Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Review Film Nightmare Alley: Sebuah Noir Dari Pecinta Horror dan Monster
15 Maret 2022 17:31 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Buku Passion & Prejudices: Or, Some of My Best Friends Are People mungkin bacaan yang pas untuk menggambarkan kualitas dari film terakhir Guilermo Del Toro (yang terlambat kami review), Nightmare Alley. Dalam buku tersebut, penulis Leo Rosten menulis, "Fiksi harus terasa masuk akal, sedangkan kehidupan tidak." Ketidakmasukakalan kehidupan, menurut Rosten, berkaca pada kenyataan bahwa hidup sangat dinamis dan sulit ditebak. Sederhananya, apa yang terjadi berikutnya hanya Tuhan yang tahu.
ADVERTISEMENT
Apa yang disinggung Rosten di bukunya terasa pada film Nightmare Alley. Guillermo del Toro mencoba menunjukkan bahwa kengerian dalam ketidakmasukakalan hidup lebih menakutkan daripada monster apapun. Film itu sendiri merupakan adaptasi layar lebar kedua dari novel berjudul sama karya William Lindsay Gresham.
Sentuhan Realitas dalam Dunia Magis Del Toro
Kisah Nightmare Alley disampaikan dari sudut pandang seorang petugas karnival bernama Stanton 'Stan' Carlisle (Bradley Cooper ). Ia dikisahkan bekerja untuk sebuah carnival milik Clem (Willem Dafoe). Di sana, ia mempraktikkan teknik cold reading yang dapat dari pasangan suami-istri Pete (David Strathairn) dan Zeena (Toni Collette). Dengan metode tersebut, Stan bisa menebak rahasia orang lain, bahkan dengan mata tertutup.
Awalnya, Stan mengira kemampuan tersebut akan membawanya kepada kekayaan. Namun, apa yang terjadi malah ia terbawa ke rahasia-rahasia tak terduga. Semua itu bermula ketika Stan dan pasangannya, Molly (Rooney Mara), memutuskan untuk lepas dari Clem. Mereka ingin membuka pertunjukkan sendiri di New York yang ditujukan kepada kalangan kelas atas di sana.
ADVERTISEMENT
Pertunjukkan mereka sukses membuat kalangan jetset New York terkagum-kagum. Salah satu di antaranya adalah seorang psikolog bernama Lilith Ritter (Cate Blancehtt). Lilith awalnya mencurigai Stan, namun lama-lama mereka bekerjasama untuk membongkar rahasia berbagai orang yang beberapa di antaranya begitu suram.
Sekilas, Nightmare Alley akan terasa seperti film The Prestige-nya Christopher Nolan. Beberapa bagiannya bercerita tentang usaha membongkar trik-trik magis, termasuk cold reading Stan. Namun, Nightmare Alley lebih dari itu. Del Toro mengerem kecintaannya pada hal-hal quirky dan magis agar Nightmare Alley berfokus pada pengungkapan misteri dan character study.
Eksplorasi kegelapan dalam manusia
Nightmare Alley jelas tidak diharapkan sebagai sebuah blockbuster layaknya Pacific Rim, karya Del Toro yang lebih ke laga. Meskipun jajaran castnya jauh lebih mengkilap, Del Toro menjadikan film ini sebagai sarana studi karakter manusia. Tak ada manusia yang baik atau salah dalam film ini. Apa yang hadir di Nightmare Alley adalah sekelompok manusia dengan keinginan mereka sendiri dan akan melakukan apapun untuk mendapatkannya, bahkan bila harus saling menipu dan mengkhianati.
ADVERTISEMENT
Film ini menggambarkan bagaimana perkembangan kehidupan manusia dalam segi individualismenya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Edgar Jung, kepribadian setiap orang tidak ditentukan hanya dari masa lalunya, tetapi juga cita-citanya di masa depan.
Jung percaya bahwa simbol dan pola dapat menjadi petunjuk kehidupan seseorang. Tanpa hal-hal tersebut, seseorang hanya akan mengikuti apa yang disebut oleh Jung sebagai Shadow. Shadow terbentuk dari keinginan pribadi manusia seperti keserakahan, iri hati, dan kebencian dan dapat diproyeksikan pada orang lain.
Menariknya, Nightmare Alley menyajikan ketiadaan petunjuk dalam kehidupan tiap karakternya. Hanya masa lalu dan keinginan yang menjadi motivasi setiap individu di sepanjang cerita. Tak hanya itu, teka-teki dari masa lalu yang tidak terjelaskan dapat membuat penonton tidak mudah untuk menghakimi setiap tindakan yang diambil karakternya. Del Toro berusaha mempermainkan sisi psikologis dengan membuat kita menerka-nerka apa tindakan yang selanjutnya dilakukan oleh tiap tokohnya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kurangnya eksplorasi latar belakang waktu seakan-akan diabaikan oleh Del Toro. Mengambil latar waktu 1939, Del Toro tidak menyajikan keterkaitan cerita dengan usaha masyarakat Amerika menjelang akhir era Depresi Berat. Meski usaha untuk setia dengan versi novelnya perlu diapresiasi, kurangnya eksplorasi tema-tema sosial seperti pada The Shape of Water (yang juga memenangkan Best Picture di Oscar) membuat film ini terasa kurang "oscar bait".
Sebagaimana ditulis Martin Scorsese di Los Angeles Times, Nightmare Alley merupakan sajian noir yang merupakan bentuk penghormatan terhadap film-film noir klasik. Del Toro tidak menyajikan kengerian (atau keindahan) dari para monster, melainkan menampilkan seperti apa monster dalam diri manusia. Sebagaimana yang ditulis oleh novelis Italia Niccolo Ammaniti dalam novel I am Not Scared, "It's men you should be afraid of, not monsters."
ADVERTISEMENT
Nightmare Alley bisa ditonton di streaming service HBO Max dan Hulu.
Luthfi Adnan