Konten dari Pengguna

Kisah Para Pemburu Rusa Kabupaten Mappi, Papua, Bersiap Kuliah di UGM

Pandangan Jogja Com
email: pandanganjogja@gmail.com
5 November 2019 14:35 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Calon mahasiswa UGM dari Kabupaten Mappi Papua saat mengikuti outbound di Wisma Pojok Indah, Yogyakarta akhir pekan lalu. Foto oleh : Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Calon mahasiswa UGM dari Kabupaten Mappi Papua saat mengikuti outbound di Wisma Pojok Indah, Yogyakarta akhir pekan lalu. Foto oleh : Widi Erha
ADVERTISEMENT
Suara binatang-binatang malam bersahutan ketika beberapa pemburu menyusuri jalan setapak menuju hutan Kabupaten Mappi, Papua. Makin masuk ke perut hutan, suara-suara itu makin riuh, menjelma kidungan alam yang niscaya bikin ciut nyali setiap ia yang terlahir bukan sebagai pemburu.
ADVERTISEMENT
Satu orang pemburu menirukan suara rusa sembari terus maju mengendap-endap, tangan kiri memegang senter, tangan kanan memegang parang. Para pemburu lain tetap di belakang, membeku, nyaris tanpa gerakan sama sekali.
Dari kejauhan, semak-semak bergoyang, diikuti bunyi ranting-ranting kering yang patah karena terinjak. Itu adalah rusa; target buruan malam itu. Rusa itu menghampiri para pemburu karena tertipu, mengira suara rusa tiruan benar-benar suara rusa.
Terus jalan mengendap dan terus menirukan suara si rusa, pemburu melangkah pelan maju ke depan. Begitupun rusa malang itu, dia juga terus melangkah maju, tanpa sadar kalau dia sedang menjemput kematian. Cahaya senter digunakan si pemburu untuk mengalihkan perhatian si rusa.
Ketika jarak keduanya hanya tinggal selangkah lagi, dengan sigap si pemburu menghantamkan parangnya ke tubuh rusa: krakkkk.
ADVERTISEMENT
Pemburu lainnya bergegas membantu, memegangi buruannya agar tidak lepas lagi. Rusa itu terkunci, luka di tubuhnya lama-lama membuatnya lemas hingga akhirnya mati kehabisan darah.
“Nah, pemburu yang di depan itu yang sudah master. Kalau tugas saya hanya memukul hasil buruan,” kata Marten Luther Mabur (19 tahun), seorang pemuda asli Kabupaten Mappi ketika ditemui di Wisma Pojok Indah, Yogyakarta, Sabtu (2/11).
Marten adalah salah satu dari 15 siswa lulusan SMA dari Kabupaten Mappi, Papua, yang sedang menjalani pendampingan untuk bisa masuk UGM. Program sudah berjalan sejak tahun 2018 dan diinisiasi oleh Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP-UGM) bekerja sama dengan Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerja Sama (PPKK) Fisipol UGM dan Pemerintah Daerah Kabupaten Mappi, Papua. Tahun lalu ada 20 siswa yang mengikuti program dengan 9 di antaranya berhasil masuk UGM.
ADVERTISEMENT
Mappi merupakan wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Merauke pada tahun 2002. Berpenduduk sekitar 76.295 jiwa, yang terdiri dari 12 suku asli dan 4 suku besar (Suku Awyu, Suku Yaghai, Suku Wiyagar, Suku Kuruway Citak). Kemungkinan besar, dalam waktu dekat Mappi akan masuk dalam provinsi baru pemekaran dari Provinsi Papua, yakni menjadi Provinsi Papua Selatan.
Alam Jadi Tulang Punggung Hidup
Keceriaan outbound calon mahasiswa UGM dari Mappi, Papua. Foto oleh : Widi Erha
Baru beberapa hari menjalani hidup di Yogya, para remaja usia belasan tahun dari wilayah yang terkenal sebagai kota sejuta rawa ini, gembira sekali diajak bercakap mengenai kota kelahiran mereka.
Bagaimana cuaca di Mappi ?
Siang hari, cuaca di Mappi sangat panas. Kendati masih banyak pohon dan hutan, tapi karena berada di dataran rendah membuat cuaca di sana sangat terik.
