Konten Media Partner

Sejarah Tak Lagi Jadi Pelajaran Wajib di Sekolah dan Kampus, P3SI Menyayangkan

3 Maret 2022 17:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prodi pendidikan sejarah UNY. Foto: Dok. Prodi Pendidikan Sejarah UNY
zoom-in-whitePerbesar
Prodi pendidikan sejarah UNY. Foto: Dok. Prodi Pendidikan Sejarah UNY
ADVERTISEMENT
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 tahun 2022 tentang Perubahan PP 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Namun, PP tersebut mendapat kritikan karena ternyata tidak mencantumkan secara eksplisit pendidikan sejarah atau sejarah Indonesia ke dalam satuan kurikulum sebagai mata pelajaran atau mata kuliah wajib.
ADVERTISEMENT
Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang juga Sekretaris Jenderal Perkumpulan Prodi Pendidikan Sejarah se-Indonesia (P3SI), Zulkarnain, mengatakan bahwa persoalan ini sebenarnya telah terjadi sejak tahun lalu. Saat itu, P3SI juga mengkritik dan mendorong pemerintah untuk merevisi PP Nomor 57 tahun 2021 tentang SNP karena menghapus sejarah sebagai mata pelajaran wajib.
Hasilnya, pemerintah memang melakukan revisi PP tersebut menjadi PP Nomor 4 tahun 2022 yang ditetapkan pada 12 Januari 2022.
Namun, ternyata perubahan tersebut tetap tidak mengakomodir permintaan P3SI untuk memasukkan pendidikan sejarah maupun sejarah Indonesia ke dalam pelajaran wajib di sekolah maupun perguruan tinggi.
“Tapi sama saja, sejarah sama sekali tidak disinggung di dalam PP ini,” kata Zulkarnain di Yogyakarta, Kamis (3/3).
Kongres 1 P3SI. Foto: Dok. P3SI
Dalam salinan PP Nomor 4 tahun 2022 tersebut memang sama sekali tidak ada pendidikan sejarah maupun sejarah Indonesia tidak dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi.
ADVERTISEMENT
Dalam Pasal 10 ayat (2), disebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan atau kejuruan, serta muatan lokal.
Sedangkan pada ayat (6), disebutkan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah agama, Pancasila, kewarganegaraan, serta bahasa Indonesia.
“Jadi (sejarah) tidak menjadi mata pelajaran wajib, kemungkinan hanya menjadi bagian dari IPS,” ujarnya.
Menurut Zulkarnain, jika sejarah hanya jadi bagian dari mata pelajaran tertentu, maka porsinya tidak akan cukup untuk memberikan semua materi sejarah yang dibutuhkan siswa. Hal ini akan membuat pengetahuan sejarah generasi mendatang semakin terkikis karena hanya mendapatkan sangat sedikit pengetahuan sejarah di bangku sekolah.
ADVERTISEMENT
“Padahal sejarah kan sangat penting untuk kita belajar menyongsong masa depan, jangan sampai kita terjebak terus pada masalah yang sama karena tak pernah belajar dari sejarah,” kata Zulkarnain.
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Foto: Shutter Stock
Dosen Pendidikan Sejarah dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang juga Ketua Umum P3SI, Abdul Syukur, juga menyayangkan tidak dimasukkannya sejarah sebagai mata pelajaran wajib. Padahal, P3SI telah menyampaikan aspirasi tentang pentingnya sejarah sebagai pelajaran wajib, yang disusun oleh pakar sejarah dan fungsionaris organisasi profesi, pendidik, pengajar, serta peneliti bidang sejarah.
“Hal itu memberi kesan bahwa materi sejarah tidaklah menjadi penting untuk diajarkan melalui pembelajaran yang terstruktur,” kata Abdul Syukur.
Pendidikan sejarah menurut dia penting untuk jadi mata pelajaran dan mata kuliah wajib karena mengandung konten yang kaya dengan pesan-pesan moral berbangsa dan bernegara seperti nasionalisme, patriotisme, jiwa besar, dan integritas bahkan bermakna dalam memberi sumbangan pembentukan imajinasi negara bangsa yang modern.
ADVERTISEMENT
Karena itu, pelajaran sejarah menurut dia punya potensi besar untuk mengembangkan karakteristik pemimpin untuk masa depan bangsa.
Fenomena saat ini, generasi muda sudah banyak kehilangan sumber informasi tentang sejarah perjuangan, tokoh pejuang, semangat pendiri negara, dan keunikan serta kebanggaan bangsa dan negaranya.
“Kekhawatiran kita semua bahwa generasi berikut akan mengalami pergeseran paradigma, pemahaman terhadap esensi berbangsa dan bernegara karena derasnya informasi melalui media dan hasil karya yang perlahan namun pasti akan mereduksi nasionalisme ke-Indonesiaan kita,” ujarnya.