Melawan Bipolar

Nur Khafi Udin
Akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022), Buku Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023) dan Buku Konsep Agama Hijau (Greendeen) atas Kerusakan Lingkungan Hidup (2023).
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2022 21:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Depresi/Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Depresi/Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tiga hari lalu, 10 Oktober 2022 masyarakat dunia memperingati hari kesehatan mental. Hari peringatan ini dibuat oleh Federasi Kesehatan Mental Dunia dengan tujuan edukasi, advokasi, dan menumbuhkan kepekaan masyarakat terhadap isu kesehatan mental. Peringatan yang ke-28 ini mengusung tema Make Mental Health and Well Being for all a Global Priority atau menjadikan isu kesehatan mental sebagai prioritas seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Kehidupan bergerak cepat dengan segala perubahan yang ada atau sering disebut era disrupsi. Mau tidak mau, peristiwa ini menuntut manusia untuk aktif melakukan perubahan mengikuti perkembangan zaman. Dampak era disrupsi yaitu manusia semakin banyak mendapat tuntutan.
Tuntutan dari dalam, misalnya dari sisi keterampilan seseorang harus menguasai banyak hal, dari sisi keluarga, seseorang harus mewujudkan harapan yang kadang di luar kemampuan diri. Tuntutan dari luar, misalnya seseorang harus menempuh jenjang pendidikan setinggi mungkin agar di anggap memiliki pendidikan layak, dari sisi sosial seseorang harus memenuhi standar mapan yang diciptakan kelompok masyarakat tertentu, dan masih banyak lagi.
Pada sisi yang lain keterbukaan informasi seperti dua mata pisau, informasi positif memang mudah di akses tetapi informasi sampah dan kebohongan juga tidak sedikit jumlahnya. Jika masyarakat tidak cerdas dalam memilih informasi, maka yang masuk ke dalam pikiran adalah informasi negatif dan hoaks yang membunuh nalar berpikir masyarakat. Sehingga masyarakat sulit melakukan inovasi dan kreasi. Padahal persaingan semakin ketat karena pesaing datang bukan hanya dari sesama manusia tetapi artificial intelligence atau kecerdasan buatan.
ADVERTISEMENT
Akumulasi dari semua ini membawa dampak kesehatan mental bagi seseorang yang tidak siap dengan perubahan yang ada. Generasi paling potensial terdampak kesehatan mental yaitu generasi Z. Dalam teori generasi Natali Yustisia, pengelompokan generasi dihitung berdasarkan kelahiran setelah perang dunia ke-2, generasi Z adalah mereka yang lahir dari tahun 1995 hingga 2010.
Generasi ini memiliki karakter fleksibel, melek teknologi, lebih cerdas, dan toleran. Selain kelebihan yang ada, generasi ini juga memiliki kekurangan, misalnya cenderung egosentris, tidak fokus pada suatu hal, ketergantungan teknologi, kurang menghargai proses alias menyukai hal instan, orientasi pada uang, dan yang terakhir memiliki emosi yang cenderung labil.
Karakter emosi yang labil pada generasi Z memperbesar peluang terkena gangguan mental, yaitu cemas dan stres. Dalam penelitian, Milana Pangadi menyebutkan ada peningkatan pengidap gangguan mental pada generasi Z sebesar 0,8 persen setiap tahun dalam rentan waktu tahun 2013-2018 dan perkiraan akan meningkat setiap tahun. Bahkan menurut American Psychological Associstion sebanyak 53 persen generasi Z mengalami gangguan mental selama pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT
Dari sini kita bisa menarik hipotesis bahwa generasi Z yang tidak mampu mengikuti perubahan dan tuntutan yang ada akan menjadi cemas bahkan stres. Hal ini bisa menjadi indikasi kesehatan mental seseorang terganggu. Gangguan kesehatan mental ada beragam jenis, salah satunya bipolar disorder.
Menurut American Psychological Association, bipolar disorder adalah gangguan mental yang ditandai dengan fase mania atau episode dimana seseorang merasa gembira, energik, dan penuh semangat, kemudian ganti dengan episode depresi, di episode ini kebanyakan orang mengalami lemas, takut, cemas, bahkan hilang harapan. Definisi ini hanya pengertian secara singkat, untuk mengetahui lebih mendalam saya menyarankan untuk membaca buku berjudul “LIVING WELL WITH Depression and Bipolar Disorder”.
Pengidap bipolar disorder sering mendapat asumsi negatif dari masyarakat, misalnya disamakan dengan orang dalam gangguan jiwa (ODGJ), atau dianggap menakutkan. Dalam beberapa kasus yang sama temui pengidap bipolar disorder biasanya tiba-tiba menangis, sedih, dan murung ketika fase depresi datang. Terkadang menertawakan hal-hal kecil meskipun tidak lucu di mata masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Hal semacam ini memang mengganggu aktifitas sehari-hari bagi pengidap gangguan mental bipolar disorder. Sebagai masyarakat kita harus peka untuk memahami hal tersebut karena pengidap bipolar disorder bisa berada di fase normal ketika mendapat penanganan yang tepat.
Tepat tanggal 10 Oktober 2022 tren topik di twitter adalah video Marshanda. Marshanda mendapat diagnosis bipolar disorder, dalam rangka memperingati hari kesehatan mental ia membuat batik dengan motif brainwave (gelombang otak). Brainwave adalah gelombang listrik yang ada di otak dan bisa menggambarkan situasi seseorang. Misalnya ketika kondisi senang, takut, cemas, konsentrasi, atau sedang tidur.
Pengidap bipolar disorder tentu memiliki pita gelombang otak yang berbeda, hal itu yang digunakan Marshanda untuk membuat motif batik. Melalui karya batik bermotif brainwave Marshanda ingin menunjukkan kepada masyarakat jika pengidap bipolar tidak menakutkan dan tidak berbahaya. Bahkan bisa menciptakan inovasi dan kreasi bila mendapat penanganan yang tepat.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup saya akan menegaskan jika faktor penyebab gangguan mental ada banyak hal, yang saya sebutkan hanya sebagian kecil. Inti pada tulisan ini adalah seseorang dengan pengidap gangguan mental, misalnya bipolar disorder harus melawan. Ada dua musuh yang harus dilawan, pertama pikiran negatif yang ada di dalam diri. Kedua, stigma negatif masyarakat tentang pengidap gangguan mental. Sebagaimana Marshanda sudah memberi contoh bahwa pengidap gangguan mental bisa melakukan dua hal tersebut.
Selalu ingat jika anda tidak sendiri, jika anda merasa mengalami fase mania atau depresi segera datang pada psikolog atau psikiater, atau bisa dengan layanan telepon kesehatan jiwa di rumah sakit berikut, Rumah Sakit Jiwa Dr. Amino Gondohutomo di Semarang, nomor telepon (024) 6722565. Rumah Sakit Jiwa dr. H. Marzoeki Mahdi di Bogor, nomor telepon (0251) 8324024/8324025/8320467. Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan di Jakarta, nomor telepon (021) 5682841. Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. Soerojo di Magelang, nomor telepon (0293) 363601. Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang di Malang, nomor telepon (0341) 423444.
ADVERTISEMENT