Konten Media Partner

Dari 1,12 Juta Rumah Tangga di DIY, 250.000 Masih Tinggal di Kontrakan

25 Oktober 2022 15:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kamar kos. Foto: Kumparan/Berita Jatim
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kamar kos. Foto: Kumparan/Berita Jatim
ADVERTISEMENT
Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ilham Muhammad Nur, mengungkapkan bahwa masih ada backlog atau kekurangan rumah di DIY sekitar 250.000 unit. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa pada 2021 ada sebanyak 23,47 persen rumah tangga di DIY tinggal di rumah bukan milik sendiri, misalnya sewa atau kontrak.
ADVERTISEMENT
Dengan jumlah rumah tangga sekitar 1,120 juta, artinya ada sekitar 262.000 rumah tangga di DIY yang tinggal di rumah bukan miliknya sendiri menurut BPS.
Ilham mengatakan, backlog atau kekurangan rumah ini sulit untuk dicukupi, terutama karena terbatasnya lahan di DIY. Harga tanah yang sangat tinggi membuat pengembang sulit mendapatkan lahan yang cocok digunakan untuk mengembangkan perumahan.
“Kalaupun ada lahan, secara hitung-hitungannya itu jadi sangat mahal nanti produk huniannya, kecuali kalau kita mau beralih ke hunian vertikal seperti apartemen atau rumah susun,” kata Ilham Muhammad Nur, Senin (24/10).
Padahal, kebutuhan hunian terbesar berasal dari kalangan masyarakat dengan penghasilan rendah. Hal itu membuat angka backlog perumahan menjadi semakin sulit dikurangi, pasalnya para pengembang juga sulit untuk menyuplai produk hunian dengan harga yang dapat dijangkau oleh penduduk dengan penghasilan rendah.
ADVERTISEMENT
Tingginya harga tanah yang merupakan komponen utama harga jual rumah juga membuat suplai rumah subsidi sangat sulit untuk dipenuhi. Pasalnya, dari kementerian memberikan syarat harga maksimal rumah yang dapat disubsidi, yakni sebesar Rp 150.500.000. Jika pengembang tidak mengikuti harga yang telah ditetapkan, maka pengembang juga tidak akan mendapatkan fasilitas subsidi dari pemerintah.
“Ketika harga tanah tinggi, pasti tidak bisa hitung-hitungan untuk menjual dengan harga Rp 150.500.000, karena harga jual itu sudah ditentukan oleh Kementerian Keuangan,” ujarnya.
“Karena di Jogja tidak ada kesediaan lahan yang pas untuk memproduksi rumah subsidi, kami pengembang juga kesulitan untuk menyuplainya,” lanjutnya.
Ketua DPD REI DIY, Ilham Muhammad Nur. Foto: Istimewa
Untuk bisa menyuplai hunian subsidi, Ilham mengatakan bahwa harga tanah maksimal adalah sekitar Rp 250 ribu per meter. Dengan harga itu, maka pengembang bisa menyuplai rumah subsidi dengan luas tanah mencapai 60 meter.
ADVERTISEMENT
“Tapi di mana bisa mencari tanah harga Rp 250 ribu di Yogya? Sulit sekali,” ujarnya.
Tahun lalu, realisasi perumahan subsidi di DIY hanya sekitar 200-an unit. Dengan realisasi sekecil itu, maka backlog sebesar 250.000 unit menjadi sangat sulit untuk dikurangi. Sebagai perbandingan, di Jawa Barat realisasi rumah subsidi dari anggota REI saja mencapai 18.000 unit.
“Padahal pemerintah memberikan dana subsidi yang sangat besar, tapi masyarakat Jogja mendapatkannya sangat kecil,” kata Ilham Muhammad Nur.
Pada tahun anggaran 2022, Kementerian PUPR bakal memberikan subsidi untuk 222.586 unit rumah. Pemberian subsidi dilakukan melalui fasilitas kemudahan dan bantuan pembiayaan perumahan berupa Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), dan Pembiayaan Tapera.
ADVERTISEMENT
Alokasi Kementerian PUPR melalui FLPP sebesar Rp23 triliun untuk 200.000 unit rumah dan BP2BT sebesar Rp888,46 miliar untuk 22.586 unit rumah. Sehingga sebenarnya ada hampir subsidi untuk 250 ribuan rumah.
"Tapi ya itu Yogya setahun cuma mengakses 200-an unit, sangat kecil karena tidak ada tanah yang tersedia di harga rumah subsidi yang Rp 150 juta itu," jelas Ilham.
Tingginya harga tanah ini menurut Ilham masih bisa diatasi, salah satu alternatifnya adalah dengan mengubah konsep hunian dari rumah tapak (landed house) menjadi hunian vertikal seperti apartemen atau rusun.
Dengan hunian vertikal, biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan lahan menjadi bisa ditekan.