Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Review Film Zack Snyder's Justice League: Serupa Tapi Jauh Berbeda
19 Maret 2021 10:27 WIB
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Zack Snyder's Justice League aka Snydercut adalah sebuah penebusan dosa. Kembali disutradarai oleh Zack Snyder, film berdurasi 242 menit ini memperbaiki apa saja yang salah dari versi teatrikalnya. Hasilnya adalah sebuah film yang tidak hanya lebih baik, tetapi juga lebih megah, kaya, dan koheren.
ADVERTISEMENT
Perlu digarisbawahi bahwa film ini memperbaiki, bukan mengubah. Garis besar cerita Snydercut tidak jauh berbeda dengan versi teatrikalnya yang sebagian disutradarai Joss Whedon. Jika kalian mencoba menjelaskan garis besar kisah Snydercut ke penonton baru, besar kemungkinan akan terdengar seperti Justice League rilis 2017 lalu. Premisnya memang tidak banyak berubah.
Justice League versi Snydercut masih berfokus pada misi Bruce Wayne aka Batman (Ben Affleck) mengumpulkan manusia-manusia super. Hal itu dipicu pertanda yang ia terima di tengah tidurnya bahwa bumi akan kiamat dihajar invasi New Gods pimpinan Darkseid (Ryan Porter). Dalam visi tersebut, tak hanya bumi menjadi gersang dan dipimpin secara tiran, tetapi Superman (Henry Cavill) juga menjadi abdi dari Darkseid.
Bruce menyakini pertanda itu akan menjadi kenyataan cepat atau lambat. Oleh karenanya, ia mulai mengumpulkan para manusia super sebagai langkah antisipasi. Total ada empat orang yang diincar Bruce, mereka adalah Barry Allen aka The Flash (Ezra Miller), Diana Prince aka Wonder Woman (Gal Gadot), Arthur Curry aka Aquaman (Jason Momoa), dan Victor Stone aka Cyborg (Ray Fisher).
ADVERTISEMENT
Di luar dugaan Bruce, invasi terjadi lebih awal. Ketika tim belum terbentuk, Panglima Perang Apokolips bernama Steppenwolf (Ciaran Hinds) datang ke bumi bersama pasukannya. Ia mengendus keberadaan Mother Boxes, sebuah "change machine" yang tidak hanya bisa memanipulasi objek, tetapi juga mengubahnya. Steppenwolf berniat menggunakannya untuk mengubah bumi sebagai hadiah penyambutan kepada Darkseid.
Meski garis besar kisahnya relatif sama, berbagai faktor membuat Snydercut terasa jauh berbeda dibanding versi teatrikalnya. Hal itu mulai dari bagaimana cerita disampaikan, karakter dikembangkan, action ditampilkan, hingga scoring. Alhasil, bagi mereka yang pernah menonton versi teatrikalnya, Snydercut tetap terasa segar.
Hal yang paling banyak berperan dalam membuat Snydercut terasa berbeda adalah presentasi ceritanya. Memanfaatkan durasi 4 jam yang dimilikinya, Snydercut memiliki ruang lega untuk mengambangkan plot-plot yang ada dan memastikan laju dari satu bagian ke bagian yang lain terasa mulus. Hasilnya adalah film yang lebih koheren dan tidak terburu-buru untuk bergeser dari satu plot ke plot yang lain.
ADVERTISEMENT
Versi teatrikalnya tidak memiliki kemewahan durasi tersebut. Dibatasi durasi 2 jam, sutradara Joss Whedon memangkas banyak materi yang telah di-shoot oleh Snyder. Selain itu, ia masih harus men-shoot bagian-bagian baru untuk memastikan flow-nya tetap enak. Ia gagal dan hasilnya Justice League versi teatrikal terasa seperti Frakenstein, produk tambal sulam.
Namun, perlu penulis akui, ada beberapa hal dari versi teatrikal yang penulis lebih lebih suka dibanding Snydercut. Salah satunya soal kehadiran penduduk pada pertarungan terakhir di Rusia. Pada versi Snydercut, penduduk tidak hadir sama sekali di pertarungan terakhir yang membuat Justice League bisa membabi buta dalam menghajar Steppenwolf dan pasukan Parademonnya.
