Konten dari Pengguna

Dilema Whoosh dalam Rantai Nilai Global

Fahed Syauqi
Language Advisor and Trainer at Special Class Academy with Wisdom Method Director of Dzikro Agro "Zero" at Zero Academy Mentor Trainer
5 November 2025 14:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Dilema Whoosh dalam Rantai Nilai Global
Dilema Whoosh dalam rantai nilai global: Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) Whoosh adalah simbol ambisi Indonesia untuk masuk ke era infrastruktur modern. #userstory
Fahed Syauqi
Tulisan dari Fahed Syauqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Whoosh. Foto: KCIC
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Whoosh. Foto: KCIC
ADVERTISEMENT
Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) Whoosh adalah simbol ambisi Indonesia untuk masuk ke era infrastruktur modern. Namun, di balik kecepatan 350 km/jam yang memukau, Whoosh kini menghadapi dilema finansial klasik: pendapatan operasional telah mampu menutup biaya harian, tetapi masih jauh dari cukup untuk melunasi cicilan utang mega proyek tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana disoroti oleh Ketua DEN, Luhut Binsar Pandjaitan, beban utang menjadi hantu yang membayangi. Untuk menganalisis akar permasalahan ini, kita perlu menggunakan kerangka Rantai Nilai Global (Global Value Chain/GVC). Analisis GVC akan menunjukkan bagaimana posisi Indonesia dalam rantai produksi dan pembiayaan kereta cepat ini menentukan kemampuan negara dalam menangkap nilai dan mengelola risiko.

Tiongkok sebagai Lead Firm dalam GVC Kereta Cepat

​Dalam kerangka GVC, proyek Whoosh adalah contoh klasik dari GVC yang didorong oleh produsen (producer-driven GVC) di mana aktivitas bernilai tinggi didominasi oleh perusahaan multinasional yang memiliki teknologi dan akses modal. Dalam konteks ini, Tiongkok melalui konsorsiumnya bertindak sebagai lead firm, yang mengontrol tahap hulu (desain, teknologi, manufaktur) dan juga pembiayaan proyek.
Sumber: Freepik
​Tahap awal proyek dari perencanaan, desain teknis, hingga pengadaan komponen utama kereta dan sistem persinyalan sepenuhnya bergantung pada teknologi dan keahlian Tiongkok. Nilai tambah tertinggi dalam sebuah GVC HSR terletak pada inovasi dan manufaktur komponen berteknologi tinggi. Indonesia, melalui PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), adalah penerima, bukan pencipta teknologi tersebut.
ADVERTISEMENT

Posisi Ini Memiliki Implikasi Kritis

Pertama, ekstraksi nilai di hulu (utang dan komponen). Sebagian besar pembiayaan (pinjaman dari China Development Bank) digunakan untuk membayar komponen, jasa konstruksi, dan teknologi yang disediakan oleh pihak Tiongkok. Artinya, arus keluar modal dan nilai terjadi sejak awal proyek.
Bunga utang dan mark-up harga teknologi (jika ada) merupakan nilai yang langsung ditangkap oleh Tiongkok di tahap hulu. Beban utang, yang sering kali dalam mata uang asing (Dolar AS atau Yuan), secara otomatis menjadi risiko nilai tukar yang ditanggung oleh operator Indonesia (KCIC) yang berpendapatan Rupiah.
Pekerja memeriksa kondisi kereta cepat Whoosh di Depo Kereta Cepat di Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (16/12/2024). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Kemudian, ketergantungan teknologi. Ketergantungan ini tidak berhenti saat kereta beroperasi. Pemeliharaan, suku cadang spesifik, dan upgrading sistem di masa depan tetap harus dibeli dari penyedia teknologi utama, yang berarti nilai tambah dalam pemeliharaan (yang seharusnya menjadi bagian lokal) terus mengalir ke luar negeri.
ADVERTISEMENT

Perangkap Nilai Tambah di Hilir (Operasional)

Setelah infrastruktur dan kereta selesai, Indonesia ditempatkan pada posisi GVC paling hilir, yaitu tahap operasional dan layanan. Pada tahap ini, upaya penangkapan nilai (Value Capture) hanya terbatas pada pendapatan dari penjualan tiket (revenue).
​Meskipun laporan menunjukkan bahwa pendapatan Whoosh sudah mampu menutup biaya operasional harian (gaji, energi, bahan bakar, dan pemeliharaan rutin), kapasitas penangkapan nilai ini secara struktural tidak memadai untuk menyeimbangkan beban biaya modal yang sangat besar di tahap hulu.

