Konten dari Pengguna

Kejatuhan Rezim Assad di Suriah: Ancaman atau Keberuntungan Bagi Israel?

Rasyiq Arif Buamona
Mahasiswa S-2 Ilmu Hubungan Internasional UGM
10 Desember 2024 17:16 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rasyiq Arif Buamona tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi peta Suriah yang terpecah dengan pasukan militer dalam posisi defensif di dekat perbatasan Israel (Sumber: Ilustrasi digital penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi peta Suriah yang terpecah dengan pasukan militer dalam posisi defensif di dekat perbatasan Israel (Sumber: Ilustrasi digital penulis)
ADVERTISEMENT
8 Desember 2024, merupakan tanggal yang menandai jatuhnya rezim Assad di Suriah, setelah berkuasa selama kurang lebih 50 tahun. Hal ini diisyaratkan dengan keberhasilan kelompok pejuang yang dipimpin oleh oposisi Hayat Tahrir Al-Syam (HTS) dalam memasuki Damaskus dan mendeklarasikan bebasnya Suriah. Hal tersebut diikuti dengan perayaan warga Suriah yang tumpah ke jalan dan mengibarkan bendera revolusi Suriah, momen yang bisa saja merupakan akhir dari perjuangan yang telah berlangsung sejak peristiwa Arab Spring yang dipenuhi dengan penindasan brutal dan bangkitnya pemberontakan bersenjata yang berlangsung selama kurang lebih 13 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Jatuhnya rezim Assad merupakan sebuah peristiwa besar bagi aktor-aktor di kawasan Timur Tengah, khususnya bagi dua pihak yang hubungannya sedang memanas belakangan ini, yakni Iran dan Israel. Bagi Iran, digulingkannya Assad merupakan pukulan telak terhadapnya—negara Syiah pendukung setia pemerintah Suriah—sekaligus membuat jalur suplai senjata kepada Hizbullah menjadi terancam; sedangkan bagi Israel, kejatuhan Assad merupakan hal yang sedikit aneh. Di satu sisi, mereka sangat mengharapkan hal tersebut mengingat Assad merupakan sekutu Iran. Di sisi lain, mereka tidak ingin melihat Suriah dikuasai kelompok Islamis--Jihadis, yang tentu saja dapat membuat Suriah kembali menjadi ancaman bagi Israel—negara yang kerap kali dijuluki sebagai “kanker di jantung dunia Arab.”

Respons Israel

Israel sendiri, melalui Netanyahu, menyambut kejatuhan rezim Assad dengan menyatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan hari yang bersejarah bagi Timur Tengah dan tidak lepas dari andil Israel dalam “memukul” Iran dan Hizbullah yang merupakan pendukung Assad. Netanyahu juga menegaskan bahwa Israel akan “mengulurkan tangan” kepada warga Suriah yang ingin hidup damai dengan Israel.
ADVERTISEMENT
Namun, damai dalam hal ini tentu saja adalah damai versi Israel. Letak geografisnya yang dikerumuni negara-negara Arab bermayoritas Islam menjadikan perdamaian versi Israel sangatlah subjektif karena ia berstatus sebagai negara minoritas yang selalu merasa terancam. Tak ayal, dibanding duduk diam dan menyaksikan bagaimana proses restorasi pemerintahan di Suriah berjalan, Israel langsung mengambil langkah konkret di tengah power vacuum dan euforia penggulingan rezim yang masih berlangsung dengan melakukan serangan udara di Selatan Suriah dan Damaskus untuk menghancurkan lokasi persenjataan milik pemerintah Suriah. Alasannya tidak kompleks, Israel tak ingin persenjataan tersebut jatuh ke tangan pasukan pemberontak dan membahayakan Israel dan warganya.
Tidak sampai di situ, Israel juga mengambil alih kendali atas zona penyangga (buffer zone) yang ditetapkan oleh PBB di Dataran Tinggi Golan dan mengambil alih sisi Gunung Hermon yang dikuasai Suriah untuk memperluas zona penyangga demiliterisasi di sepanjang perbatasan dengan Suriah. Pegunungan Hermon merupakan lokasi yang memberikan keuntungan strategis karena posisinya yang berada di dataran tinggi untuk seluruh wilayah, memungkinkan Israel mengantisipasi setiap potensi serangan lebih awal. Netanyahu menyatakan bahwa kehadiran IDF di zona penyangga hanyalah pertahanan yang bersifat sementara hingga tercapainya kesepakatan yang sesuai.
ADVERTISEMENT

Reaksi Defensif Sekaligus Ofensif

Reaksi Israel pasca jatuhnya rezim Assad tersebut dapat dinilai sebagai langkah yang defensif dan ofensif dalam waktu yang bersamaan—defensif dalam retorika dan ofensif dalam perilaku. Serangan terhadap situs persenjataan yang ditinggalkan pemerintah Suriah merupakan bentuk first strike dalam doktrin counterforce namun dengan strategi yang berbeda: bukan dengan nuklir dan terhadap fasilitas senjata nuklir, namun pada dimensi senjata konvensional. Serangan ini mengeliminasi kemungkinan ancaman yang dapat diberikan kelompok oposisi manapun di Suriah—termasuk HTS, meskipun kerapkali dituding sebagai boneka Israel dan Barat—yang hendak menggunakan fasilitas militer tersebut untuk menyerang Israel, baik sebelum maupun sesudah menjadi pemimpin yang sah di Suriah, bila Suriah tidak kembali terjerumus ke dalam perang saudara dalam menentukan faksi mana yang berhak naik ke tampuk kepemimpinan pasca penggulingan Assad.
ADVERTISEMENT
Serangan Israel terhadap Suriah serta perluasan kehadirannya di wilayah dataran tinggi Golan hingga pengambilalihan wilayah Suriah di Gunung Hermon juga dapat dijelaskan menggunakan salah satu fungsi dalam konsep use of force—oleh Robert J. Art—yang memuat cara yang digunakan negara untuk memperoleh keamanan nasionalnya, yakni fungsi compellence (pemaksaan). Fungsi compellence sendiri adalah sebuah bentuk penyebaran kekuatan militer dengan tujuan untuk menghentikan lawan dari melakukan sesuatu yang telah atau sedang dilakukannya atau untuk memaksanya melakukan sesuatu yang belum dilakukannya. Satu hal yang harus digarisbawahi dalam hal ini adalah, negara akan menggunakan fungsi dalam konsep ini ketika menghadapi negara dengan postur militer yang lebih kecil darinya. Fungsi compellence merupakan bentuk aktif dari konsep use of force, berbeda dengan fungsi deterrence yang bersifat pasif. Salah satu karakteristik dari fungsi ini adalah: dapat dibenarkan dengan alasan defensif.
ADVERTISEMENT
Dalam penerapannya, fungsi pemaksaan terbagi atas dua: secara fisik dan secara damai. Negara A dapat menggunakan kekuatan militernya dalam menciptakan kerusakan fisik di negara B hingga negara B mematuhi apa yang menjadi keinginan negara A. Sedangkan pemaksaan dengan cara damai adalah ketika sebuah negara mengambil langkah terhadap negara lain akan tetapi tidak mengakibatkan kerusakan secara fisik, melainkan mengharuskan negara lain untuk membayar “harga” tertentu hingga dia berhenti atau mengubah perilakunya sesuai dengan keinginan negara pengguna fungsi compellence.
Dalam kasus ini, Israel menggunakan fungsi compellence, baik secara fisik maupun secara “damai”, melalui penggunaan kekuatan militernya untuk melakukan serangan terhadap situs persenjataan Suriah serta memperluas kehadiran di zona penyangga kedua negara serta melakukan pengambilalihan wilayah Gunung Hermon di wilayah Suriah. Terkait dengan permintaan atau keinginan yang hendak diraih oleh Israel, Netanyahu hanya menyatakan bahwa tindakan tersebut ditempuh Israel sebab mereka tidak ingin kekuatan musuh mengembangkan diri di perbatasan dengan Israel. Namun, menurut pandangan pribadi penulis, Israel sedang berusaha untuk mengamankan posisi dan meningkatkan bargaining power-nya terhadap pihak yang akan mengisi kekosongan kekuasaan di Suriah, di tengah ketidakpastian kondisi geopolitik Timur Tengah ke depan, dengan cara memaksa Suriah untuk berlaku sebagaimana yang dikehendaki oleh Israel.
ADVERTISEMENT

Kejatuhan Assad, Ancaman atau Keberuntungan?

Apakah keinginan Israel sebatas hendak memastikan bahwa pemerintah baru di Suriah berada di bawah pengaruhnya dan tidak akan menjadi ancaman bagi keamanan negaranya; atau menginginkan hal lain, seperti aneksasi wilayah Suriah sebagai langkah maju dalam mewujudkan negara Israel Raya, masih menjadi misteri.
Yang pasti, kejatuhan rezim Assad, yang untuk sementara waktu memudarkan pengaruh Iran dan Hizbullah sekaligus memutus akses suplai senjata di antara keduanya, dimanfaatkan dengan baik oleh Israel. Jika negara-negara Arab tidak turut memanfaatkan momentum jatuhnya Assad untuk bangkit dan bersatu melawan Israel, bukan tidak mungkin, Israel akan menjadi pemenang tidak langsung dari babak lama konflik di Suriah yang baru saja usai, melalui perluasan wilayah ataupun pengaruhnya: dua langkah yang dapat mengantarkannya menjadi hegemon di kawasan Timur Tengah. Sesuai dengan pandangan realisme ofensif, negara memperbesar power bukan semata-mata untuk jaminan sekuritas dan survival di dalam sistem internasional yang anarki; namun untuk menjadi hegemon, setidaknya di tingkat regional.
ADVERTISEMENT