Konten dari Pengguna

Ketakutan ke Kekuatan: Menjadi ODHIV dan Menghadapi Dunia yang Tak Selalu Ramah

Olivia A Margareth
Seorang mahasiswa Jatinangor yang sering menghabiskan waktunya untuk mengulas film dan terbang menikmati musik.
18 Desember 2024 18:35 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Olivia A Margareth tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lukisan ilustrasi pita merah yang menjadi simbol untuk menunjukan dukungan, solidaritas, dan kesadaran akan HIV/AIDS. Sumber: Dokumentasi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan ilustrasi pita merah yang menjadi simbol untuk menunjukan dukungan, solidaritas, dan kesadaran akan HIV/AIDS. Sumber: Dokumentasi pribadi.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Kejutan dan Keputusasaan

Pada kenyataannya HIV sering kali tidak hanya menjadi virus yang menginfeksi tubuh, tetapi juga label yang tersemat. Layaknya bayangan yang tidak dapat dihindari, stigma mengenai HIV masih terus mengikuti. Alkar, yang waktu itu masih berusia 19 tahun, memutuskan untuk melakukan tes HIV, inginnya saat itu bukan untuk mencari jawaban yang mengejutkan. “Dulu iseng aja, karena ada program gratis,” ucapnya sambil mengingat-ingat keputusannya yang terlihat biasa saja. Ia tidak membayangkan bahwa hasil tes tersebut akan membawa perubahan yang bermakna pada hidupnya.
“Eh, pas dicek hasilnya ya kurang baik, begitu lah. Waktu itu rasanya kaget dan sempat down—stress juga berminggu sampai berbulan-bulan,” tambahnya.
Mencoba memendam kecemasan dan berusaha terus melanjutkan kehidupannya, saat itu Alkar hendak menghadiri jadwalnya untuk mengambil obat untuk terapi. Tanpa disadari ia telah membuka status terhadap atasannya di tempat kerja yang baru.
ADVERTISEMENT
“Semenjak saat itu saya dapat stigma buruk dan diskriminasi, lah. Secara tidak terhormat mau mengeluarkan saya.” Benar saja, dengan segala argumen dan musyawarah akhirnya Alkar harus keluar dari pekerjaan tersebut karena usahanya untuk jujur mengenai statusnya.
Tidak hanya dunia pekerjaan yang dengan dingin menolak kehadiran, rumah pun sudah tak terasa lagi hangatnya. Aby harus menelan rasa kecewa dan sedih yang datang dari orang tua ketika mereka mengetahui statusnya sebagai ODHIV di tahun 2018 ketika tubuhnya kian melemah.
“Udahlah gue tabrakin aja nih motor,” ucap Aby menirukan isi kepalanya saat pertama kali ia mengetahui statusnya.
Meski mendapatkan dukungan emosional dari sahabat, pengetahuannya dan keluarganya mengenai HIV yang masih minim saat itu membuatnya seperti teralienasi. Mulai dari makanan dan sikat gigi yang terpisah, bahkan tidak ada yang mau mengunjungi kamarnya. Setelah sempat tercengkram rasa putus asa beberapa bulan, ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan lagi—dorongan yang datang perlahan meski nyaris tak terdeteksi.
ADVERTISEMENT
Perlahan, Aby memilih untuk bertahan. Ia sadar untuk terus melanjutkan hidupnya melalui pengobatan adalah langkah yang harus ia ambil, meski setiap harinya perjuangan melawan rasa sakit dan takut harus ia jalani sendiri. Pada setiap obat yang ia konsumsi, meskipun awalnya justru membuatnya tersiksa, menjadi simbol dari keinginannya untuk terus bertahan dan membaik.
“Gapapa yang penting ikhtiar aja. Yang penting aku masih bisa hidup,” ujarnya.

