Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
5 Fakta Kemiskinan di Yogyakarta yang Yakin Bikin Kamu Tambah Paham Masalah DIY
23 Januari 2023 17:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
ADVERTISEMENT
Data Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul 'Profil Kemiskinan di DIY pada September 2022' yang dirilis pekan lalu ramai diperbincangkan warga Yogya. Rilis tersebut mengungkapkan, persentase penduduk miskin di DIY mencapai 11,49 persen.
ADVERTISEMENT
Dari jumlah total penduduk DIY sebanyak 4,07 juta maka ada 463.630 penduduk miskin di DIY. Dengan jumlah ini DIY menyandang predikat sebagai provinsi dengan persentase kemiskinan tertinggi di Jawa.
Di bawah DIY ada Jateng (10,98 persen / 3,86 juta orang miskin), Jatim (10,49 persen / 4,236 juta orang miskin), Jabar (7,98 persen / 4,05 juta orang miskin), Banten (6,24 persen / 829 ribu orang miskin) dan yang paling sedikit persentase penduduk miskinnya adalah DKI Jakarta (4,61 persen / 494 ribu orang miskin).
Berikut 5 Fakta penting yang disarikan dari 'Profil Kemiskinan di DIY pada September 2022' yang jarang diperhatikan sehingga yakin bikin kamu bisa tambah paham soal masalah kemiskinan di DIY.
ADVERTISEMENT
1. Di DIY Tak Ada Lulusan Sarjana dan D3 yang Masuk Kategori Miskin
Menurut Kepala Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Soman Wisnu Darma, mayoritas penduduk miskin di DIY adalah lulusan SMP dengan persentase sebesar 48 persen yakni berjumlah. Lalu disusul oleh lulusan SMA-D1 sebesar 29 persen dan terakhir lulusan SD yaitu sebanyak 23 persen. Tak ada satupun lulusan D3 dan Sarjana yang menyandang predikat orang miskin versi BPS.
BPS mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan memang punya korelasi erat dengan angka kemiskinan. Hal ini disebabkan lulusan SMP dan SD mayoritas bekerja sebagai pekerja serabutan sehingga sulit untuk masuk ke sektor formal bergaji tetap bulanan.
“Kalau tinggal di kota orang miskin ini kerjanya serabutan, kalau di desa buruh tani,” terang Kepala Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Soman Wisnu Darmadi Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
2. 70 Persen Penduduk Miskin di DIY Tinggal di Perkotaan
Rilis data BPS menunjukkan penduduk miskin di DIY lebih banyak tinggal di perkotaan, yaitu mencapai 321,07 ribu orang daripada penduduk miskin desa yang hanya 142,57 ribu. Itu artinya, penduduk miskin DIY sebanyak 69,25 persen tinggal di perkotaan dan hanya 31,75 persen tinggal di perdesaan.
Perkotaan ini yang dimaksud bukan hanya daerah Kota Yogyakarta, Jakal, atau dalam Ring Road saja, melainkan penduduk yang tinggal di kawasan infrastruktur pemerintah dan pusat belanja, misalnya di sekitar toserba-toserba di Bantul, Wates, maupun Wonosari Gunungkidul.
3. Kabupaten Kulon Progo Menempati Posisi Pertama Persentase Jumlah Penduduk Miskin di DIY, Kalau Jumlah Terbanyak di Bantul
Berdasarkan data BPS tahun 2022, Kulon Progo menempati posisi pertama wilayah dengan persentase penduduk miskin terbesar di DIY yakni sebesar 18 persenan dari total jumlah penduduk. Disusul Gunungkidul sebanyak 16 persenan, Bantul 13 persenan, Sleman 8,7 persenan, dan Kota Yogya sebanyak 8 persenan koma sedikit.
ADVERTISEMENT
Sementara dari jumlah penduduk miskin, Bantul memiliki 130 ribuan penduduk miskin, disusul oleh Gunungkidul sebanyak 123 ribuan. Sleman memiliki 99 ribuan penduduk miskin dan terakhir Kota Yogya memiliki 30 ribuan penduduk miskin.
