Cerita Gudeg Yu Djum, Jogja (2): Setianya Pegawai Dapur pada Simbok
ADVERTISEMENT
Bagi pegawai dapur Gudeg Yu Djum, gudeg bukan sekadar makanan. Gudeg adalah tentang kesetiaan. Kesetiaan pada proses, pada prinsip, dan pada almarhumah Simbok (Yu Djum) yang mengajari segalanya.
Saijo, satu dari belasan pegawai yang bekerja di dapur Gudeg Yu Djum. Dia kini jadi salah satu pegawai senior dan jadi pemain kunci produk Gudeg Yu Djum yang kini bikin banyak orang ketagihan.
ADVERTISEMENT
“Sudah 20-an tahun saya kerja di sini,” kata Saijo, 62 tahun, di tengah kesibukannya memasak ayam, di Dapur Yu Djum Jalan Kaliurang, Sleman, beberapa waktu lalu.
Ampun, di siang yang terik itu semua tungku berbahanbakar kayu, menyala merah membara. Panas sekali.
Saijo, dengan sigap memasukkan potongan-potongan ayam kampung ke dalam sebuah panci besar berisi air mendidih di atas tungku. Lengannya yang kekar tampak berkilau memantulkan sinar merah dari api yang membara di dalam tungku.
Pak Jo, sapaan akrabnya di dalam dapur, memang tidak sejak muda bekerja di Gudeg Yu Djum. Tapi dia cepat belajar. Dia pernah menangani semua divisi masak di dapur itu. Mulai dari memasak telur, membuat sambal krecek, memask nasi, memasak nangka muda jadi gudeg, dan kini dia fokus untuk memasak ayam.
ADVERTISEMENT
“Semuanya penting, satu saja enggak enak bisa kacau semua rasanya,” lanjut dia.
Ya, detail rasa setiap komponen adalah kunci dari kelezatan Gudeg Yu Djum. Tak ada komponen yang tak penting, sekecil apapun itu. Semua mesti dimasak dengan sempurna, tak ada toleransi. Itulah yang diajarkan Yu Djum kepada Pak Jo, juga pegawai-pegawai lain yang pernah merasakan didikan keras Yu Djum.
Yu Djum, sang maestro gudeg itu, memang sudah berpulang sejak 2017 silam. Tapi semua perkataannya masih melekat dalam benak dan pikiran Pak Jo. Tentang kerasnya Yu Djum, ketekunannya, disiplinnya, juga tentang konsistensinya dalam memegang teguh kualitas setiap masakan.
“Enggak pernah berani ngurang-ngurangin, bisa kuwalat nanti,” ujarnya setengah bercanda.
Belajar dari Nol
Sebelum bekerja di dapur Gudeg Yu Djum, Pak Jo memang sudah menguasai dasar-dasar membuat gudeg. Tapi, bukan berarti dia bisa langsung menempati posisi penting di dapur Yu Djum. Sama dengan karyawan-karyawan lain, dia juga harus memulai kariernya dari bawah.
ADVERTISEMENT
Pak Jo masih ingat bagaimana awal-awal dia merintis karier. Dimulai dari mengupas dan mencacah gori atau nangka muda, mengupas telur, membersihkan ayam, baru setelah bertahun-tahun dia dipercaya menempati posisi penting dalam menentukan cita rasa gudeg. Selain diajari langsung oleh Yu Djum, dia juga banyak belajar dari para seniornya yang hampir semuanya kini sudah pensiun.
“Ternyata memang beda sama cara bikin gudeg yang saya tahu sebelumnya,” ujarnya.
Tapi jangan bayangkan proses belajar berlangsung secara formal. Tak ada yang secara eksplisit mengajarinya bagaimana cara dan langkah-langkah membuat gudeg yang baik. Dia belajar dengan cara mengamati apa yang dilakukan senior-seniornya di dapur.
Ada yang lebih sulit ketimbang belajar langkah-langkah memasak gudeg, yakni menentukan cita rasa gudeg yang sesuai dengan standar Yu Djum. Pasalnya, tak ada resep khusus yang bisa jadi patokan. Di sini, lidah punya peran terbesar dalam menghasilkan cita rasa gudeg yang diinginkan. Dan kunci dari semuanya adalah proses dan pengalaman. Ya, persis seperti yang dikatakan seorang penulis Amerika itu, Malcolm Gladwell, butuh setidaknya 10.000 jam untuk menjadi ahli.