ADVERTISEMENT
“Kalau siang, orang itu sudah jarang di jalan raya soalnya panasnya terik,” kata Benyamin Yusak Komakaimu (19 tahun).
Benyamin menyambung keterangannya dengan perbandingan akan kegalauan masyarakat pada uang. Boleh saja penduduk Mappi galau dengan terik siang, tapi mereka tak pernah galau dengan uang, seperti yang mereka rasakan di Yogya sekarang dengan uang saku pas-pasan di kantong mesti cukup untuk bertahan hidup sebulan.
Benyamin mengatakan masyarakat Mappi hampir tak pernah dibuat galau karena tak punya uang. Di sana, mereka terbiasa memanfaatkan apa pun di sekitar mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sekitar 90 persen wilayah Kabupaten Mappi yang memiliki luas 28.518 kilometer persegi itu adalah kawasan sungai. Kata Beny sapaan akrab Benyamin, daratan di sana hanya berupa urat-urat di antara sungai dan rawa. Karenanya, sungai menjadi salah satu sumber utama penghidupan masyarakat Mappi. Dengan kondisi wilayah seperti itu, berenang menjadi kemampuan yang wajib dikuasai anak-anak Mappi.
ADVERTISEMENT
Hampir setiap hari, ketika masih tinggal di Mappi, Beny dan Aten (sapaan akrab Marten Luther Mabur) selalu menangkap ikan di sungai, baik dengan cara memancing maupun menjaring.
“Paling banyak ikan-ikan kastur. Ada juga arwana, gurami, mujair,” kata Beny.
Selain menyediakan ikan, air sungai-sungai di Mappi juga menjadi sumber air untuk pertanian masyarakat setempat. Terlebih, sekarang ini sudah dibangun irigasi-irigasi untuk mengairi lahan pertanian mereka.
Hutan juga menjadi bagian penting dari hidup mereka. Selain menyediakan berbagai jenis hewan buruan, masyarakat juga memanfaatkan berbagai jenis tanaman di sana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu yang paling populer di hutan Mappi adalah pohon gaharu.
“Gaharu itu sudah menjadi mata pencaharian sebagian masyarakat Mappi. Jualnya itu hitungnya per ons,” kata Aten.
ADVERTISEMENT
Selain gaharu, masih banyak jenis pepohonan di Mappi, pohon besi, jati, gambir, dan berbagai jenis pohon lain. Namun tetap saja, mata pencaharian utama mereka adalah bertani dan nelayan.
Hasil pertanian mereka beraneka ragam seperti pisang, manga, sayuran, dan tanaman-tanaman hortikultura lainnya. Karena sebagian besar lahan di sana adalah gambut, pertanian padi masih belum optimal. Selain itu, menurut Beny, masyarakat Mappi juga belum memiliki keterampilan yang cukup dalam bertani padi.
Listrik Byar Pet Tak Jadi Soal
Menuliskan kata Indonesia dengan spidol yang ditali dan digerakkan oleh 3 orang menjadi salah satu kegitan outbound calon mahasiswa dari Mappi, Papua, di Yogya akhir pekan lalu. Foto oleh : Widi Erha
Karena hasil pertanian beras belum optimal, mereka masih mengandalkan beras dari luar, terutama Merauke. Sebagian besar harga kebutuhan sehari-hari tak jauh beda dengan di daerah lain di Indonesia. Beras misalnya, harga per kilogramnya rata-rata Rp 10 ribu. Namun harga akan naik jika air laut pasang.
ADVERTISEMENT
“Kalau air pasang, beras bisa jadi Rp 15 ribu, soalnya kapal enggak bisa masuk. Jadi karena susah didapat, pasti barang-barang harganya naik,” kata Desiratang, gadis Mappi yang orang tuanya memiliki usaha sembako.
Yang paling terasa kenaikannya adalah BBM. Jika sedang terjadi gelombang pasang, harga bensin di Mappi bisa mencapai Rp 30 ribu per liter. Akibatnya, ongkos ojek yang merupakan transportasi utama masyarakat Mappi pun naik. Beny yang ketika di Mappi kerap mencari tambahan uang saku dengan mengojek bercerita, dalam kondisi normal saja, ongkos ojek di sana mencapai Rp 10 ribu per kilometer.
