Blusukan, Budaya Lima Tahunan?

Nur Khafi Udin
Akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022), Buku Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023) dan Buku Konsep Agama Hijau (Greendeen) atas Kerusakan Lingkungan Hidup (2023).
Konten dari Pengguna
23 Oktober 2022 11:54 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Blusukan di Pasar/Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Blusukan di Pasar/Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
Blusukan, mblusuk, dan blusak. Tiga bahasa itu adalah bahasa Jawa, meskipun hampir sama namun memiliki arti berbeda. Blusukan memiliki arti sengaja masuk sampai ke dalam, mblusuk artinya tidak sengaja masuk ke dalam atau terperosok tapi bisa juga diartikan kesasar, sedangkan blusak artinya alas untuk tidur.
ADVERTISEMENT
Blusukan menjadi identik dengan presiden Jokowi sejak tahun 2014 lalu. Hal itu karena media ramai memberitakan Jokowi pergi ke pasar, pemukiman terpencil sampai masuk gorong-gorong. Menurut Seskab Pramono Anung, presiden Jokowi memang gemar melakukan blusukan.
Blusukan dan Kepemimpinan
Dalam konsep kepemimpinan masyarakat Jawa, ada istilah raja dan rakyat adalah jasad sedangkan kepemimpinan dan kehendak rakyat adalah ruh. Makna dari konsep tersebut yaitu seorang pemimpin harus mengedepankan kepentingan rakyat. Dari konsep tersebut terjadilah harmonisasi antara raja dan rakyat.
Meskipun masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang tidak banyak tingkah, namun masyarakat Jawa juga bisa melakukan demonstrasi ketika seorang raja dianggap tidak mendengarkan suara rakyat.
Proses itu disebut “Laku Pepe” atau duduk bersila di tengah alun-alun kerajaan, hal itu dilakukan beramai-ramai dengan tujuan mendapat perhatian raja. Lain dengan demonstrasi zaman sekarang yang kadang-kadang berakhir ricuh, kala itu demonstrasi seperti “Laku Pepe” sudah efektif dan mampu mengetuk hati raja untuk menemui rakyat.
ADVERTISEMENT
Untuk menghindari hal-hal seperti itu, biasanya raja akan melakukan blusukan agar mengetahui keluh-kesah masyarakat. Misalnya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, ia sering disebut sebagai raja Jawa besar yang terakhir. Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah orang yang gemar blusukan untuk mengetahui kondisi masyarakat.
Sri Sultan HB IX mengontrol secara langsung mulai dari transportasi, paguyuban tani, sampai hidup masyarakat yang kurang mampu. Bahkan tidak jarang Sultan sendiri melakukan inspeksi ke pasar untuk mengetahui perkembangan harga bahan pokok dan stok yang tersedia di pasar.
Salah satu capaian penting waktu itu yaitu memenuhi salah satu keinginan rakyat. Rakyat Yogyakarta ingin selalu berada dalam naungan keraton, karena banyak masyarakat Yogyakarta merasa aman dan nyaman di bawah naungan keraton. Dengan segala proses akhirnya sang raja berhasil mempertahankan eksistensi kerajaan hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
Selain Sultan Yogyakarta, presiden Sukarno juga gemar blusukan untuk melihat kondisi rakyat secara langsung. Seperti kesaksian Jenderal Pranoto, ia menyaksikan langsung Sukarno bersama beberapa ajudan blusukan di malam hari dengan pakaian biasa, terkadang dengan pakaian preman.
Sukarno melakukan gaya blusukan karena terinspirasi dari khalifah ke-5 kekhalifahan Abbasiyah yaitu khalifah Harun al Rasyid yang selalu memikirkan kondisi rakyat baik siang hari maupun malam hari. Dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” karya Cindy Adams, Sukarno pernah berkata “Aku ingin berbaur dengan rakyat. Itu yang menjadi sifatku”.
Selain dua tokoh di atas, masih banyak pemimpin besar yang gemar blusukan. Kebanyakan pemimpin-pemimpin tersebut menjadikan blusukan sebagai media hiburan, artinya seorang pemimpin merasa senang dan tenang ketika sudah mengetahui kondisi rakyat secara langsung.
ADVERTISEMENT
Blusukan yang disalahgunakan
Dalam sejarah Jawa saya sering menemukan kisah raja-raja besar blusukan, seperti Hayam Wuruk, Ki Ageng Mangir Wonoboyo IV, Adipati Mangkunegaran I, dan masih banyak lagi, mereka menganggap blusukan adalah mantra sakti untuk bersatu dengan rakyat. Bahkan sampai muncul adagium “Henebu sauyun, kalamun ta kaleban banyu tan ono kang pinilih”.
Arti adagium itu yaitu jika satu rumpun pohon tebu yang terendam air, tidak ada lagi yang bisa digunakan. Hal ini memberi makna bahwa seluruh masyarakat dan pemimpin harus egaliter, bersatu, dan bersama-sama dalam membangun negara.
Hari ini nilai sakral dari blusukan sudah mulai hilang, bahkan blusukan digunakan sebagai cara untuk mendongkrak popularitas. Zaman dulu para pemimpin rutin melakukan blusukan, lain dengan sekarang, blusukan hanya menjadi budaya yang diperingati lima tahun sekali.
ADVERTISEMENT
Menjelang tahun-tahun pemilu begini biasanya banyak ditemukan politisi yang gemar blusukan. Karena itu, kita menjadi kesulitan untuk melihat pemimpin yang benar-benar blusukan untuk mengetahui kondisi rakyat atau blusukan untuk mencitrakan diri pemimpin tersebut.
Sebagai penutup, untuk kesekian kali, saya optimis masih ada calon pemimpin Indonesia yang menerapkan filosofi blusukan sebagai konsep kepemimpinan untuk menumbuhkan harmonisasi dengan rakyat. Blusukan harus terus dilakukan, jangan sampai ada pemimpin yang berhenti blusukan. Sekarang tinggal bagaimana blusukan itu dikemas tanpa mengundang awak media dan perangkat pendongkrak popularitas yang lain.