Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Biografi Achmad Soebardjo, Perjuangan dan Perannya dalam Kemerdekaan Indonesia
11 Agustus 2024 11:17 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Profil Tokoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Soebardjo dikenal sebagai salah satu pelopor kemerdekaan yang aktif dalam berbagai organisasi dan pergerakan di awal abad ke-20.
Dari masa mahasiswa hingga perannya dalam peristiwa-peristiwa penting seperti Peristiwa Rengasdengklok, kontribusinya dalam meraih kemerdekaan Indonesia sangat signifikan. Tak salah jika ia dijuluki sebagai pahlawan di tanah air.
Dalam biografi ini akan menelusuri jejak perjuangan Soebardjo, pencapaiannya, serta perannya dalam sejarah Indonesia.
Biografi Achmad Soebardjo
Dikutip dari laman ikpni.or.id, kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id dan p2k.stekom.ac.id, berikut adalah biodata dan biografi Achmad Soebardjo lengkap mulai dari kehidupan awal hingga perjuangan dan perannya dalam Kemerdekaan Indonesia.
Biodata Achmad Soebardjo
Nama: Mr. Achmad Soebardjo
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Tempat Lahir: Karawang, Jawa Barat
Tanggal Lahir: 23 Maret 1896
Nama Lengkap: Achmad Soebardjo Djojoadisurjo
ADVERTISEMENT
Pendidikan Terakhir:
Riwayat Karir:
Kehidupan Awal Achmad Soebardjo
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo lahir pada 23 Maret 1896 di Teluk Jambe, Karawang, yang saat itu berada dalam Keresidenan Batavia.
Sebagai seorang anak dari lingkungan yang terbilang terpandang, Achmad Soebardjo dibesarkan dalam suasana yang mendukung perkembangan intelektual dan karakter.
Achmad Soebardjo menghabiskan masa kecilnya di lingkungan yang kaya dengan nilai-nilai keagamaan dan administrasi pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Keluarga Achmad Soebardjo
Keluarga Achmad Soebardjo memainkan peran krusial dalam membentuk kepribadiannya dan perjalanan hidupnya.
Ayahnya, Teuku Muhammad Yusuf, berasal dari keluarga bangsawan Aceh yang memiliki pengaruh besar di wilayah Pidie.
Kakek dari pihak ayah, Ulee Balang, adalah seorang ulama terkemuka yang dihormati di wilayah Lueng Putu.
Posisi ayahnya sebagai Mantri Polisi menunjukkan keterlibatannya dalam administrasi pemerintahan, yang memberikan pengaruh signifikan terhadap pendidikan dan pandangan hidup Soebardjo.
Di sisi lain, ibu Achmad Soebardjo, Wardinah, adalah keturunan Jawa-Bugis dan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.
Keberadaan ibu yang berasal dari latar belakang administratif dan sosial juga turut memberikan kontribusi dalam mendidik dan membesarkan Soebardjo.
Nama aslinya adalah Teuku Abdul Manaf, sesuai dengan nama yang diberikan oleh ayahnya.
ADVERTISEMENT
Namun, nama Achmad Soebardjo diberikan oleh ibunya. Setelah dewasa, ia menambahkan nama Djojoadisoerjo, yang tercantum dalam dokumen resmi setelah mengalami berbagai peristiwa politik, termasuk penahanan selama "Peristiwa 3 Juli 1946."
Pendidikan dan nilai-nilai yang diterima dari kedua orang tuanya sangat mempengaruhi perjalanan hidup Soebardjo.
Lingkungan keluarga yang mendukung pendidikan dan keterlibatan dalam administrasi publik membantunya mengembangkan kapasitas intelektual dan kepemimpinan yang kelak sangat berperan dalam perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia.
Pendidikan Achmad Soebardjo
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo mengawali pendidikan formalnya di Teluk Jambe, Karawang.
Namun, karena keterbatasan fasilitas pendidikan di daerah tersebut, ayahnya, Teuku Muhammad Yusuf, yang menjabat sebagai Mantri Polisi, memutuskan untuk mengirimkan anak-anaknya ke Batavia.
ADVERTISEMENT
Dengan status sebagai pejabat daerah, Teuku Yusuf memiliki akses untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda yang terkemuka.