Listrik juga masih menjadi kendala di Mappi. Di Kepi saja, yang merupakan pusat kota Kabupaten Mappi, listrik dari PLN belum dapat mengalir selama 24 jam. Di Distrik Edera, tempat tinggal Desiratang, listrik dari PLN mengalir selama 12 jam, dari pukul 8 pagi sampai pukul 2 siang, kemudian baru menyala lagi dari pukul 6 sore sampai 12 malam.
ADVERTISEMENT
“Kalau ada pejabat atau hari raya baru 24 jam. Misal kalau ada bupati,” kata Desi.
Tapi itu masih lebih baik dari beberapa distrik lainnya. Di Distrik Haju, masyarakat masih mengandalkan tenaga diesel untuk menyalakan lampu ketika malam hari.
“Itu juga hanya dua jam. Jam 8 nyala, nanti jam 10 mati,” kata Samjami Amenda, pemuda asli Distrik Haju.
Internet juga hanya bisa dinikmati di warnet. Jaringan telkomsel, meski sudah ada namun belum terlalu baik dan masih jarang warga yang menggunakan smartphone.
“Kalau di rumah sendiri tidak pernah bingung kami makan apa. Walaupun tidak ada uang, pasti tetap bisa makan,” kata Beny.
ADVERTISEMENT
Tapi kini, di Yogya, listrik dan internet menyala 24 jam. Mereka, tentu saja senang.
Beternak Rusa
Marten Luther Mabur atau Aten. Foto oleh : Widi Erha
Menjadi mahasiswa UGM, menjadi impian dari 15 pemuda asal Mappi, Papua, yang jaraknya 2.000-an kilometer dari Yogya ini. Papuana, salah satu calon mahasiswa, mengungkapkan keinginan kuatnya untuk bisa kuliah di UGM. Dia berharap nantinya bisa masuk UGM sehingga impiannya untuk memajukan daerah terutama bidang kesehatan bisa segera terwujud.
“Saya ingin menjadi perawat karena di kampung saya perawat masih sangat jarang. Kami harus ke kota dulu kalau sakit," katanya
Lain dengan Aten, ia masih gelisah kenapa tidak ada yang serius beternak rusa padahal bisa memenuhi kebutuhan daging di sana tanpa harus mendatangkan daging kambing, sapi, atau ayam dari Merauke dan Surabaya.
ADVERTISEMENT
Selama ini, perburuan rusa lebih banyak dilakukan untuk senang-senang. Diceritakan Aten, dalam setiap perburuan, setelah rusa berhasil dilumpuhkan, rusa itu dibawa ke luar hutan, ke tepi sungai untuk dikuliti dan dipisahkan daging dan tulangnya. Bagian-bagian yang bisa dimanfaatkan diambil, sementara yang tidak bisa dimakan akan dibuang ke sungai menjadi santapan ikan-ikan di sana. Daging rusa itu dibawa pulang untuk dijual dengan harga Rp 25 ribu per kilogramnya, hasilnya dibagikan ke seluruh orang yang ikut berburu.
“Berburu memang menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat Mappi. Kalau berhasil diternakkan, tentu hasilnya berbeda, kan,” jelasnya.
Beyamin Yusak Komakaimu atau Beny. Foto oleh : Widi Erha
Berburu rusa kata Aten adalah perburuan paling mudah dan aman. Dia pernah ikut dalam perburuan yang lebih berbahaya, yaitu berburu babi hutan. Berburu babi hutan harus ekstra hati-hati, tidak bisa juga dilakukan saling berhadap-hadapan seperti berburu rusa. Biasanya mereka menggunakan panah atau tombak untuk melumpuhkan buruannya.
ADVERTISEMENT
“Tapi tombaknya harus pas. Kalau tidak dia akan nyerang balik, bisa mencabik-cabik kita pakai taringnya,” kata Aten.
Tapi, perburuan paling mengerikan adalah berburu buaya rawa. Di beberapa sungai atau rawa di Mappi, kata Aten masih banyak buaya. Selain harus menggunakan teknik yang tepat, tenaga yang harus dimiliki juga harus ekstra. Jika tidak, bisa-bisa mereka yang justru menjadi santapan si buaya.
“Saya langsung lemas waktu lihat buayanya,” kata Aten sambil terkekeh. (Widi Erha Pradana / YK-1)