Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Cinta Mahasiswa untuk Burung Migran di Muara Kali Progo, Yogyakarta
email: [email protected]
29 Oktober 2019 4:29 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Paruhnya pendek. Dada putih corak abu,” kata seorang mahasiswa yang tengah mengamati seekor burung trinil pantai melalui teropong. Mahasiswa lain di sampingnya bertugas mencatat apa yang dilihat si peneropong.
ADVERTISEMENT
Bukan hal yang mudah untuk mengerti apa yang sedang dilakukan para mahasiswa ini. Di kejauhan, tiga atau empat mahasiswa merangkak dengan satu tangan memegang teropong sehingga tetap terpasang di mata, hati-hati, satu tangan mereka yang lain mengayuh jarak, mendekati kawanan burung lain yang sedang asyik berburu makanan di tepi muara sungai Kali Progo.
Panas terik kemarau panjang bulan Oktober yang sangat terasa berhamburan di langit, di udara, dan di pasir, tak sedikit pun menggoyahkan semangat mereka.
Minggu (27/10) pagi itu adalah hari kedua mereka berada di lokasi pengamatan. Sedari subuh, puluhan mahasiswa itu sudah mulai mempersiapkan dirinya. Ada yang sedang sibuk bersih-bersih badan, ada yang baru selesai salat, ada yang sedang mengemasi barang-barangnya, ada juga yang sekadar duduk santai menikmati kesejukan udara pagi yang jarang mereka temui di Kota Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah para mahasiswa yang sedang melakukan misi pengamatan burung migrasi di muara Sungai Progo. Mereka menamai kegiatan itu 'Festival Burung Pantai'.
Sejak Sabtu (26/10) sore mereka sudah melakukan pengamatan di muara Sungai Progo. Dan semalam, mereka bermalam di Sanggar Budaya Resi Bisma Dewabrata di Dusun Talkondo, Desa Poncosari, Srandakan, Bantul, Yogyakarta. Demi burung migran, ketika kawan sebayanya menghabiskan akhir pekan dengan segala kisah romantikanya, para mahasiswa ini justru bermalam Minggu di sebuah desa terpencil di ujung selatan Yogyakarta.
“Kurang lebih 50 orang, karena bukan hanya dari UNY saja, ada yang dari UGM dan kampus lain juga. Ini lagi siap-siap, nanti habis sarapan berangkat,” kata Arma Abdul Malik, mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) 2016 yang juga Koordinator Operasional Komunitas Pengamat Burung Bionic UNY.
ADVERTISEMENT
Setelah semua persiapan beres, perut juga sudah terisi, para penggila burung mulai bergegas menuju muara Kali Progo yang jaraknya sekitar lima kilometer dari tempat mereka menginap. Menggunakan sepeda motor, mereka menyusuri Jalan Pandansimo, membelah kabut tipis khas pedesaan. Aroma khas pantai semakin menyengat seiring terus melajunya sepeda motor ke arah selatan; itulah aroma pantai selatan.
Awalnya jalan masih mulus, hingga mendekati tujuan jalanan berubah sama sekali. Sekitar 1 kilometer dari muara Kali Progo, jalan aspal berganti menjadi jalan tanah berbatu. Debu mengepul setiap dilewati sepeda motor mereka. Samping kiri dan kanan adalah ladang dan tambak udang, jika tidak hati-hati, bisa-bisa motor tergelincir. Beruntung, semua sampai dengan semangat.
Sampai di muara sungai, mereka dibagi menjadi tiga tim pengamat. Teropong sudah terpasang, buku catatan dan pena juga sudah di tangan. Mereka sudah siap mencatat setiap burung yang mereka jumpai.
ADVERTISEMENT
Matahari yang mulai meninggi dan tak pernah segan menyengat ubun-ubun tak jadi soal. Sesekali canda tawa hadir di tengah mereka.
Orang-orang Aneh Kurang Kerjaan
Menjadi pengamat burung, bukanlah hobi dan tanggung jawab yang 'seksi' di kalangan mahasiswa. Alih-alih, “Justru banyak yang bilang kurang kerjaan, orang aneh. Burung kok diamati,” kata Alfian Surya Fathoni , mahasiswa Pendidikan Biologi UNY 2016.