Nyambung dengan nomor 2, jadi, kalau mau kenalan sama penduduk miskin di DIY, bisa segera meluncur ke sudut-sudut kota dan kabupaten ya.
4. Standar Nilai Konsumsi untuk Hidup Minimal di DIY Rp 551.242 Sebulan atau Rp 18.375 per Hari
Konsumsi senilai Rp 551.241 sebulan adalah patokan Garis Kemiskinan dari hasil statistik BPS DIY. Seseorang yang konsumsinya senilai di atas Rp 551.242 tiap bulannya, maka orang itu bukan termasuk kategori penduduk miskin.
Nilai konsumsi tersebut bukan hanya harus dalam bentuk pembelian dengan uang ya. Mengambil dari kebun sendiri pun akan dihitung sebagai nilai konsumsi.
ADVERTISEMENT
Jadi, seorang buruh tani di pelosok Kulon Progo yang dalam sebulan ngirit sekali sehingga tidak pernah membelanjakan uangnya pun bisa dianggap tidak miskin kalau nilai konsumsinya tiap bulan di atas Rp 551.242 itu.
“Maka ingat, nilai konsumsi tidak ada hubungannya dengan gaya hidup ngirit ya. Ambil sayur dari kebun sendiri, sayurnya itu ada nilai rata-ratanya. Beras juga begitu, ambil dari sawah sendiri, atau dikasih tetangganya, juga akan dihitung,” papar Soman.
Artinya orang yang masuk kategori miskin di data BPS adalah orang yang benar-benar dalam sebulan nilai konsumsinya, baik beli pakai uang, dibantu tetangga atau pemerintah, ambil kebun kelompok, kurang dari Rp 551.242 ribu itu.
O ya, nilai Rp 551.242 itu merupakan gabungan dari konsumsi minimal di kategori makanan sebesar Rp 398.363 dan konsumsi non makanan sebesar Rp 152.979.
ADVERTISEMENT
Nilai standar konsumsi minimal agar orang bisa hidup di DIY atau disebut Garis Kemiskinan (GK) di DIY termasuk sangat tinggi. Sebab, di Jawa Tengah nilainya hanya sebesar Rp 464.879, kemudian Jawa Timur Rp 487.908, dan Jawa Barat Rp 480.350.
Di Jawa, garis kemiskinan DIY hanya lebih rendah dari Banten dan DKI Jakarta. Garis kemiskinan Banten pada September adalah sebesar Rp 598.748, sedangkan Jakarta Rp 773.370.
5. Pedagang Sayur Keliling dan Kos-kosan Adalah Faktor Terbesar dari Tingginya Garis Kemiskinan
Menurut BPS DIY, andil pedagang sayur keliling berpengaruh terhadap tingginya Garis Kemiskinan. Kebiasaan rata-rata warga DIY yang ternyata lebih suka membeli bahan makanan dari pedagang keliling daripada di pasar tradisional atau swalayan modern, membuat harga rata-rata komoditas makanan di DIY jadi lebih mahal.
ADVERTISEMENT
“Jadi survey kami tanya pada populasi di mana belanjanya? Mayoritas belanjanya, ternyata, lebih suka di pedagang sayur keliling yang tentu saja harga rata-rata barangnya lebih tinggi kalau beli di pusat barang yakni pasar tradisional dan swalayan modern,” kata Kepala Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Soman Wisnu Darmadi Yogyakarta.
Selain itu, DIY pada September 2022 juga mengalami inflasi pada September 2022 sebesar 6,81 persen yang disebabkan juga oleh naiknya harga BBM dan minyak goreng.
Tak hanya di bidang makanan, faktor terbesar kedua Garis Kemiskinan adalah harga sewa kos atau perumahan yang mencapai angka 8,6 persen. Jika dikalkulasikan dari nilai Garis Kemiskinan sebesar Rp 551.242 per orang untuk satu bulan, kebutuhan seseorang untuk menyewa kos adalah Rp 64 ribu per bulan. Apabila satu kamar dihuni oleh 4,2 orang (rasio jumlah keluarga di DIY) maka rata-rata sewa kos standar minimal adalah Rp 268 ribu per bulannya.
ADVERTISEMENT