obesitas mencapai angka 35,4 persen. Angka ini naik dari sebesar 26,3 persen pada tahun 2013. Tak hanya obesitas dewasa, data Riskesdas 2018 juga menunjukkan bahwa obesitas pada anak juga mengalami peningkatan, yakni satu dari lima anak usia sekolah dasar dan satu dari tujuh remaja Indonesia mengalami kelebihan berat badan.
Obesitas sendiri didefinisikan WHO sebagai akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan dan dapat mengganggu kesehatan. Data obesitas di Indonesia yang mengkhawatirkan ini membuat lembaga Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menyerukan agar pemerintah segera membuat regulasi atau kebijakan yang tepat untuk mengatur ketersediaan makanan dan minuman yang tidak sehat (4/3/21).
ADVERTISEMENT
"Gizi yang baik bukan hanya tentang memiliki cukup asupan untuk dimakan, tetapi juga mendapatkan asupan yang tepat untuk dimakan. Ada terlalu banyak anak-anak dan remaja di Indonesia yang memiliki sedikit pilihan sehat dan bergizi yang tersedia, serta terlalu banyak orang tua yang tidak memiliki pengetahuan memadai untuk mengambil keputusan terbaik terkait pilihan makanan keluarga mereka," kata perwakilan UNICEF, Debora Comini dilansir situs resmi UNICEF.
Obesitas di Indonesia sejatinya tidak mengenal status ekonomi, karena tidak ada relevansi yang kuat antara pemicu obesitas dengan keluarga yang berekonomi cukup maupun kurang. Pelaku utama dari obesitas ialah gaya hidup. Perubahan gaya hidup manusia secara pola makan organik dan tradisional ke produk olahan (khususnya cepat saji) yang notabenenya memiliki lemak dan gula berlebih kini diminati ragam jenis keluarga.
ADVERTISEMENT
Produk olahan cepat saji merupakan bahan instant yang banyak diminati keluarga dari ragam latar belakang karena sifatnya yang praktis, enak, lebih mudah didapatkan, dan harganya lebih murah. Terlebih pada masyarakat perkotaan, kemudahan akses terhadap makanan dan minuman olahan membuat masyarakat perkotaan lebih mudah terserang obesitas. Kita mungkin sering mendengar atau bahkan mengonsumsi mie instan, makanan kaleng, soda, hingga minuman manis. Misalnya, salah satu minuman yang sedang hits di kalangan masyarakat, ialah Boba.
Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri mendefinisikan boba dalam dua konsep, pertama sebagai bola tapioka berstruktur kenyal, terdapat dalam makanan atau minuman, seperti teh susu, jus, kopi, kue, dan sebagainya; dan minuman yang terbuat dari teh atau susu dengan perisa atau pemanis tertentu yang dilengkapi dengan boba. Tren minuman kekinian boba ini telah membuat suatu kebiasaan hidup di kalangan anak muda, khususnya masyarakat perkotaan.
ADVERTISEMENT
Toko minuman dengan campuran boba bak tanaman jamur di jalan, pasar, hingga pusat perbelanjaan. Rasanya yang enak, mudah dibuat, dan pasarnya yang mudah menjangkau ragam kalangan membuat tiap pengusaha membuka usaha makanan dan minuman boba. Begitupun dengan konsumen, sifatnya yang praktis, melepas dahaga, enak, dan murah juga membuat para konsumen menjadikan boba sebagai minuman hariannya.
Padahal, si bulat mungil ini bak cabai rawit berbahaya untuk kesehatan ragam kalangan, khususnya kaum muda. Dilansir dari Beeruindonesia, satu porsi minuman boba sendiri telah mengandung 300-450 kalori, yang mana seporsi nasi yang kita makan hanya memiliki kalori sebanyak 200-an. Tingginya angka kalori inilah yang mendorong percepatan meningkatnya berat badan.
Tak berhenti sampai di sana, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri telah mengatur kadar maksimal gula yang aman dikonsumsi masyarakat Indonesia setiap harinya sebesar 50 gram atau sebanyak 386 kalori saja. Mengonsumsi minuman boba satu porsi telah melebihi kadar batas konsumsi gula manusia normal, belum lagi dengan gula yang terdapat pada makanan pokok kita atau jajanan lain yang kita konsumsi dalam sehari.
ADVERTISEMENT
Apabila gaya hidup ini berlangsung secara terus menerus, tidak hanya obesitas yang dapat menyerang tubuh para kaum muda, tetapi ragam penyakit lain seperti diabetes, kanker, jantung, hati, stroke, hingga infertilitas. Minuman boba juga dapat mengalami gangguan pencernaan karena boba memiliki kandungan nutrisi yang rendah serat. Selain itu, gigi dan mulut akan turut terkena imbasnya karena gula dan bahan tambahan dalam minuman boba memecahkan unsur zat asam oleh bakteri di mulut, sehingga lapisan enamel gigi mudah berlubang dan menimbulkan bau mulut.
Untuk menghindari bahaya akibat minuman boba dengan mengubah gaya hidup membentuk kebiasaan yaitu mengharamkan boba secara ekstrem memang tak mudah dan tidak diperlukan juga. Karena pada dasarnya, boba bukan merupakan minuman yang dilarang untuk dikonsumsi oleh manusia. Khususnya bagi kalangan anak muda perlu membuat kebiasaan minum boba secukupnya, atau bahkan menguranginya dan tidak menjadikannya gaya hidup secara rutin.
ADVERTISEMENT
Langkah-langkah mudah nan ringan dapat diambil, seperti mulai memesan minuman boba dengan catatan mengurangi kadar gulanya, menganti jenis minuman tanpa komposisi susu (misalnya buah) jika kita telah memilih topping boba atau camilan lain yang tinggi gula dan kalori, hingga mengurangi konsumsi minuman boba secara rutin.
Tak hanya rem yang dilakukan oleh konsumen, diperlukan peran pemerintah sebagai regulator dan pihak swasta juga untuk melakukan pengondisian terhadap gaya hidup ini. Pemerintah lewat eksekutif dan legislatifnya dapat memperketat aturan mengenai makanan dan minuman olahan agar lebih ramah terhadap tubuh, khususnya kaum muda. Begitupun dengan pihak swasta sebagai produsennya untuk tidak berorientasi langsung kepada keuntungan semata, tetapi juga memikirkan komponen lain yang tidak membawa bahaya bagi konsumen.
ADVERTISEMENT