Ini adalah tahun ketiga Alfian ikut kegiatan pengamatan burung migrasi di muara Kali Progo. Dari orang-orang di sekitarnya, dia kerap mendapatkan komentar seperti itu; dipandang aneh gegara hobi mengamati burung.
Alfian mengakui pernah menilai para pengamat burung sebagai, “kurang kerjaan”. Tapi setelah mengenal lebih jauh, melihat lebih dekat burung demi burung, rasa cintanya pada mereka mulai tumbuh. Bahkan, kini beberapa temannya yang berpandangan sama dengannya dulu juga mulai banyak yang tertarik dengan kegiatan “kurang kerjaan” itu.
ADVERTISEMENT
“Karena kalau tak kenal maka tak sayang,” kata Alfian.
Sabrina Warda Ayuni, mahasiswi Biologi UNY 2017 baru kali ini ikut kegiatan pengamatan burung pantai. Sabrina juga mengamini bahwa banyak yang memandang sebelah mata kegiatan mereka. Namun, Sabrina memilih untuk bersikap bodo amat.
Sabrina mengaku, sudah sejak kecil dekat dengan hal-hal berbau alam. Melihat burung-burung di pantai selatan untuk pertama kalinya membuat Sabrina mendapatkan kepuasan tersendiri, meski harus berpanas-panasan di bawah terik matahari.
“Bagus. Soalnya burung itu binatang yang cantik,” kata Sabrina.
Naufal Seta, mahasiswa Kedokteran Hewan UGM yang juga Koordinator Paguyuban Pengamat Burung Jogja mengatakan, pandangan sebelah mata orang-orang terhadap aktivitas mereka adalah hal biasa.
“Itu kan hak mereka, wajar lah karena mungkin belum tahu,” katanya.
ADVERTISEMENT
Perjumpaan Pertama
Pengetahuan dan perjumpaan pertama dengan burung migran menjadi peristiwa gegar budaya yang nyata bagi para mahasiswa ini. Di muara Kali Progo, Naufal Seta mengaku merasa bisa melihat keajaiban semesta untuk pertamakalinya dalam hidupnya. Kala itu senja baru saja tiba, ratusan burung migran terbang persis di atas kepalanya membentuk sebuah koreo yang mengagumkan.
“Ajaib. Mereka kok bisa datang berbarengan ke sini. Dan setelah dipelajari lagi, ternyata dia migrasi dari belahan bumi sebelah utara yang sangat jauh, ribuan kilometer jauhnya,” kata Naufal menceritakan kesan pertamanya menyaksikan burung-burung migrasi di muara Kali Progo.
Pelacakan jarak melalui google dari, diandaikan Rusia ke Yogya, jauhnya 7.725 kilometer. Ada daratan dan lautan panjang yang harus burung-burung migran itu taklukkan.
ADVERTISEMENT
Momen pertamakali bagi Alfian Surya Fathoni datang sekitar tiga tahun silam, juga di muara Kali Progo. Saat itu dia sadar, banyak sekali yang belum dia ketahui tentang semesta; bahwa ada surga di muara Kali Progo.
“Itu seperti tamparan keras sih, ternyata pengetahuan kita nggak ada apa-apanya,” katanya.
Awalnya Alfian melihat burung ya sekadar burung, tak ada yang istimewa. Hanya seekor binatang bersayap dengan warna putih, abu-abu, atau hitam. Namun sekarang, setelah cukup lama mengenal dunia burung, dia menyadari bahwa mereka adalah bagian dari keajaiban semesta.
Keajaiban semesta itu juga dirasakan oleh Sabrina. Dia begitu terkesan ketika melihat ratusan burung migrasi yang terbang menempuh ratusan bahkan ribuan mil dengan sayap-sayap kecilnya. Burung-burung itu baginya mengajarkan sebuah kebebasan dan kerja sama.
ADVERTISEMENT
“Freedom sih, bebas. Mereka terbang ribuan mil melewati samudera dari satu tempat ke tempat lain. Sebagian dari mereka terbang dalam kawanan, kerjasama mereka bagaimana? Itu semua menakjubkan sih,” kata Sabrina.
Tidak terlalu berlebihan jika muara Kali Progo dekat pantai Trisik disebut sebagai surga para burung pantai. Sebab, dari 78 spesies burung pantai, baik migrasi maupun penetap yang ada di Indonesia, 44 bisa dijumpai di muara Kali Progo.