Di versi teatrikal, Justice League tidak hanya harus mengalahkan pasukan Steppenwolf, tetapi juga melindungi warga yang berada di sekitarnya. Hal tersebut membuat pertaruhan di bagian terakhir terasa kian nyata. Di sisi lain, juga memberi penegasan bahwa Justice League bukan hanya sekedar kelompok serang, tetapi juga pelindung peradaban. Unsur itu hilang di Snydercut yang sepertinya masih dipengaruhi kritik soal pertarungan akhir di Man of Steel.
ADVERTISEMENT
Selain soal kehadiran penduduk, penulis juga menyukai bagaimana unsur Hope lebih tegas di versi teatrikal. Pada versi Snydercut, hal tersebut lebih subtle karena penekanannya pada Threat, bukan dampak dari tewasnya Superman. Alhasil, bagaimana dunia kehilangan Superman dan mengharapkan ia kembali terasa lebih tegas di versi teatrikal dibanding versi Snydercut.
Pemilihan itu kembali ke visi sutradara. Dalam kasus Snydercut, jelas Zack Snyder ingin menghadirkan sebuah kisah yang Terminator-ish di mana Bruce, yang telah melihat masa depan, mencari berbagai cara untuk mencegah masa depan itu terjadi.
Pengembangan Karakter yang Compelling
Ruang yang lebih lega dalam bercerita secara langsung berdampak pada pengembangan karakternya. Banyak karakter dalam Snydercut mendapat detil-detil baru yang membuat kehadiran mereka lebih bermakna dan perjalanannya lebih jelas. Mereka yang banyak terbantu adalah karakter-karakter baru seperti Barry Allen, Arthur Curry, dan Victor Stone.
ADVERTISEMENT
Soal Victor, misalnya, versi teatrikalnya memangkas banyak originnya sehingga eksitensinya terasa datar. Motivasi ia bergabung ke kelompok Bruce pun lebih sederhana, hanya karena mendapati ayahnya diculik oleh pasukan Steppenwolf. Snydercut mengembalikan bagian-bagian yang dipangkas tersebut dan hasilnya adalah kisah yang lebih compelling.
Victor dikisahkan memiliki hubungan yang kompleks dengan ayahnya, Silas. Selain kerap diabaikan olehnya, Silas juga secara sepihak mengubah Victor menjadi Cyborg dengan teknologi Mother Box. Hal itu membuat hubungan keduanya kian renggang dan Victor jadi membenci dirinya sendiri. Bagaimana Victor menghadapi masalah keluarga dan body horror yang ia alami memberi bobot pada perjalanan ia menjadi superhero yang kita kenal.
Hal senada berlaku untuk Barry Allen aka The Flash. Meski ia tetap dominan berperan sebagai comic relief, ia adalah tokoh integral di Snydercut. Dalam banyak hal, ia adalah penentu menang atau tidaknya Justice League terhadap invasi Steppenwolf. Khusus di chapter terakhir, Snydercut memberi gambaran soal seberapa kuat seorang Flash yang nantinya akan dieksplor lebih jauh di film solonya.
ADVERTISEMENT
Villain seperti Steppenwolf tidak luput dari perbaikan. Di Snydercut, karakternya tidak terasa se-one dimensional versi teatrikalnya. Ia adalah sosok tragis, diasingkan oleh anggota keluarganya sendiri (Darkseid) karena tuduhan pengkhianatan. Namun, di balik pengasingan itu, Steppenwolf masih memiliki rasa hormat kepada Darkseid dan berharap suatu hari ia akan dimaafkan. Pencarian Mother Boxes sendiri, sejatinya, adalah upaya Steppenwolf untuk rujuk dengan Darkseid. Invasi ke bumi menjadi terasa personal.
Tidak semua karakter mendapatkan detil esktra atau perbaikan yang diharapkan. Karakter Wonder Woman, misalnya, relatif sama dengan versi teatrikalnya. Ia lebih banyak berperan sebagai ensiklopedia berjalan yang bisa dimaklumi mengingat usianya yang jauh lebih tua.
Karakter Bruce Wayne pun begitu. Walau penokohannya lebih baik dibanding versi teatrikalnya yang komikal, penggambarannya sebagai Batman masih terasa tidak pas. Batman di Snydercut relatif jauh dari persona man with a plan yang dikenal fansnya. Dalam banyak hal, ia cenderung gegabah dan bertindak tanpa rencana. Lucunya, karakter Alfred (Jeremy Irons) bahkan menyinggung hal tersebut yang diakui Bruce bahwa ini pertama kalinya ia bertindak berdasarkan keyakinan.