​Tantangan Penangkapan Nilai di Hilir

Kereta cepat Whoosh, Rabu (9/7). Foto: Dok. Humas KCIC
Penangkapan nilai di hilir memiliki berbagai tantangan. Pertama, batas kapasitas pasar. Meskipun rute Jakarta-Bandung sangat padat, volume penumpang memiliki batas. Untuk menutup utang yang bernilai miliaran Dolar, Whoosh harus beroperasi dengan tingkat okupansi yang luar biasa tinggi dan stabil selama puluhan tahun.
ADVERTISEMENT
Kemudian, nilai tambah lokal yang kecil. Program Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Whoosh masih didominasi oleh pekerjaan sipil (konstruksi), yang memiliki nilai tambah tergolong rendah dibandingkan komponen teknologi. Untuk GVC upgrading, Indonesia perlu masuk ke manufaktur suku cadang utama atau jasa pemeliharaan berteknologi tinggi. Tanpa transfer teknologi yang signifikan dan tuntas, upaya peningkatan nilai tambah lokal akan terhenti.
​Fenomena ini—operasional untung, tapi proyek secara keseluruhan merugi karena utang—adalah manifestasi dari penempatan posisi yang tidak menguntungkan dalam GVC. Indonesia membayar mahal untuk masuk ke GVC HSR (melalui utang), tetapi hanya diizinkan berpartisipasi di segmen bernilai rendah (operasi), sementara segmen bernilai tinggi (teknologi, manufaktur, dan margin pembiayaan) sudah diambil oleh lead firm Tiongkok.
ADVERTISEMENT

​Jalan Keluar: Upgrading GVC

Akses tol menuju stasiun Kereta Cepat Whoosh Halim di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 00+850 A akan ditutup secara permanen pada 18 Februari 2024. Foto: KCIC
​Dilema Whoosh adalah peringatan bagi proyek-proyek infrastruktur besar di masa depan. Solusi jangka panjang bukan hanya terletak pada peningkatan efisiensi operasional atau restrukturisasi utang, melainkan pada GVC upgrading, yaitu upaya untuk naik ke segmen rantai nilai yang lebih menguntungkan.
​Pertama, mendorong integrasi ekonomi. Agar nilai tangkapan di hilir maksimal, Whoosh harus bertransformasi menjadi koridor ekonomi, bukan sekadar transportasi. Perluasan konektivitas dari stasiun (terutama Tegalluar) ke pusat ekonomi Bandung Raya dapat meningkatkan volume penumpang dan mengoptimalkan nilai dari pembangunan properti di sekitar jalur (Transit-Oriented Development/TOD).
​Kedua, memaksa transfer teknologi. Pemerintah harus mendesak Tiongkok agar komitmen transfer teknologi tidak hanya bersifat seremonial, tetapi terstruktur dan terukur. Indonesia perlu menguasai teknologi perawatan dan perakitan komponen utama agar ketergantungan impor suku cadang berkurang dan biaya pemeliharaan dapat dikonversi menjadi nilai tambah lokal.
Pekerja memeriksa kondisi kereta cepat Whoosh di Depo Kereta Cepat di Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (16/12/2024). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
​Ketiga, reorientasi strategi pembiayaan. Di masa depan, proyek infrastruktur strategis harus meminimalkan risiko utang dalam mata uang asing untuk proyek yang menghasilkan pendapatan dalam Rupiah.
ADVERTISEMENT
​Whoosh adalah gerbang modernitas Indonesia. Namun, agar mimpi kecepatan ini tidak berubah menjadi mimpi buruk utang, pemerintah harus cerdas dalam mengatur posisi tawar Indonesia di dalam rantai nilai global. Jika tidak, Indonesia akan selamanya terjebak sebagai operator berteknologi rendah yang berjuang membayar utang berteknologi tinggi.