Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Sedatangnya Tan Malaka di Semarang
9 Oktober 2017 13:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Bahwa, maksud pendidikan anak kuli terutama, ialah mempertajam kecerdasan dan memperkokoh kemauan serta memperhalus perasaan si murid....”
ADVERTISEMENT
(Tan Malaka)
Semarang, Juni 1921. Tan Malaka memutuskan untuk pergi meninggalkan Deli. Tempat yang membuatnya bertekad membaktikan perjuangan mengangkat derajat bangsanya melalui jalur pendidikan. Keputusannya pergi meninggalkan Tanjung Morawa setelah menjadi pendidik selama 2 tahun disana tak membuatnya melupakan jalan juangnya. Semarang, kota yang dikenal sebagai kota ‘merah’ pada waktu itu menjadi tujuan hijrahnya.
Di Semarang pada waktu itu ada berbagai organisasi pergerakan. Tentunya, dengan basis kiri. Seperti Vereeniging van Spoor den Tram Personeel (VSTP), Sarekat Pekerja Kereta Api, Sarekat Islam (SI) Merah, dan yang paling utama ialah Partai Komunis Indonesia (PKI). Bagai magnet bagi lingkungan sosial sekitarnya, para pemimpin pergerakan itu sudah mencium kualitas diri Tan. Tan bertemu dengan Cokroaminoto yang disebutnya sebagai the uncovered king of Indonesia (raja tak bermahkota Indonesia). Lalu ia pun bertemu dengan Semaun. Meskipun pada awalnya ia tertarik pada Cokroaminoto, namun akhirnya ia lebih memilih bergabung dengan kelompok Semaun yang menjanjikan sebuah tempat untuknya mengajar di kota itu (Fakih 2015: 39-40).
ADVERTISEMENT
Sang pedagog revolusioner itu akhirnya bisa melanjutkan perjuangannya yang terhambat di Deli. Dengan murid sekitar 50 orang, Tan menjelaskan bahwa metode pendidikan yang ia terapkan adalah pendidikan berbasis kerakyatan. Pendidikan berbasis kerakyatan ialah bagaimana si murid dapat mencari nafkah untuk diri sendiri dan keluarganya, serta membantu rakyat dalam perjuangannya di masa itu. Bukan menjadi suatu kelas yang terpisah dengan rakyat dan menindas bangsa sendiri sebagai pembantu penjajah. Intinya, metode ini ialah cara memajukan kecerdasan, perasaan, dan kemauan murid, yang disesuaikan dengan kepentingan rakyat jelata (ibid. 2015: 41).
Tan Malaka muda. Sumber foto: dw.com
Paus Fransiskus wafat di usia 88 tahun pada Senin pagi (21/4) akibat stroke dan gagal jantung. Vatikan menetapkan Sabtu (26/4) sebagai hari pemakaman, yang akan berlangsung di alun-alun Basilika Santo Petrus pukul 10.00 pagi waktu setempat.