ADVERTISEMENT
Batman yang penulis kenal akan memiliki rencana berlapis untuk segala aksi yang ia lakukan. Ia akan memiliki plan A, B, dan C dalam menghadapi Steppenwolf misalkan salah satu rencana gagal. Tidak tertutup kemungkinan juga ia bakal menyiapkan krypton untuk mengantisipasi Superman mengamuk usai dibangkitkan. Detil-detil seperti itu akan membuat karakternya lebih setia ke comic counterpart-nya, Batman yang oleh Superman sendiri diakui sebagai sosok paling berbahaya di bumi.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan pada character development, semua karakter mendapat kesempatan bersinar untuk urusan laga. Di bawah direksi Snyder, plus scoring yang menggebu-gebu dari Junkie XL, adegan laga dalam Snydercut terasa lebih berenergi, visceral, dan menghentak. Setiap anggota Justice League mendapat panggung untuk menunjukkan kemampuannya. Minusnya, di bagian inilah CGI-CGI Snydercut bisa terasa setengah matang.
ADVERTISEMENT
Pedang Bermata Dua Bernama Durasi
Nyaris semua kelebihan yang dimiliki Zack Snyder's Justice League berakar pada durasinya yang panjang. Dengan durasi 4 jam, sutradara manapun akan memiliki lebih banyak ruang untuk menampilkan hal yang ingin ia tampilkan. Untungnya, Snyder bisa memaksimalkan durasi tersebut yang hasilnya adalah salah satu film superhero terbaik buatan Snyder. Namun, apakah durasi itu bisa dijustifikasi sepenuhnya? Tidak juga.
Dengan Snydercut membutuhkan 4 jam untuk bisa menyampaikan kisah dan karakternya secara compelling, hal itu kembali menggarisbawahi kelemahan Snyder selama ini. Ia masih lemah soal beradaptasi dengan durasi. Snyder tampaknya masih belum tahu bagaimana menyampaikan sebuah cerita secara ringkas, padat, dan minim plothole agar bisa tayang di sinema.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tidak terjadi sekali. Versi teatrikal Watchmen terasa inferior ketika dibandingkan dengan versi Director's Cut atau Ultimate Cut yang lebih komprehensif dengan durasi nyaris 4 jam.
Snydercut jelas memperlihatkan bahwa film tersebut memang didesain Snyder untuk berpanjang lebar. Jika sudah begitu, sutradara siapapun termasuk Zack Snyder sendiri bakal kesulitan jika studio meminta durasinya dipangkas separuhnya. Snyder seperti menaruh beban ke dirinya sendiri ketika ia memilih berpanjang lebar.
Durasi Snydercut sesungguh bisa dipangkas paling tidak seperempatnya untuk memiliki pace yang lebih bagus. Salah satunya dengan mengurangi slow mo atau memangkas momen-momen yang bertujuan untuk fanservice saja. Scene anak-anak Islandia menyanyi ketika Arthur kembali menyelam ke lautan adalah contoh yang bisa dihapus. Adegan itu tidak memiliki signifikansi apapun.
ADVERTISEMENT
Menimbang segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, Snydercut tetaplah film yang berhasil menjawab ekpsteasi fans. Di balik garis besar ceritanya yang relatif sama, Snydercut menghadirkan pengembangan karakter dan cerita yang jauh lebih solid, kaya, dan menghibur. It's bigger, longer, richer, but similar in some way.
Memang ada beberapa hal yang lebih baik di versi teatrikalnya menurut penulis, namun tetap Snydercut adalah versi yang superior. Jika penulis ada di kursi sutradara, mungkin penulis akan mengambil beberapa bagian dari versi teatrikal untuk dimasukkan ke Snydercut. Somehow, kombinasi witticism Whedon dan gaya dramatis Snyder itu terasa possible usai menonton Synedercut. Dalam banyak hal, Snydercut lebih jenaka dibanding film-film Snyder sebelumnya, bahkan bisa terasa sangat Marvel.
ADVERTISEMENT
Kualitas Snyder sebagai sutradara juga ditegaskan di sini. Ia sesungguhnya adalah storyteller yang bagus dengan sentuhan visual yang sulit untuk diperdebatkan. Namun, ia masih terjebak dalam problem gaya berceritanya. Tak berlebihan mengatakan Snydercut adalah karya Zack Snyder dalam wujud terbaik dan terburuknya.
PSR