Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Terungkap Sebab Yogya Termiskin di Jawa: Harga Sayur Keliling dan Kos-kosan Naik
22 Januari 2023 18:45 WIB
·
waktu baca 8 menitADVERTISEMENT
Mayoritas warga DIY lebih suka belanja di sayur keliling ketimbang pasar tradisional dan swalayan modern sehingga harganya lebih mahal. Harga kos standar minimal BPS yang bisa dihuni oleh 4,2 orang per kamar juga naik menjadi Rp 268 ribu per bulan.
Berita Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai provinsi termiskin di Jawa membuat geger warga Yogya sepanjang pekan ini.
ADVERTISEMENT
BPS menyayangkan penyebutan provinsi termiskin yang tak akurat benar. Sebab, yang tepat dan akurat adalah ‘persentase penduduk miskin di DIY per September 2022 tertinggi di Jawa.’
"Bukan terbanyak ya, tapi persentase terbanyak. Beda itu artinya, karena nanti ada kaitan sama gini ratio, indeks pembangunan manusia, pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya," kata Kepala Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Soman Wisnu Darmadi Yogyakarta, Jumat (20/1).
BPS mengingatkan, ketidaktepatan membaca data bisa berakibat serius bagi langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat secara luas.
Seperti halnya judul artikel ini, kebutuhan judul berita online (bertujuan mudah dimengerti pembaca dalam sekali lihat), di kasus data orang miskin, membuat bacaan atas data BPS memang bisa kurang tepat, kurang mendalam, dan yang paling sial adalah memungkinkan solusi untuk mengurangi angka kemiskinan di DIY jauh dari yang dibutuhkan oleh si miskin yang dicatat BPS.
ADVERTISEMENT
"Data BPS itu sebagai pijakan pembangunan, mohon jangan sampai keliru membaca data apalagi menafsirkan data di luar konteks yang tepat," kata Soman.
Data BPS yang dirilis pekan ini mengungkapkan, persentase penduduk miskin di DIY mencapai 11,49 persen. Dari jumlah total penduduk DIY sebanyak 4,07 juta maka ada 463.630 penduduk miskin di DIY.
Di bawah DIY ada Jateng (10,98 persen / 3,86 juta orang miskin), Jatim (10,49 persen / 4,236 juta orang miskin), Jabar (7,98 persen / 4,05 juta orang miskin), Banten (6,24 persen / 829 ribu orang miskin) dan yang paling sedikit persentase penduduk miskinnya adalah DKI Jakarta (4,61 persen / 494 ribu orang miskin) .
Menurut Soman, salah satu sebab tingginya angka kemiskinan di DIY adalah karena rata-rata masyarakat di DIY lebih suka membeli bahan makanan (sembako) dari pedagang keliling seperti sayur keliling, alih-alih di pasar tradisional yang lebih murah, atau swalayan modern.
ADVERTISEMENT
“Kita ada 3 kategori tempat belanja itu dan mayoritas warga Yogya lebih suka belanjanya di sayur keliling sehingga memang harga barangnya kan lebih tinggi,” kata Soman
Untuk lebih jelas memahami harga sayur keliling dan hubungannya dengan masalah kemiskinan di DIY, mari kita mulai dari definisi kemiskinan dalam angka statistik BPS.
Memahami Garis Kemiskinan
Garis Kemiskinan (GK) dalam pengertian BPS, merupakan suatu nilai pengeluaran minimum, kebutuhan makanan dan bukan makanan, yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin.
Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per orang per bulan di bawah GK.
Nah, pada September 2022, GK di DIY sebesar Rp 551.242 per orang per bulan. Maka, seseorang dianggap miskin kalau dalam sebulan pengelurannya tidak sampai angka itu
ADVERTISEMENT
Adapun angka GK disusun oleh Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per orang per hari.
Paket komoditas kebutuhan dasar makanan (sejumlah 2100 kalori) tersebut diwakili oleh 52 jenis komoditas (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
Sementara, Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan (termasuk kos), sandang, pendidikan, dan kesehatan (total ada 51 jenis komoditas).
Dan dengan angka GK sebesar Rp 551 ribu per orang, GKM di DIY punya angka Rp 398.363 (72,25 persen dari total GK) dan GKNM sebesar Rp152.979,00 (27,75 persen dari total GK).
ADVERTISEMENT
Kalau konsumsi makananmu kurang dari nilai GKM maka kamu miskin makanan dan jika konsumsi non makananmu kurang dari nilai GKNM di atas maka kamu miskin non makanan.
Tapi jika konsumsi makan + non makananmu di bawah standar semua yang kalau dijumlah sama dengan Rp 551. 242 maka kamu akan masuk sebagai warga DIY yang benar-benar miskin.
Dan Soman mengingatkan, angka Garis Kemiskinan tidak ada hubungannya dengan gaya hidup sederhana alias ngirit.
“Sebab, yang dihitung sebagai Garis Kemiskinan bukan hanya berapa jumlah uang yang mereka belanjakan, tapi total 103 komoditas yang dikonsumsi rata-rata minimal dari keseluruhan orang Yogya. Jadi sengirit-ngiritnya kecuali dia memang miskin beneran pasti konsumsinya lebih dari GK,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Di Mana dan Siapakah si Miskin di DIY? 70 Persen di Perkotaan dan Lulusan SMP 48 Persen
Menjabat sebagai Kepala Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Soman Wisnu Darma, mengatakan, mayoritas penduduk miskin di DIY, yakni 48 persen, adalah lulusan SMP.
Penduduk miskin yang pendidikannya SMA-D1 sebesar 29 persen. Sisanya sebanyak 23 persennya adalah lulusan SD.