ADVERTISEMENT
Tak terhitung berapa kali Pak Jo harus mencicipi setiap komponen Gudeg Yu Djum untuk melatih lidahnya. Mungkin puluhan, atau bahkan ratusan kali sampai dia benar-benar yakin seperti apa detail-detail rasa Gudeg Yu Djum.
“Kuncinya pengalaman, kalau di Jawa istilahnya titen,” kata Pak Jo.
Kesetiaan dalam Setiap Porsi Gudeg
Bagi Pak Jo, juga pegawai-pegawai lain di dapur Gudeg Yu Djum, gudeg bukan sekadar makanan. Gudeg adalah tentang kesetiaan. Kesetiaan pada proses, kesetiaan pada prinsip, dan tentunya kesetiaan pada Yu Djum yang telah mengajarinya membuat gudeg.
Tanpa kesetiaan pada proses, maka tak mungkin mereka betah bekerja di dalam dapur yang panas hingga belasan atau bahkan puluhan tahun. Dan tanpa kesetiaan pada prinsip, maka tak akan ada cita rasa gudeg yang konsisten meski sudah puluhan tahun.
ADVERTISEMENT
“Bisa dibilang ini juga bentuk hormat kami sama simbok (Yu Djum),” ujar Pak Jo.
Apalagi gudeg itulah yang selama ini menghidupi dia dan keluarganya. Dari membuat gudeg di dapur Yu Djum, dia bisa menyekolahkan anaknya sampai jenjang S2 di UGM. Dan Pak Jo, bukan satu-satunya yang bisa menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang kuliah dari gudeg.
“Banyak, hampir semua pegawai di sini anaknya bisa sampai kuliah,” lanjutnya.
Dengan kemampuannya membuat gudeg, sebenarnya bisa saja Pak Jo mendirikan warung gudeg sendiri. Tapi dengan semua yang dia dapat selama bekerja di dapur Gudeg Yu Djum, dia merasa tak pantas untuk melakukannya.
“Saya enggak mau dianggap jadi penghkhianat,” tegas Pak Jo.
Salah seorang pemilik Gudeg Yu Djum Pusat, yang juga menantu pertama Yu Djum, Tri Widodo, 65 tahun, mengatakan sebenarnya sudah cukup banyak pegawai-pegawainya yang keluar setelah menguasai cara membuat gudeg dan mendirikan warung gudeg sendiri. Dan Widodo tak pernah mempersoalkan itu. Dia justru ikut senang jika ada mantan pegawainya yang sukses setelah membuka usaha sendiri.
ADVERTISEMENT
“Ada pegawai yang termasuk pertama kerja di sini, sekarang sukses juga bikin warung sendiri,” ujarnya.
Rezeki tidak akan tertukar, begitu yang dia yakini. Toh, lebih banyak pegawai yang lebih setia bekerja dengan dia. Itu semua, tak lepas dari cara dia memperlakukan mereka. Di depan para pegawainya, dia tak pernah bersikap layaknya bos kepada karyawannya. Widodo lebih suka menjadi teman atau orangtua untuk para pegawainya, itulah yang menurut dia jadi kunci kesetiaan para pegawai kepada dirinya.
Hampir semua pegawai di dapurnya memang sudah berumur, paling tidak usianya 40 tahun ke atas. Bukan karena ia enggan mempekerjakan anak-anak muda yang notabene punya tenaga yang lebih prima. Tapi semuanya memang soal proses, anak-anak muda yang bekerja di dapur harus memulai semuanya dari nol. Dan tak semua orang bisa setia pada proses itu.
ADVERTISEMENT
“Makanya kebanyakan kan yang di dapur memang sudah tua-tua, yang muda juga ada tapi bantu yang gampang-gampang dulu,” kata Tri Widodo. (Widi Erha Pradana / YK-1)
*Ini adalah seri kedua dari 2 seri tulisan Gudeg Yu Djum, Jogja. Simak seri pertama: