Sultan HB X: Mitos Jawa-Sunda Dilarang Menikah Itu Misi Gagalkan Sumpah Pemuda

Konten Media Partner
31 Agustus 2021 13:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Mitos orang Jawa dan orang Sunda tak boleh menikah merupakan propaganda Belanda bagian dari devide et impera untuk menggagalkan Sumpah Pemuda.
Ilustrasi Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan HB X bersama permaisuri GKR Hemas. Foto: Kratonjogja.id
Ada mitos bahwa orang Jawa dilarang menikah dengan orang Sunda. Konon, hal itu didasarkan pada peristiwa perang bubat yakni perang antara Majapahit dan Sunda dimana dalam peristiwa itu Panglima Besar Majapahit Gadjah Mada membunuh Raja Sunda dan Putri Kerajaan.
ADVERTISEMENT
Raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono, berpandangan bahwa mitos tersebut merupakan propaganda Belanda untuk menggagalkan Sumpah Pemuda. Targetnya, untuk memecah belah dua kubu terbesar sebagai bagian dari politik devide et impera Belanda.
“Sebab, jika keduanya bersatu, akan menjadi kekuatan dahsyat untuk memerdekakan dari kekuasaan penjajah,” kata Sultan dalam webinar series Ksatriyavinaya di Bubat yang diadakan Dinas Kebudayaan DIY, Kamis (26/8).
Sultan menjelaskan, perihal perang bubat publik Indonesia mengenal dari intelektual Belanda, C.C. Berg yang menuliskannya dalam disertasinya pada tahun 1927-1928.
C.C. Berg, menyebutkan telah menyadur dari sumber sejarah yang dikatakan sebagai naskah asli, namun menurut Sultan, sampai akhir disertasinya Berg tak pernah menyebut sumber aslinya tersebut.
“Sehingga dapat dipastikan, ia menulis atas imajinasinya sendiri,” lanjut Sri Sultan.
Ilustrasi Patih Gadjah Mada. Foto: Wikipedia
Sebagai seorang profesor, C.C. Berg menurut Sultan sangat mungkin punya maksud terselubung untuk menimbulkan dendam, rasa benci, dan permusuhan antarsuku dengan memberi opini publik bahwa telah terjadi kecurangan yang dilakukan salah satu pihak, dalam hal ini Kerajaan Majapahit.
ADVERTISEMENT
Apalagi pada saat yang hampir berbarengan dengan penerbitan naskah disertasi C.C. Berg, dilaksanakan juga Sumpah Pemuda yang menurut Sri Sultan tentu sudah diketahui oleh intelijen Belanda.
“Jadi naskah C.C. Berg merupakan propaganda untuk menggagalkan Sumpah Pemuda. Targetnya, untuk memecah belah dua kubu terbesar sebagai bagian dari politik devide et impera Belanda,” jelas Sultan.
Sayangnya, sejak disertasi C.C. Berg, konflik batin dan mental antara Jawa dan Sunda ini terus berlangsung. Sehingga, diperlukan sebuah rekonsiliasi antarbudaya dan antaretnik. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah dengan membuka ruang untuk menafsir ulang secara kritis peristiwa pada masa lampau tersebut, serta memvisikan masa depan yang rukun dan damai sebagai kerangka masa kini.
Salah satu upaya yang dilakukan Pemda DIY untuk memutus konflik antara Jawa dan Sunda di antaranya memberikan nama Jalan Siliwangi, Pajajaran, dan Majapahit menjadi satu kesatuan menerus dalam satu jalur dari ruas simpang empat Pelemgurih ke Jombor, lalu dilanjutkan hingga simpang tiga Maguwoharjo, dan disambung lagi dari ruas simpang tiga Janti hingga simpang empat Jalan Wonosari.
ADVERTISEMENT
“Hal yang sama juga telah diprakarsai oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan menambahkan tetenger kota Surabaya dengan nama Jalan Siliwangi dan Jawa Barat dengan Majapahit,” kata Sri Sultan.
Upaya-upaya rekonsiliasi kultural harus selalu dilakukan supaya generasi baru tidak terkunci oleh sejarah kelam masa lalu yang diragukan kebenarannya. Sehingga anak-anak muda bisa menemukan energi baru untuk mengeksplorasi masa depan bersama dan lebih mempererat tali persaudaraan sebagai satu kesatuan Bangsa Indonesia yang bermartabat.
Filolog Jawa, KRT Manu J Widyaseputra. Foto: Istimewa
Di kesempatan yang sama, Filolog dan peneliti budaya Jawa, KRT Manu J Widyaseputra mengatakan bahwa tak pernah ada peperangan dan pertumpahan darah di dalam Kidung Sunda maupun naskah lain seperti Sundayana, Ranggalawe, maupun Harsawijaya.
“Selama ini Bubat dipahami sebagai peperangan antara Majapahit dan Sunda, diceritakan bahwa Gadjah mada membunuh Raja Sunda dan Putri Kerajaan, ternyata di Kidung Sunda tidak pernah ada,” kata KRT Manu.
ADVERTISEMENT
Dalam Kidung Sunda, tidak pernah diceritakan pembantaian pasukan Sunda oleh Majapahit, Raja dan Putri Kerajaan Sunda yang dibunuh, serta Hayam Wuruk yang menikahi perempuan lain setelah Putri Kerajaan Sunda dibunuh. Semuanya menurut dia merupakan pengertian yang diwariskan oleh para sejarawan Belanda saat itu yang berpikir bahwa sebuah negara harus terdapat konflik yang menyebabkan korban jiwa dan pertumpahan darah.
“Jadi kalau dikatakan di situ ada permusuhan antara orang Sunda dan orang Jawa, itu yang ngomong siapa? Teksnya tidak pernah cerita tentang itu,” ujarnya.