“Jadi tingkat pendidikan memang punya korelasi erat dengan angka kemiskinan,” tandas Soman.
Karena pendidikannya hanya SD dan SMP, mayoritas penduduk miskin ini bekerja serabutan. Jika ia di perkotaan ia kerja apa saja serabut dan jika di desa ia bekerja sebagai buruh tani.
ADVERTISEMENT
"Jadi mereka adalah pekerja serabutan yang tak tentu penghasilannya, bukan pekerja formal yang bergaji tetap sebulan standar Upah Minimum Provinsi (UMP). Lulus SD dan SMP kan susah untuk masuk ke sektor formal, maka konsumsi mereka ya tidak sampai Rp 551.242 sebulan," jelas Soman.
Untuk tempat tinggal, sebagian besar penduduk miskin di DIY itu berada di perkotaan.
Dari total 463.630 orang miskin di DIY, yang tinggal di kota mencapai 321,07 ribu orang. Sedangkan penduduk miskin yang tinggal di perdesaan sebesar 142,57 ribu.
Perkotaan yang dimaksud di sini bukan hanya Kota Yogya, tetapi warga DIY yang tinggal di kawasan dengan standar perkotaan seperti adanya infrastruktur pemerintah dan pusat belanja.
ADVERTISEMENT
Jadi, orang yang tinggal di sekitar Kantor Kabupaten Bantul atau di Wates, Kulon Progo, atau di Kepek, Gunungkidul juga termasuk perkotaan. Apalagi yang tinggal di dalam Ring Road Yogya sudah pasti termasuk tinggal di perkotaan.
Berdasar data BPS 2022, penduduk miskin DIY paling banyak berturut-turut secara persentas berada di Kabupaten Kulon Progo (18 persen dari total penduduk setempat), Gunungkidul (16 persenan), Bantul (13-an persen dari total jumlah penduduk setempat), Sleman (8,7 persen), dan terakhir di Kota Yogya (8 persenan).
Secara jumlah, orang miskin di DIY berturut-turut berada di Bantul (130 ribuan), Gunungkidul (123 ribuan), Sleman (99 ribuan), Kulon Progo (73 ribuan), dan Kota Yogya (30 ribuan).
Biaya Hidup Minimal di DIY Lebih Mahal dari Jateng, Jatim, dan Jabar
Ada satu angka menarik dari perhitungan kemiskinan BPS. Yakni, angka biaya hidup minimal atau angka Garis Kemiskinan (GK) di DIY lebih tinggi dari Jateng, Jatim, dan Jabar.
ADVERTISEMENT
Pada September 2022, GK DIY sebesar Rp 551.342 per kapita per bulan. Sementara di Jawa Tengah garis kemiskinan pada September 2022 hanya sebesar Rp 464.879, kemudian Jawa Timur Rp 487.908, dan Jawa Barat Rp 480.350.
Di Jawa, garis kemiskinan DIY hanya lebih rendah dari Banten dan DKI Jakarta. Garis kemiskinan Banten pada September adalah sebesar Rp 598.748, sedangkan Jakarta Rp 773.370.
Angka tersebut secara tersirat berkata bahwa, secara umum biaya hidup (konsumsi) standar minimal di Yogya dan sekitarnya lebih tinggi daripada di Semarang dan sekitarnya, Surabaya dan sekitarnya, dan juga Bandung dan sekitarnya.
Tapi ingat, secara luas wilayah, Jateng, Jatim, dan Jabar jauh lebih luas ketimbang DIY sehingga rata-rata harga beli produk di seluruh wilayah yang luas tersebut, menurut BPS, lebih murah ketimbang rata-rata DIY.
ADVERTISEMENT
Soman Wisnu Darma, menerangkan tiga faktor utama kenapa angka Garis Kemiskinan (GK) di DIY, lebih tinggi dari provinsi lain.
Pertama karena inflasi Yogya selama 6 bulan (Maret 2022-September 2022) cukup tinggi, sehingga mempengaruhi harga barang yang dikonsumsi.
Pada September 2022, inflasi DIY naik sebesar 6,81 persen dibandingkan dengan September 2021. Hal ini mengakibatkan harga-harga barang yang dibeli oleh masyarakat mengalami kenaikan. Ingat, secara nasional pada tahun lalu, juga terjadi harga BBM dan minyak goreng.
Persoalan kedua, rata-rata masyarakat di DIY menurut Soman juga lebih suka membeli bahan pokok dan makanan dari pedagang keliling seperti sayur keliling.
“Sudah inflasi tingga, belanjanya di sayur keliling sehingga ketemu rata-rata harga barang atau komoditas makanannya lebih tinggi dari daerah lain di Jawa,” jelas Soman.
ADVERTISEMENT
Faktor terakhir yang menyebabkan tingginya angka Garis Kemiskinan di Yogya menurut Soman adalah naiknya harga sewa kos di perkotaan DIY.
“Harga sewa kos-kosan standar minimal, naiknya lumayan,” ujarnya.
Dari perhitungan BPS, kos-kosan pada September 2022, menyumbang pengeluaran sebesar 8,6 persen dari total nilai GK yang nilainya Rp 551.242 per orang per bulan, sama dengan Rp 64 ribu per orang per bulan.
Jika satu kamar dihuni 4,2 orang (ini adalah angka rasio jumlah keluarga di DIY), rata-rata sewa kos standar minimal menurut standar Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) per September 2022 adalah Rp 268 ribu per bulan.
Berdasar data-data tersebut di atas, apapun solusi untuk pengentasan kemiskinan di DIY, masyarakat miskin kota dengan lulusan mayoritas SMP dan SD adalah kunci.
ADVERTISEMENT