Oleh karena itu, Soebardjo bersama kakak-kakaknya tinggal di asrama di Batavia dan melanjutkan pendidikan di beberapa sekolah Belanda.
Soebardjo memulai pendidikan dasarnya di Europeesche Lagere School (ELS) di Kwitang, kemudian melanjutkan ke ELSB di Pasar Baru.
Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, ia berpindah ke Prince Hendrik School (Sekolah Pangeran Hendrik), sebelum akhirnya melanjutkan ke Koning Willem III (KW III) di Salemba.
Sekolah ini dikenal sebagai tempat belajar bagi banyak pemimpin Indonesia dan berbagai suku bangsa.
Selama masa sekolahnya, Soebardjo terpapar pada berbagai bacaan yang mempengaruhi pandangannya.
Salah satu buku yang sangat berdampak adalah "Max Havelaar" yang ditulis oleh Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli.
ADVERTISEMENT
Buku ini mengangkat tema tentang ketidakadilan dan penindasan yang dialami rakyat di bawah kekuasaan kolonial Belanda, yang memberi wawasan baru dan meningkatkan kesadaran politik Soebardjo.
Di sekolah, Soebardjo juga menjalin persahabatan dengan Max Maremis, yang memiliki minat yang sama dalam musik klasik.
Keduanya sering berlatih bersama, yang turut memperkaya pengalaman intelektual Soebardjo.
Selain itu, ia juga terpengaruh oleh artikel "Een Eereschuld" (Hutang Budi) karya Van Deventer, yang diterbitkan pada tahun 1899.
Artikel ini menganjurkan peningkatan kesejahteraan pendidikan untuk pribumi dan desentralisasi pemerintah, yang menjadi inspirasi bagi Soebardjo dalam memahami dinamika sosial-politik.
Kesadaran politik Soebardjo semakin meningkat setelah perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis pada tahun 1913.
Perayaan tersebut terganggu oleh selembaran bertajuk "Als ik een Nederland was…" (Seandainya Aku Orang Belanda…), yang ditulis bersama anggota Indische Partij lainnya.
ADVERTISEMENT
Setelah menyelesaikan pendidikan di HBS Koning Willem III pada tahun 1917, Soebardjo melanjutkan studi ke Belanda.
Perjalanan ke Eropa saat itu penuh risiko karena adanya ranjau laut yang belum dibersihkan.
Soebardjo tiba di Ro Herdom pada 28 Juni 1919 dan bertemu dengan beberapa tokoh penting seperti Ibrahim Datuk Tan Malaka dan Sneevliet.
Sneevliet adalah pemimpin Partai Buruh Belanda dan pendiri ISDV yang kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di Belanda, Soebardjo juga mendapatkan diploma sebagai pengajar tingkat rendah dan tinggi, yang semakin memperkuat latar belakang pendidikannya.
Pengalaman pendidikan dan literatur yang diperolehnya memberikan landasan yang kokoh untuk perannya dalam hukum, diplomasi, dan perjuangan politik di Indonesia.
Perjuangan Achmad Soebardjo
Sebagai mahasiswa di Belanda, Achmad Soebardjo aktif berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui berbagai organisasi.
ADVERTISEMENT
Ia terlibat dalam Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda, yang merupakan wadah penting untuk menyebarluaskan semangat kemerdekaan di kalangan pelajar Indonesia di luar negeri.
Keterlibatannya di organisasi-organisasi ini membentuk dasar kuat bagi komitmennya terhadap perjuangan nasional.
Pada Februari 1927, Soebardjo, bersama Mohammad Hatta, berpartisipasi dalam persidangan internasional "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang diadakan di Brussels, Belgia, dan kemudian di Jerman.
Persidangan ini adalah forum penting yang mempertemukan berbagai pemimpin nasionalis dari Asia dan Afrika, termasuk Jawaharlal Nehru dari India.
Kehadirannya di acara tersebut memberikan kesempatan bagi Soebardjo untuk berinteraksi dengan pemimpin-pemimpin terkemuka dan memperjuangkan hak-hak kemerdekaan Indonesia di tingkat internasional.
Setelah kembali ke Indonesia, Soebardjo meneruskan perjuangannya dengan bergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
ADVERTISEMENT
Di sini, ia memainkan peran penting dalam proses penyusunan undang-undang dasar dan perencanaan struktur pemerintahan Indonesia yang baru.
