Fasum Ramah Difabel di Indonesia Masih Minim, tapi Gak Boleh Minder Sama Barat

Konten Media Partner
12 Juli 2022 18:11 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengunjung difabel tuna netra di ruang pamer JDA ARTJOG 2022. Foto: Ikram Artopologi
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjung difabel tuna netra di ruang pamer JDA ARTJOG 2022. Foto: Ikram Artopologi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jika dibandingkan dengan negara-negara Barat, seperti di Eropa maupun Amerika, fasilitas umum untuk penyandang disabilitas di Indonesia masih tertinggal jauh. Tapi, ratusan tahun lalu, sebenarnya ada masa ketika leluhur Nusantara jauh lebih inklusif terhadap penyandang disabilitas ketimbang peradaban Barat.
ADVERTISEMENT
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Jogja Disability Arts (JDA), sebuah komunitas seni yang didirikan para penyandang disabilitas di Jogja, Sukri Budi Dharma. Memang, secara fasilitas disabilitas Indonesia kalah jauh dibanding Barat, tapi leluhur Nusantara punya budaya budaya gotong royong yang membuat mereka bisa jauh lebih memanusiakan penyandang disabilitas.
“Kekuatan kita itu di masyarakat, di manusianya. Kenapa di luar fasilitasnya di penuhi, karena masyarakatnya individualis. Sedangkan masyarakat kita itu punya gotong royong yang tinggi,” kata Sukri Budi Dharma, alias Butong, saat ditemui setelah pembukaan ARTJOG 2022 di Jogja National Museum (JNM), akhir pekan kemarin.
Butong menyayangkan, Indonesia yang sudah sangat inklusif sejak masa Kerajaan Singosari justru sekarang diajari bagaimana memperlakukan penyandang disabilitas oleh peradaban Barat. Padahal, peradaban Barat sendiri baru belajar tentang inklusivitas pada abad ke-20.
ADVERTISEMENT
“Masa kita belajar dengan negara yang individualis, sedangkan ruh kita dari dulu gotong royong,” lanjutnya.
Seorang pengunjung difabel di ruang pamer DJA ARTJOG 2022. Foto: Ikram Artopologi
Dengan gotong royong dan budaya saling bantu itulah para penyandang disabilitas di Nusantara zaman dulu bisa mendapatkan ruang dan peran yang layak di tengah masyarakat. Namun masyarakat yang sudah sangat inklusif itu mengalami kemunduran di era kolonial, saat penjajah dari Barat masuk dan menerapkan tanam paksa.
Dengan adanya tanam paksa, masyarakat kemudian dibedakan menjadi masyarakat produktif dan tidak produktif. Penyandang disabilitas, dikelompokkan sebagai masyarakat yang tidak produktif.
“Jadi bisa dikatakan justru Barat yang membuat kemunduran inklusivitas di Indonesia, tapi sekarang mereka malah mau ngajarin kita tentang inklusivitas, kan lucu,” ujarnya.
Meski begitu, bukan berarti fasilitas disabilitas di tempat umum tidak penting. Karena budaya gotong royongnya sudah jauh menurun sejak era kolonial, mau tidak mau Indonesia saat ini juga butuh pembangunan fasilitas disabilitas yang memadai.
ADVERTISEMENT
“Ini dampak dari ratusan tahun kita didoktrin tentang individualisme oleh Barat, sehingga untuk menumbuhkan gotong royong dan kepedulian itu akan butuh waktu yang sangat lama,” kata Sukri Budi Dharma.