Konten Media Partner

Hardjuno Wiwoho Sebut Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Langkah yang Revolusioner

17 Desember 2024 14:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hardjuno Wiwoho. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Hardjuno Wiwoho. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Wacana penerapan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa pemidanaan terus menjadi sorotan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pendekatan ini dianggap mampu memperkuat pemulihan kerugian negara dari hasil tindak pidana korupsi, khususnya ketika pelaku tidak dapat dijerat melalui jalur pidana konvensional.
ADVERTISEMENT
Ahli Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, menilai Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan ini merupakan langkah yang revolusioner untuk pemberantasan korupsi. Namun, penerapan NCB di Indonesia kata dia memerlukan sejumlah pembenahan, baik dalam aspek regulasi maupun budaya hukum.
Hardjuno menilai, regulasi khusus yang mengatur mekanisme NCB diperlukan agar langkah ini dapat diimplementasikan secara efektif. Saat ini, perampasan aset di Indonesia masih berada dalam kerangka hukum pidana melalui Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebelum aset dapat dirampas.
“Dalam banyak kasus, kondisi seperti meninggalnya pelaku atau kurangnya alat bukti sering kali menghambat proses hukum pidana. Di sinilah NCB menjadi relevan, karena memungkinkan negara untuk merampas aset tanpa harus menunggu pelaku dinyatakan bersalah,” jelas Hardjuno dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/12).
ADVERTISEMENT
Ia juga menekankan bahwa mekanisme NCB membutuhkan pendekatan hukum perdata yang terpisah dari hukum pidana.
“Jika digabungkan dengan UU Tipikor, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih yang menghambat implementasi NCB,” tambahnya.
Tantangan Implementasi
Hardjuno Wiwoho. Foto: Dok. Pribadi
Hardjuno menggarisbawahi sejumlah tantangan dalam penerapan NCB, termasuk resistensi politik dan birokrasi.
“Banyak kasus korupsi melibatkan aktor-aktor dari sektor politik dan birokrasi, yang bisa saja menghambat pelaksanaan instrumen ini. Dibutuhkan keberanian politik dan komitmen yang kuat dari pemerintah,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya sistem pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.
“Perampasan aset tanpa pemidanaan harus dilakukan secara transparan, dengan tetap menghormati hak asasi manusia. Proses ini tidak boleh melanggar prinsip keadilan, terutama terhadap pihak ketiga yang tidak terlibat dalam tindak pidana,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Hardjuno, kerja sama internasional juga menjadi elemen penting dalam pelaksanaan NCB.
“Sebagian besar aset hasil korupsi sering disembunyikan di luar negeri. Indonesia perlu memperkuat perjanjian bantuan hukum timbal balik dengan negara-negara lain, terutama yang menjadi surga bagi aset koruptor,” katanya.
Ia menyebutkan contoh negara seperti Amerika Serikat dan Australia yang telah memanfaatkan NCB untuk memulihkan aset yang disembunyikan di luar negeri.
“Kita bisa belajar dari mereka. Dengan pendekatan yang tepat, NCB bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk memerangi korupsi,” tambahnya.
Harapan Ke Depan
Hardjuno Wiwoho. Foto: Dok. Pribadi
Hardjuno berharap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang sedang dibahas dapat segera disahkan dengan kerangka hukum yang jelas dan implementasi yang matang.
“RUU ini penting untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak lagi dapat menikmati hasil korupsinya,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Ia optimistis bahwa melalui penerapan NCB yang efektif, Indonesia dapat membangun sistem hukum yang lebih adil dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi.
“Kuncinya adalah konsistensi dan komitmen dari semua pihak. Jika ini bisa diwujudkan, tidak ada lagi tempat bagi koruptor untuk bersembunyi,” tutupnya.