Keterlibatannya dalam BPUPKI menunjukkan dedikasinya yang mendalam terhadap persiapan kemerdekaan negara.
Soebardjo kemudian bergabung dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) setelah BPUPKI dibubarkan.
Dalam kapasitasnya di PPKI, ia berkontribusi dalam finalisasi persiapan untuk deklarasi kemerdekaan Indonesia dan perancangan konstitusi negara.
Perannya di PPKI adalah bukti komitmennya yang berkelanjutan untuk memastikan bahwa Indonesia dapat memulai periode kemerdekaan dengan landasan hukum yang solid.
Keberanian dan dedikasi Soebardjo dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya ditunjukkan melalui keterlibatannya dalam organisasi dan pertemuan internasional, tetapi juga melalui kontribusinya yang substansial dalam perencanaan dan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia.
Usahanya yang gigih dalam periode-periode kritis ini menjadikannya salah satu tokoh utama dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Peran Achmad Soebardjo dalam Peristiwa Rengasdengklok
Pada 16 Agustus 1945, Achmad Soebardjo memainkan peran krusial dalam Peristiwa Rengasdengklok, sebuah momen penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ketika para pemuda pejuang seperti Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok, tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kedua tokoh penting ini tidak terpengaruh oleh situasi yang berkembang di Jakarta dan agar mereka tetap terjaga semangat kemerdekaan.
Soebardjo, saat itu, harus menghadapi tantangan besar. Menerima laporan dari sekretarisnya, Embah Soediro, bahwa Soekarno dan Hatta telah diculik, Soebardjo merasa sangat cemas.
Dalam situasi yang genting ini, Soebardjo memahami bahwa tanpa kehadiran Soekarno dan Hatta, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dijadwalkan tidak bisa berlangsung.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, ia memutuskan untuk menghubungi pimpinan Angkatan Laut Jepang, Laksamana Maeda, untuk mencari tahu tentang keberadaan Soekarno dan Hatta dan memastikan bahwa mereka tidak ditangkap oleh Angkatan Darat Jepang.
Soebardjo secara langsung menemui Laksamana Maeda untuk menyampaikan situasi yang terjadi.
Meskipun Maeda terkejut, Soebardjo mampu meyakinkan Laksamana tersebut tentang urgensi situasi tanpa mengungkapkan secara detail mengenai keberadaan Soekarno dan Hatta.
Soebardjo kemudian melanjutkan perjalanan ke kantornya di Jalan Prapatan, tempat di mana ia melakukan dialog penting dengan Wikana dan Pandu Kartawiguna mengenai situasi saat itu.
Ia menekankan pentingnya melaksanakan proklamasi kemerdekaan secara damai dan memperingatkan agar tidak memperburuk keadaan dengan tindakan yang bisa merusak perjuangan.
Pada sekitar pukul 16.00, Soebardjo bersama Jusuf Kunto dan Soediro melakukan perjalanan menuju Rengasdengklok untuk menemui Soekarno dan Hatta.
ADVERTISEMENT
Perjalanan mereka melewati pos-pos penjagaan Tentara PETA menuju Karawang dan Rengasdengklok dengan penuh kewaspadaan.
Sesampainya di Rengasdengklok, Soebardjo disambut oleh Komandan PETA, Cundanco Subeno, dan menjalani interogasi untuk memastikan niat dan maksud kedatangannya.
Dalam interogasi ini, Soebardjo menegaskan komitmennya terhadap proklamasi kemerdekaan dan bersedia mempertaruhkan nyawanya untuk memastikan proses tersebut berjalan lancar.
Setelah berhasil meyakinkan Subeno tentang keseriusan dan komitmennya, Soebardjo akhirnya bertemu dengan Soekarno, yang langsung menanyakan mengenai kondisi Jepang.
Soebardjo menginformasikan bahwa Jepang telah menyerah dan menyarankan agar mereka segera kembali ke Jakarta.
Dengan menggunakan tiga mobil, Soebardjo dan rombongannya meninggalkan Rengasdengklok pada pukul 21.00, kembali ke Jakarta dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan serangan dari tentara Jepang.
Kembali di Jakarta, Soebardjo dan rombongannya tiba di rumah Soekarno pada pukul 21.00 dan kemudian melanjutkan ke rumah Hatta.