Dilema Pengobatan

Pengobatan HIV adalah langkah yang penting untuk diambil, selain untuk mengendalikan virus dan mencegah komplikasi serius, pengobatan dapat meningkatkan kualitas hidup (dengan dapat beraktivitas dengan lebih baik) dan mengurangi risiko penularan. Meski begitu, banyak ODHIV, juga seperti yang dialami oleh Al yang harus berhadapan dengan efek samping dari obat-obatan ARV. Bagi Al rasa mual seperti mabuk telah menjadi suatu hal yang harus dihadapi selama menjalani pengobatan.
ADVERTISEMENT
“Waktu itu karena aku dikasihnya TLE (Tenofovir, Lamivudine, Efavirenz) pusing banget selama dua minggu, kayak orang yang mabok—kliyengan banget. Aku waktu itu kan kerja di hotel sampai aku terpaksa resign, gak kuat banget. Misal aku kan minumnya jam 10 malem, jam 12 malem tuh udah mulai kliyengan gak bisa ngapa-ngapain. Kayak gak sadar setengah sadar. Mau dilakuin juga (pekerjaannya) tetep dunia tuh muter banget,” keluh laki-laki 20 tahunan ini.
Efek samping dari obat-obatan ARV yang dikonsumsi, meskipun vital untuk menekan virus HIV, seringkali membawa dampak buruk bagi kesejahteraan mental mereka. Obat-obatan tersebut dapat memicu perasaan cemas, depresi, dan bahkan perasaan terasing dari kenyataan. Menurut informasi yang dilansir oleh Spiritia.or.id, beberapa obat dalam regimen antiretroviral (ARV), seperti efavirenz, yang merupakan bagian dari obat TLE, diketahui dapat memperburuk atau bahkan menyebabkan depresi pada penggunanya. Selain itu, golongan obat lainnya, seperti integrase inhibitor, juga dapat memicu gejala serupa. Efek ini menjadi tambahan berat bagi ODHIV yang sudah bergulat dengan perasaan tertekan akibat diagnosis HIV itu sendiri. Gejala-gejala seperti rasa cemas berlebihan, gangguan tidur, dan perasaan terisolasi sering muncul akibat dari konsumsi obat-obat ini.
ADVERTISEMENT
Keadaan ini membuat banyak ODHIV merasa terperangkap dalam lingkaran setan: mereka tahu bahwa pengobatan adalah hal yang wajib dilakukan, namun efek samping yang mengganggu keseimbangan mental mereka seringkali membawa fase yang cukup sulit. Bagi Karim, yang juga merasakan hal serupa, “Saya pernah putus obat 1-2 bulan karena depresi, jarak, dan juga finansial. Karena saya tinggalnya di kabupaten, akses obatnya lumayan jauh,” ujarnya.
Mengetahui efek samping obat yang sering kali menjadi tantangan besar, harapan terbesar bagi ODHIV adalah untuk tidak putus obat. Karena apabila demikian, resistensi terhadap obat bisa meningkat, dan hal ini akan memaksa untuk naik lini dalam pengobatan. Proses ini bukan hanya lebih mahal, tetapi juga semakin berat untuk dijalani. Dalam beberapa kasus, hanya tersedia di fasilitas kesehatan tertentu.
ADVERTISEMENT

Tidak Lagi Terpenjara

Satu hal yang menjadi titik terang adalah pentingnya edukasi yang lebih luas mengenai HIV. Banyak ODHIV, seperti Karim, Aby, dan Al, merasa bahwa jika mereka mendapatkan pemahaman lebih awal mengenai HIV, mereka mungkin dapat menjalaninya dengan lebih siap.
Pendidikan yang baik bukan hanya mengenai cara penularan dan pencegahan, tetapi juga bagaimana ODHIV bukanlah seorang terkutuk yang harus dihindari atau ditakuti.
“Aku harap masyarakat tau HIV tuh gak semenakutkan itu,” tegas Al, yang kini merasa lebih kuat setelah mengetahui bahwa dengan pengobatan yang tepat, HIV bukanlah akhir dari segalanya.
Sayangnya, edukasi mengenai HIV di Indonesia masih sangat terbatas. Banyak orang yang masih meyakini bahwa HIV dapat menular lewat cara yang keliru, seperti melalui nyamuk atau kontak fisik biasa. Hal ini justru membuat stigma yang semakin memperburuk keadaan ODHIV.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang juga harus dihadapi ODHIV selain stigma yang telah mengakar kuat adalah terbatasnya akses terhadap pengobatan yang terjangkau. Banyak yang harus menempuh perjalanan jauh seorang diri untuk mengakses obat, biaya pengobatan pun terkadang menjadi beban berat lainnya yang sulit untuk diatasi sendiri.
Edukasi mengenai HIV yang lebih luas dan akses yang lebih mudah terhadap pengobatan menjadi dua hal yang telah menjadi harapan kolektif. Bila kedua hal tersebut telah berjalan dengan optimal, maka harapannya adalah generasi mendatang tidak lagi terjebak dalam kebingungan dan ketakutan yang sama. Dengan semua tantangan yang menerjang bagai ombak riak, mereka masih memiliki kekuatan untuk terus menerjang. Bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk membantu orang lain yang berada dalam posisi yang sama.
ADVERTISEMENT
*Alkar, Al, dan Aby adalah nama samaran
Penulis: Olivia A. Margareth
Tim liputan: Olivia A. Margareth, Rachelia Dwi Sefira, Uyun Mubin