Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Review Film All Quiet on the Western Front: Menggugat Arti Perang
21 November 2022 12:02 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Kisah perang tidak selalu mengisahkan keseruan di antara desing peluru dan ledakan untuk menyelimuti heroisme atau maskulinitas prajurit. Ada banyak kisah yang dapat diceritakan dari medan pertempuran untuk menggambarkan kompleksitas manusia ketika berhadapan dengan kengerian peperangan.
ADVERTISEMENT
Banyak film yang menampilkan peperangan baik untuk menyampaikan pesan tertentu (Rambo II dan III, The Green Berret) atau hanya untuk menunjukkan bagaimana pertempuran itu terjadi (1917, Platoon). Peperangan itu sendiri hanya menawarkan kepada semua orang hal yang sama, Kematian, seperti yang dikatakan oleh Archilles kepada Odepius di babad Illiad-nya Homer.
Kompleksitas emosi manusia dalam peperangan menjadi peran sentral dalam film perang rilisan Netflix terbaru berjudul All Quiet on Western Front.
Kisah Para Pemuda Tanggung Ketika Terjun Berperang
Film dibuka dengan adegan pertempuran di suatu tempat. Desing peluru lalu lalang terdengar dan percikan darah mewarnai tanah yang basah.
Setting kemudian berpindah ke lanskap yang lebih cerah. Di sana hidup empat anak muda (masing-masing bernama Paul, Albert, Franz, dan Ludwig) dengan wajah riang gembira mendaftar untuk menjadi tentara. Layaknya pemuda yang terbakar semangat nasionalisme sepanjang pendidikannya, mereka berangkat menuju medan perang tanpa tahu kenyataan di sana.
ADVERTISEMENT
Menjelang detik-detik penyerahan Jerman, beberapa pasukan berusaha merebut wilayah musuh sebelum perdamaian disahkan. Dalam posisi sebagai rekrutan anyar, Paul dan kawan-kawan maju ke medan perang tanpa ada harapan untuk menang. Dengan segera, pikiran mereka hanya berisi tentang bagaimana bertahan hidup di antara desing peluru, tembakan meriam, dan perasaan putus asa di dalam dinginnya parit pertahanan mereka.
Film yang disutradarai oleh Edward Berger ini bukan karya original. Kisahnya diambil dari karya Erich Maria Remarque yang berjudul sama yang mengisahkan Perang Dunia I. Meski kisahnya telah berlalu lebih dari seabad yang lalu, salah satu cerita perang terbesar di muka bumi itu terus dilirik untuk diadaptasi.
Salah satu alasan mengapa karya Remarque menjadi klasik adalah perspektifnya. Pada karya aslinya, ia menceritakan sosok prajurit yang kesulitan bertahan hidup di medan perang dan sulit beradaptasi setelah purang dari perang.
ADVERTISEMENT
Buku Remarque sendiri dianggap sebagai antitesis karya Ernst Junger, seorang mantan prajurit Jerman yang menulis pengalaman perangnya dalam buku Storm of Steel, yang mengamati pertempuran-pertempuran tersengit di Front Barat selama Perang Dunia I. Buku Storm of Steel banyak dianggap sebagai buku perang karena menganggap pertempuran sebagai 'medan suci' yang mengubah jiwa 'anak-anak' menjadi 'pria'. Remarque beranggapan sebaliknya dan tidak meromantisasi medan perang.
Berger tidak serta merta mencoba mengadaptasi keseluruhan karya Remarque. Ia justru mengambil sepotong cerita dari karya Remarque dan mengeksplorasi temanya. Ia ingin mengangkat apa yang nyaris hilang dari kebanyakan film perang: Kejamnya perang dan dampaknya pada jiwa para pemuda.
Pendekatan yang diambil membuat All Quiet on the Western Front tidak terasa seperti film perang kebanyakan. Film ini terasa bleak, brutal, melelahkan, dan sebuah catatan betapa manusia bisa berperilaku begitu beringas serta sadis terhadap satu sama lain. Singkat kata, All Quiet on the Western Front terasa begitu realistis, bahkan untuk ukuran kami yang hanya mendengar kisah perang dari para kakek nenek yang berjuang semasa Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Approach tersebut didukung cinematography yang tak kalah apik. Kekacauan di All Quiet on the Western Front digambarkan dengan begitu indah dan secara bersamaan membetot jantung. Berger berhasil membuat kami serasa berada di medan perang langsung, di lorong-lorong trenches yang dihujai artileri dan peluru. This is not a movie for the faint heart.
Dari kesadisan-kesadisan itu, Berger kami yakini berusaha menyampaikan arti dari kesia-sian dalam peperangan, di mana jutaan orang tewas demi memperebutkan seonggok tanah. Namun, esensi yang perlu diangkat adalah apa yang bisa diambil setelah melalui medan pertempuran. Film ini bisa menjadi pendamping Hackshaw Ridge di mana Desmond Doss melalui medan pertempuran sembari menyelamatkan mereka yang terluka demi mempertahankan nilai dan prinsipnya.
ADVERTISEMENT
Dalam posisinya sebagai sebuah film antiperang, All Quiet on the Western Front seakan menjadi pesan akan kefanaan manusia sebagaimana ucapan Glaucus kepada Diomedes dalam epos Illiad, "Like the generation of leaves, so the lives of mortal men".
LUTHFI ADNAN