KPU Dinilai Terjebak Hal Teknis dan Abai Kualitas Pemilu: Cuma Agenda Rutin

Konten Media Partner
27 Mei 2023 21:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“Jika pemilu terus begini, yang terjadi hanya pergantian formasi, pergantian orang dan rutinitas."
Sosiolog UGM, Arie Sujito, berbicara dalam Diskusi Pojok Bulaksumur, Jumat (26/5). Foto: Dok. Humas UGM
Setiap penyelenggaraan pemilu semestinya memiliki terobosan baru seperti menguatkan diskusi dan kontestasi politik, adu gagasan bukan malah sebaliknya makin merebaknya politik uang, depolitisasi, oligarki politik, dan politik identitas.
ADVERTISEMENT
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu sudah semestinya melakukan tugasnya demi kualitas demokrasi secara esensial yang lebih baik di 5 tahun mendatang dan bukan hanya menjadi panitia rutin pencoblosan kertas suara.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Pojok Bulaksumur yang bertajuk "Pemilu 2024: Antara Penegakan Hukum dan Keberpihakan Ekonomi," Jumat (26/5), di selasar timur Gedung Pusat UGM.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Humas dan Protokol UGM ini menghadirkan tiga orang narasumber yakni Sosiolog Politik UGM, Arie Sujito, Ketua Pusat Kajian Demokrasi Konstitusi, dan HAM FH UGM, Yance Arizona, dan Ekonom FEB UGM, Dumairy.
Sosiolog UGM, Arie Sudjito, sangat menyayangkan diskursus publik yang mengemuka dalam masa jelang pemilu 2024 ini didominasi justru oleh pertarungan antar partai sebagai konspirasi membentuk blok politik tanpa adanya pertarungan ide dan gagasan.
ADVERTISEMENT
Arie mengkritisi peran vital KPU sebagai penyelenggara pemilu yang terjebak pada hal teknis dan prosedural, namun tidak menguatkan kualitas pemilu dengan melakukan edukasi ke calon pemilih muda, edukasi larangan politik uang hingga mencegah terjadinya kampanye politik identitas.
“Jika pemilu terus begini, yang terjadi hanya pergantian formasi, pergantian orang dan rutinitas. Pemilu kita terjebak pada rutinitas, terjebak pada teknokrasi,” paparnya.
Selain itu, Arie juga mengkritik bahwa partai selama ini tidak menguatkan perannya dalam melahirkan calon pemimpin berkualitas, namun berebut mencari aktor politik dari kalangan pengusaha atau mantan tentara yang berasal dari luar partainya.
“Seharusnya di era reformasi, peran partai itu menguat dalam melahirkan calon pemimpin bangsa. Elite politik kita harus keluar dari zona nyaman dari rutinitas pemilu ini,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Sementara Yance Arizona menilai pemilu 2024 sepertinya tidak akan menjawab harapan masyarakat untuk menguatkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia meski ada partai yang kampanye anti korupsi, namun seperti sebelumnya justru saat berkuasa para elite dan kadernya melakukan praktik korupsi.
Tidak hanya di tingkat partai, Yance juga menilai lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK sekarang ini dilumpuhkan perannya sebagai lembaga antirasuah di Indonesia.
“Sekarang KPK sebagai punggawa pemberantasan korupsi tidak seperti dulu lagi, sudah kehilangan kemampuan untuk melakukan kontrol,” ujarnya.
Sedangkan ekonom senior FEB UGM, Dumairy, mengatakan keberpihakan politisi dan partai pada kelompok yang lemah pada petani dan nelayan sangat sulit diwujudkan sepanjang transaksi politik uang antara calon pemimpin dengan pemilih masih saja berlangsung.
ADVERTISEMENT
”Kita tidak bisa berharap banyak, apapun yang dikampanyekan caleg dan calon pemimpin. Kita masih terperosok dalam lubang yang sama dalam setiap pemilu,” katanya.