“Muara Progo ini harta karun burung pantai di Indonesia,” kata Alfian.
Minggu pagi itu, hingga pukul 08.30 WIB, telah banyak jenis burung migran yang mereka catat. Cerek kernyut, cerek pasar besar, biru laut, trinil pantai, kedidi, dan beberapa yang lain yang sulit dikenali oleh mata orang awam.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, burung-burung yang menetap di kutub utara bumi, dari Rusia, Siberia, Mongolia, China, Jepang, bergerak melewati rute yang penerbangan Asia Timur-Australasia menuju selatan dengan tujuan Yogya, Papua, Selandia Baru dan Australia. Ada ribuan keajaiban yang dibuat si kecil bersayap itu setiap hari di atas langit kita.
Surga yang Terancam Hilang
Naufal Seta agak kecewa ketika mendapati perubahan lahan yang cukup signifikan di muara Kali Progo pagi itu. Dia menunjuk sebuah daratan kecil yang ada di tengah muara. Daratan itu dipenuhi oleh puluhan burung dara laut.
“Dulu tidak sekecil itu, dulu masih luas,” kata Seta.
Menyusutnya daratan itu tidak lain karena aktivitas manusia; terutama penambangan pasir yang juga ada di muara Kali Progo. Menurut Naufal, perubahan lahan akibat aktivitas manusia itu menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan ekosistem burung pantai di sana.
ADVERTISEMENT
Keadaan semakin parah ketika tambak udang turut memadati wilayah tersebut. Tambak-tambak itu semakin dekat dengan garis pantai, akibatnya ruang para burung pantai untuk mencari makan pun semakin sempit. Belum lagi soal limbah tambak yang juga menjadi problem tersendiri.
Banyaknya aktivitas pemancingan di sekitar muara juga turut menjadi ancaman. Pasalnya, insting binatang, termasuk burung akan selalu menghindari aktivitas manusia. Ketika tempat itu sudah semakin ramai oleh aktivitas manusia, sangat mungkin burung-burung itu pergi mencari tempat lain yang lebih aman dan nyaman untuknya. Selain pemancing, pemburu liar turut mengancam keberadaan surga di muara Kali Progo itu.
“Waktu sedang pengamatan dulu, saya pernah ketemu orang bawa senapan. Tangan satunya nenteng burung buruannya,” kata Naufal Seta.
ADVERTISEMENT
Alfian juga mengatakan demikian. Jika hal itu terus didiamkan, bisa-bisa surga di muara Kali Progo kehilangan surganya. Padahal, burung-burung pantai di sana menurut dia berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Sebagian dari burung itu akan mencari makan di persawahan dan lahan pertanian warga. Mereka akan memakan hewan-hewan kecil di sana seperti keong dan berbagai jenis serangga yang kerap menjadi musuh petani.
“Jadi mereka juga punya kontribusi besar untuk hidup manusia,” kata Alfian.
Ketika di hutan, burung juga menjadi agen penebar biji. Biji-biji itu nantinya akan tumbuh menjadi pohon-pohon baru yang dapat menjaga keseimbangan alam, tentunya jika tak ada tangan manusia yang merusak.
Melihat perubahan ekosistem di muara Kali Progo itu, Alfian berharap pihak-pihak terkait mau duduk bersama mencari jalan tengah atas masalah yang ada. Dia juga berharap agar muara Kali Progo ditetapkan sebagai kawasan konservasi, mengingat peran pentingnya bagi ekosistem burung pantai.
ADVERTISEMENT
“Jadi nggak bisa seenaknya sendiri lagi. Nggak ada lagi alasan aku itu sudah lama di sini. Itu sudah nggak bisa, burung-burung itu sudah lebih lama di sini,” kata Alfian.
Barangkali, telah ribuan tahun migrasi burung berlangsung. Ulang alik dari bumi utara ke selatan, ke selatan ke utara, menghindari musim dingin, rantai makanan burung migrasi menjadi mekanisme alam menjaga keseimbangannya. Dan manusia, kelewat sombong merasa bisa hidup sendiri. Bahkan ada sebutan ‘orang aneh’ bagi mereka yang hendak mencoba mengenali peristiwa keajaiban burung migran ini. Gusti Allah, kulo nyuwun pangapunten !. (Widi Erha Pradana / YK-1)