ADVERTISEMENT
Peran Soebardjo dalam memastikan keberhasilan proklamasi kemerdekaan Indonesia sangat penting, karena tindakannya yang cepat dan keputusan yang bijak berhasil mengamankan situasi dan memungkinkan proklamasi kemerdekaan dilakukan pada 17 Agustus 1945.
Peran Achmad Soebardjo dalam Proklamasi Kemerdekaan
Pada malam menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, Achmad Soebardjo memainkan peran sentral dalam mempersiapkan teks proklamasi dan menjamin keberhasilan pelaksanaannya.
Setelah berhasil meyakinkan pemuda di Rengasdengklok untuk tidak terburu-buru dan setuju untuk memproklamasikan kemerdekaan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, Soebardjo bergegas ke rumah Laksamana Muda Maeda di Jakarta.
Ketika Soebardjo tiba di rumah Maeda sekitar pukul 01.00, Soekarno dan Hatta sudah meninggalkan rumah tersebut, sementara beberapa tokoh lainnya, termasuk Dr. Buntara Martoatmodjo, Sayuti Melik, dan Iwa Kusuma Sumantri, juga telah hadir.
ADVERTISEMENT
Setelah mengunjungi rumah Sjahrir yang ternyata kosong, Soebardjo kembali ke rumah Maeda.
Pada pukul 02.00, Soekarno, Hatta, dan Maeda kembali ke rumah Maeda bersama Kolonel Miyoshi dari Angkatan Darat Jepang.
Dalam pertemuan meja bundar yang diadakan di rumah Maeda, dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Soebardjo, Maeda, Nishijima, serta beberapa tokoh lainnya, diputuskan bahwa proklamasi kemerdekaan akan tetap dilaksanakan meskipun tanpa persetujuan Angkatan Darat Jepang.
Soekarno meminta Soebardjo untuk membantu menyusun teks proklamasi.
Soebardjo mengingatkan Soekarno mengenai bab pembukaan UUD, meskipun ia tidak memiliki teks lengkapnya.
Soekarno kemudian menulis kalimat "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan" yang disempurnakan dengan tambahan mengenai pemindahan kekuasaan.
Soebardjo berperan penting dalam proses pengetikan dan pengesahan teks proklamasi.
ADVERTISEMENT
Teks yang telah diketik oleh Sayuti Melik kemudian diserahkan kepada Soekarno dan Hatta.
Pada pagi hari 17 Agustus 1945, Soebardjo merasa tugasnya telah selesai dan memilih untuk beristirahat setelah dua hari yang penuh ketegangan.
Ia tidak hadir dalam upacara proklamasi, tetapi kontribusinya dalam menyusun naskah proklamasi dan memastikan persetujuan berbagai pihak sangat krusial untuk keberhasilan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Naskah proklamasi yang disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di rumah Maeda menjadi dasar deklarasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan pada 17 Agustus 1945, menandai hari bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Kematian Achmad Soebardjo
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia pada tanggal 15 Desember 1978 di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta, dalam usia 82 tahun.
ADVERTISEMENT
Penyebab kematiannya adalah flu yang menyebabkan komplikasi.
Sesuai dengan permintaannya, ia dimakamkan di tanah miliknya di Jl. Panatraco, Desa Cibogo, Jawa Barat, yang sebelumnya merupakan bekas villa.
Upacara pemakaman dipimpin oleh Jenderal Maraden Panggabean, Panglima ABRI.
Istrinya, Raden Ayu Pudji Djoyoadusuryo Binti Wiryodihardjo, juga dimakamkan disebelah makam Achmad Soebardjo.
Pada tahun 2009, pemerintah Indonesia mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional sebagai penghargaan atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Biografi Achmad Soebardjo mengungkapkan dedikasi dan komitmennya yang luar biasa terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dengan peran penting dalam proses proklamasi dan sumbangsihnya yang tak ternilai dalam membangun fondasi negara, Soebardjo meninggalkan warisan yang abadi.
Meskipun ia wafat pada 15 Desember 1978, jasa-jasanya terus dikenang dan dihargai oleh bangsa Indonesia, dengan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009.
ADVERTISEMENT
Sejarah hidupnya tetap menjadi sumber inspirasi dan pembelajaran tentang semangat perjuangan dan kepemimpinan. (Shofia)