Seberapa Sexist Kah Hollywood?

Konten Media Partner
8 Maret 2019 19:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Hari Perempuan Sedunia (Sumber: internationalwomensday)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hari Perempuan Sedunia (Sumber: internationalwomensday)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Play Stop Rewatch, Inggris – Menyambut perayaan International Woman’s Day atau Hari Perempuan Sedunia, tidak ada salahnya kita mencoba menilik hubungan antara perempuan dengan industri perfilman Hollywood. Terutama, dari segi seberapa ramah kah industri perfilman tersebut terhadap sineas perempuan ataupun aktris. Berdasarkan studi dari University of Southern California Annenberg (USC), Amerika Serikat, jawabannya adalah belum.
ADVERTISEMENT
Isu ramah atau tidaknya Hollywood terhadap perempuan memang berkembang beberapa tahun terakhir. Hal itu terlihat dari munculnya berbagai kampanye yang meneriakkan feminism mulai dari #MeToo, yang berkaitan dengan korban pelecehan di Hollywood, hingga Inclusion Rider yang digaungkan pemenang Best Actress Oscars 2018, Frances McDormand. Nah, USC mencoba meneliti isu tersebut dengan membedah produksi 800 film, dari tahun 2007-2015 (100 film per tahun), untuk melihat seberapa besar peran perempuan di baliknya.
“Kami sudah meneliti 35.205 karakter dalam 800 film terpopuler sepanjang 2007-2015. Segala karakter yang memiliki dialog serta nama kami teliti dari sisi gender, ras, etnis, status LGBT, demografi, tempat lahir, serta unsur sensual,” ujar kepala penelitian, Stacy L. Smith, sebagaimana dikutip dari hasil riset USC.
ADVERTISEMENT
Salah satu temuan yang paling menarik, prosentase jumlah karakter perempuan yang memiliki dialog serta nama jauh lebih sedikit dibandingkan karakter pria. Perbandingannya adalah 68,6 persen untuk karakter pria dan 31,4 persen untuk karakter perempuan atau 2.3: 1.
Sumber: USC
Angka tersebut konsisten dari tahun ke tahun di mana prosentase karakter perempuan tak pernah naik lebih dari 32 persen. Prosentase tertinggi diperoleh pada tahun 2009 di mana ada 32,8 persen karakter perempuan yang memiliki dialog dan nama dari 100 film yang diteliti. Sementara itu, angka terendah ada pada tahun 2014 denbgan nilai 28.1 persen.
Sumber: USC
Prosentase serupa juga didapat ketika jumlah karakter perempuan dan pria dibandingkan berdasarkan kategori peran mereka. Di tahun 2015, misalnya, USC mendapati hanya ada 32 persen dari 100 film yang memiliki perempuan sebagai tokoh utamanya.
Sumber: USC
“Dan karakter perempuan tiga kali lipat lebih sering ditampilkan secara sensual dibandingkan karakter pria. Perbandingan jumlah karakter perempuan dan pria dengan pakaian seksi adalah 30,2 persen dan 7,7 persen sementara yang ditampilkan telanjang adalah 29 persen dan 9,5 persen,” ujar Smith lebih lanjut.
Sumber: USC
Angka yang tak kalah fantastis didapatkan USC ketika meneliti ada berapa banyak perempuan yang bekerja untuk departemen teknis Hollywood. Sebagai sutradara, misalnya, dari total 107 sutradara yang memproduksi 800 film sepanjang 2007 hingga 2015, hanya 29 di antaranya yang perempuan. Sementara itu, untuk komposer, angkanya lebih parah lagi dengan temuan 113 komposer pria dan 1 komposer perempuan sepanjang periode penelitian.
ADVERTISEMENT
“Kami mewawancarai berbagai pekerja industri perfilman perihal masalah ini. Ternyata, sebagian besar dari mereka, baik pria maupun perempuan, mengkaitkan posisi sutradara dengan pria. Mereka menganggap pria lebih memiliki karakter pemimpin (untuk menjadi sutradara),” ujar Smith lebih lanjut.
Ilustrasi infografis mengenai keminoritasan perempuan (Sumber TedWoman Talk)
Meski temuan yang didapat cenderung menyeramkan, Smith menegaskan bahwa ada banyak cara untuk mengubah situasi yang ada. Malah, kata ia, cara tersebut tidaklah sulit jika dipikirkan baik-baik. Salah satunya adalah menerapkan Inclusion Rider yang digaungkan artis Frances McDormand pada Oscars 2018.
Inclusion Rider adalah klausul yang bisa dimintakan artis papan atas terhadap rumah produksi agar mereka bekerja dengan kru yang inklusif. Hal ini mengingat artis papan atas, kata Smith, memiliki daya tawar lebih tinggi sehingga mereka bisa meminta Inclusion Rider dalam kontrak mereka.
ADVERTISEMENT
Inclusion Rider dari artis papan bisa mendorong perubahan kru dengan karakter yang lebih representatif dengan masyarakat kita,” ujar Smith.
Solusi lainnya, menurut Smith, adalah menerapkan apa yang disebut sebagai Rooney Rule. Rooney Rule adalah kebijakan yang diterapkan di liga American Football di mana proses rekrutmen pelatih harus menyertakan mereka yang selama ini tidak diperhitungkan. Dengan begitu, harapannya, semua calon pelatih mendapatkan kesempatan setara dan mereka yang terpilih adalah mereka yang terbukti kompeten. Smith menganggap hal itu bisa diterapkan di Hollywood, terutama untuk mendongkrak jumlah sutradara perempuan.
“Kebijakan ini penting karena akan membuka mata eksekutif studio terhadap keberadaan sutradara-sutradara perempuan yang cenderung dikesampingkan selama ini,” kata Smith dalam keterangan penelitiannya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Smith mengatakan bahwa semua solusi tidak akan berjalan kalau penonton juga tidak mendorong perubahan untuk terjadi. Berbagai cara bisa dilakukan mulai dari membuat kampanye sederhana di media sosial untuk mendukung peran perempuan di industri perfilman.
“Dengan mengadopsi praktik dan solusi yang mendukung inklusi dan menyingkarkan bias, Hollywood bisa menjadi industri yang lebih mereprentasikan penontonnya,” ujar Smith mengakhiri.
ISTMAN | USC ANNENBERG