Tak Butuh Banyak Pengunjung, Desa Wisata Jogja Incar Orang Kaya

Konten Media Partner
26 Juni 2022 18:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wisata alam sungai di Desa Tamanmartani. Foto: Projectlensa Productio
zoom-in-whitePerbesar
Wisata alam sungai di Desa Tamanmartani. Foto: Projectlensa Productio
ADVERTISEMENT
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Singgih Raharjo, mengatakan bahwa desa wisata menjadi salah satu pariwisata unggulan di Yogyakarta. Saat ini, ada sekitar 130 desa wisata di DIY dan sedang terus dikembangkan.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, desa wisata akan menjadi wisata masa depan di Yogyakarta. Sebab, konsep desa wisata tidak lagi mengejar kuantitas jumlah pengunjung tapi lebih mengejar kualitasnya.
“Konsep desa wisata memang bukan mass tourism, tapi lebih ke minat khusus. Jadi meskipun jumlahnya lebih sedikit tapi kualitasnya lebih baik,” kata Singgih Raharjo ketika dihubungi Pandangan Jogja @Kumparan, Jumat (24/6).
Melalui desa wisata, wisatawan akan diajak untuk tinggal selama beberapa hari di desa tersebut supaya lebih mengenal dan mengeksplorasi aspek sosial budaya desa tersebut. Dengan begitu, wisatawan akan mendapat pengalaman yang mendalam bersama masyarakat setempat.
“Misalnya paket wisata di Desa Nglanggeran. Di sana wisatawan diajak untuk ronda, kenduren, sehingga ikut mengalami sosial budaya masyarakat di sana,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dalam desa wisata, pendapatan ekonomi bukan jadi satu-satunya indikator desa tersebut sukses. Ada aspek lain yang akan menentukan sukses tidaknya sebuah desa wisata, di antaranya aspek kelembagaan, sosial, budaya, serta lingkungan. Jadi, meskipun pendapatan sebuah desa dari sektor wisatanya besar, saat sosial budaya desa itu luntur atau lingkungannya rusak, desa tersebut tidak bisa dikatakan sukses.
“Target kita semakin dilestarikan, semakin menyejahterakan,” lanjutnya.
Memang, dia mengakui bahwa masih banyak desa wisata di DIY yang membutuhkan pendampingan. Pemerintah menurut Singgih masih memberikan pemahaman dan pelatihan kepada pengelola desa wisata, bahwa konsep desa wisata bukan sekadar menyediakan spot foto atau wahana outbound.
Sebab, saat ini banyak desa wisata yang justru menjadikan outbound sebagai konten utama wisata mereka. Padahal outbound menurut Singgih hanyalah bagian kecil saja dari desa wisata.
ADVERTISEMENT
“Esensi desa wisata itu live in. Kalau dia datang ke desa wisata hanya untuk selfie atau outbound, pasti salah alamat,” ujarnya.
Karena memiliki konsep berbeda, desa wisata juga menargetkan pasar yang berbeda. Target desa wisata adalah kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan dan ekonomi menengah ke atas. Jadi, meskipun jumlahnya sedikit, kontribusi para wisatawan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat setempat diharapkan bisa setara bahkan lebih besar ketimbang wisata-wisata yang mengejar kuantitas pengunjung.
Saat ini, beberapa desa wisata di DIY menurut Singgih mulai sukses menarik wisatawan untuk menginap, bahkan tak jarang yang datang adalah wisatawan mancanegara. Misalnya Desa Wisata Nglanggeran di Gunungkidul serta Desa Wisata Pentingsari dan Pancoh di Sleman.
“Karena itu, tahun ini kami mulai intens memberikan pelatihan bahasa Inggris untuk pemandu-pemandu wisata di desa wisata,” kata Singgih Raharjo.
Kegiatan wisatawan di Desa Wisata Nglanggeran. Foto: Instagram @gunungapipurba
Hal yang sama disampaikan oleh pakar pariwisata Universitas Gadjah Mada, Amiluhur Soeroso. Menurutnya, target pasar desa wisata mestinya kalangan menengah ke atas. Tak jadi masalah jumlah pengunjung menurun, tapi dengan kehadiran pengunjung berkualitas, pendapatan desa wisata bisa menyamai atau bahkan lebih tinggi dari wisata dengan konsep mass tourism.
ADVERTISEMENT
“Kan lebih baik misalnya pengunjung hanya 10 orang sebulan tapi pendapatan sampai Rp 100 juta, daripada dapatnya sama Rp 100 juta tapi harus mendatangkan 1.000 orang,” kata Amiluhur Soeroso.
Dengan jumlah wisatawan yang lebih sedikit, pengendalian oleh pengelola juga akan semakin mudah. Ketika desa didatangi wisatawan dalam jumlah besar, risiko terkikisnya budaya dan kearifan lokal juga semakin besar.
“Potensi kerusakan lingkungannya juga makin sulit dibendung,” lanjutnya.
Salah satu indikator suksesnya desa wisata menurut dia adalah ketika wisatawan mau datang lagi ke tempat itu. Karena itu, desa wisata mesti menawarkan pengalaman tinggal dan merasakan kehidupan di tengah masyarakat desa. Jika desa wisata hanya menjual spot foto, maka sulit membuat wisatawan untuk berkunjung lagi setelah kunjungan pertama.
ADVERTISEMENT
“Masalahnya di Jogja ini terlalu mensimplifikasi bahwa semua desa bisa dijadikan tempat wisata dan seringkali wisatanya diada-adakan. Padahal yang paling bagus itu orang datang untuk melihat kehidupan masyarakat di situ secara natural,” kata Amiluhur Soeroso.