Pesugihan Gagal: Kisah Mistis Pertokoan Sepi di Masa Pandemi

Konten dari Pengguna
23 Mei 2020 13:45 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bangunan berhantu. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bangunan berhantu. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengalaman pahit digaruk razia Satpol PP saat jualan di tepi jalan, jadi luka yang tak pernah sembuh di hati Junaedi. Padahal sore itu di hari-hari terakhir bulan puasa, pembeli sedang ramai karena Lebaran sudah makin dekat. Di tengah kesibukan melayani pembeli, dia tak menyadari kedatangan petugas yang langsung memorak-porandakan pakaian yang dijajakannya.
ADVERTISEMENT
Dia mencoba mengemas sisa dagangan sebisanya, tapi aparat seolah tak memberi ampun. Semua disikat kena razia. Padahal, Junaedi sudah meniatkan hari itu adalah hari terakhir jualannya. Dia akan segera pulang ke kampungnya di Ciseeng, untuk menemui istri dan anak perempuan semata wayangnya yang sudah berhari-hari sakit.
Dia sengaja tak cepat pulang untuk menengok anaknya. Pertimbangan Junaedi, dia akan lebih bisa membiasakan istri dan anaknya jika pulang sembari membawa uang hasil jualan. Tapi keinginan hanya berakhir jadi lamunan. Kini dia harus pulang dengan tangan hampa. Tercenung ditabuhi deru roda baja KRL beradu dengan rel.
***
“Ikut aku. Dari wajahmu, aku tahu kamu sedang susah. Ada jalan untuk meraih kesenangan,” ujar seorang pria lewat paruh bayu, sambil menepuk bahu Junaedi. Entah nyata atau mimpi, antara sadar dan tidak, Junaedi yang sedang larut dalam lamunan patuh mengikuti lelaki berwajah kusam itu. Pasrah seperti kerbau dicocok hidung.
ADVERTISEMENT
Entah dimana, mereka menyusuri jalan yang rindang namun senyap. Dingin dan sunyi membekap. Tapi bukan dingin dan sunyi yang menenangkan. Junaedi malah gelisah, tubuhnya bercucur peluh sampai basah. Tapi dia tetap saja mengikuti lelaki berwajah kusam, dengan rambut dan janggut kusut masai. Di tangannya melintang gelang akar bahar. Pada jari di kiri dan tangan kanannya, tersemat cicin dengan batuk aki merah menyala.
Mereka pun tiba di sebuah pohon beringin tua. Di bawahnya ada sebuah altar dengan bau dupa dan kemenyan yang menyengat. Di sekitarnya banyak terdapat beragam sesaji pesugihan. Seperti bunga bermacam rupa, air putih dalam tempayan, potongan ayam utuh yang sudah dikerubuti lalat dan belatung.
“Duduk,” kata pria si wajah kusam singkat. “Kalau mau hidupmu senang, tinggal kamu sampaikan permintaan. Lalu ikuti perintahku,” lanjutnya memberi komando.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba pada permukaan air di atas tempayan, terlukis bayangan anak perempuan semata wayang Junaedi. Wajahnya sedang meringis, tapi sendu seperti menahan sakit. Si pria berwajah kusam sekonyong-konyong memberikan dua tangkai dupa ke tangan Junaedi.
Ilustrasi pesugihan. Foto: kumparan
“Celupkan!” perintahnya singkat, sambil menunjuk ke air dalam tempayan. Junaedi patuh saja. Tiba-tiba air dengan bayangan wajah anak perempuan semata wayangnya berubah merah. Semerah darah. Junaedi panik, tapi tak tahu harus berbuat apa.
***
Duka sudah lama berlalu. Junaedi mulai lupa dengan kenyataan anak perempuan semata wayangnya yang meninggal, sebelum sempat dia jumpai. Apalagi kini dia sibuk mempersiapkan toko pakaiannya mengisi sebuah bangunan pertokoan megah.
Lokasinya sangat strategis. Di persimpangan yang ramai, dilintasi beragam angkutan umum. Dia yakin, usahanya akan terus menanjak sukses dan mendatangkan untung berlimpah. Apalagi dua bulan mendatang, Lebaran akan segera tiba. Semua orang akan berlomba membli baju baru untuk Lebaran.
ADVERTISEMENT
Isi kepala Junaedi sudah dipenuhi oleh gambaran uang melimpah dan keuntungan besar. Bahkan dia sudah lupa kalau demi kekayaannya yang diraih hingga saat ini, dia telah menumbalkan anak perempuannya sendiri.
Tibalah hari peresmian pertokoannya. Junaedi tampil necis dan kelimis. Pengunjung ramai. Junaedi pun antusias, berkeliling mengecek setiap sudut pertokoan miliknya. Dia ingin memastikan semua pegawainya bekerja benar, melayani pelanggan. Tak ada yang bermalas-malasan.
Tapi kebahagiaan Junaedi hanya berlangsung sehari itu. Pemerintah memutuskan menutup semua pertokoan mulai besok, untuk mencegah penularan virus corona. Pandemi virus durjana itu, membuat angan-angan Junaedi meraih untung besar sirna. Bahkan kalaupun dia nekat membuka tokonya, tak ada pengunjung yang datang.
Masyarakat sedang serba kesusahan. Boro-boro beli baju, untuk kebutuhan makan pun semua harus berhemat. Kini sudah hampir setahun pertokoan Junaedi tutup. Di bagian depannya sudah lama tertempel stiker merah besar, “Bangunan Ini Disita Bank”. Junaedi menunggak kredit dan gagal mengembalikan utangnya ke bank.
ADVERTISEMENT
Kini bagunan itu gulita di waktu malam, temaram saat siang. Menurut warga, sesekali suka terlihat anak perempuan kecil berlari-larian di antara rak baju yang kosong. Kadang wajahnya ceria, namun lebih sering murung terutama kalau sesekali ada Junaedi mampir ke gedung itu.
Kisah itu telah menyebar dari mulut ke mulut warga. Bank pun kesulitan menjual gedung itu. Setiap calon pembeli yang datang berkunjung, selalu mendapati anak kecil berlari-larian di dalam gedung.
Tulisan ini merupakan rekayasa dari kisah yang berkembang di masyarakat. Kesamaan nama dan tempat kejadian hanya kebetulan belaka.