Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Menyoal Privasi Anak yang Seringkali Kita Langgar
16 September 2024 9:27 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Ravi Choirul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap anak adalah istimewa. Mereka memiliki hak-hak yang harus kita hargai dan hormati. Namun, sebagai orang dewasa, sudahkah kita memperlakukan mereka secara istimewa? atau paling tidak, menghargai hak-hak mereka.
ADVERTISEMENT
Normalnya, kita semua pasti ingin memperlakukan anak sebaik mungkin, apalagi yang memiliki ikatan khusus dengan kita. Namun, seringkali kurangnya kesadaran terhadap hak-hak mereka membuat kita seringkali tidak sengaja melanggar hak-hak mereka.
Saya akan memulai dengan sebuah kisah fiktif karangan saya.
Ada seorang anak yang kemudian menjadi terkenal karena orang tuanya—yang merupakan influencer di sosial media—sering membagikan video sang anak yang sedang melakukan berbagai aktivitas. Anak ini tumbuh kembang dengan banyaknya pujian dan perhatian oleh khalayak, mulai dari sosial media hingga lingkungan terdekat seperti guru di sekolah atau orang tua tetangga.
Pada suatu titik, anak tersebut mulai tidak nyaman dengan banyaknya ekspektasi yang datang dari orang lain. Ia tertekan untuk tumbuh menjadi sosok yang direpresentasikan dalam konten di sosial media. Ia tidak suka keramaian, tetapi di satu sisi ia haus akan afirmasi karena itu yang biasa ia dapatkan. Pernah ketika ia sedang bersedih, orang tuanya tetap memintanya untuk terlihat gembira demi kebutuhan konten. Sebagai imbalan, orang tuanya akan membelikan apa pun yang ia mau, toh uang yang dihasilkan karena anak itu juga.
ADVERTISEMENT
Datang hari di mana sang anak melakukan sebuah kenakalan yang kemudian terliput oleh suatu media. Postingan di sosial media sang orang tua pun dipenuhi oleh komentar yang negatif. Mental sang anak jatuh. Orang tuanya sampai menutup kolom komentar akun sosial media dan membuat story untuk membela sang anak dan meminta dukungan serta belas kasih.
Rasanya kisah ini perlu saya cukupkan sampai sini. Saya belum mendapat ide untuk melanjutkan kisahnya. Namun, paling tidak, saya bisa memberi tahu sedikit bocoran kisah selanjutnya, yaitu: bahwa sejak saat itu, semua tak lagi sama.
Kisah ini merupakan kisah fiktif belaka. Namun, apabila merasa terjadi kesamaan cerita atau peristiwa—baik yang dialami langsung atau yang sering kita saksikan—saya harap tulisan ini dapat dibaca sampai selesai. Setelah itu, kita bisa berdiskusi lebih lanjut dan saya membuka diri terhadap berbagai counterargument. Jika tidak, tenang saja, tulisan ini akan dengan sendirinya menguap bersama angin.
Privasi Anak dan Risiko yang Ada
Dalam tulisan ini, saya akan banyak membicarakan hak anak yang seringkali kita langgar tanpa sengaja karena kurangnya kesadaran, yaitu hak privasi. Hak privasi sendiri tertuang dalam Konvensi Hak Anak dalam article 16, “Every child has the right to privacy”. Sering kita jumpai publikasi di sosial media yang membagikan banyak sekali foto/video anak-anak, mulai dari unggahan orang tua, influencer, guru, hingga organisasi/komunitas tertentu. Saya akan membahas mengapa hak privasi anak-anak bisa jadi dilanggar dalam situasi ini dan apa bahayanya.
ADVERTISEMENT
Salah satu publikasi sosial media yang memuat anak-anak justru sering dilakukan oleh orang tua sang anak sendiri. Bahkan tak jarang seorang yang memiliki posisi sebagai influencer membagikan aktivitas parenting atau tumbuh kembang anak mereka dengan dalih ‘sharing is caring’. Fenomena ini memiliki istilah pop-psyhcology sendiri, yaitu sharenting. Dalam beberapa kasus, sang anak hingga bertransformasi menjadi seorang kidfluencer.
Anak tidak seharusnya menjadi internet famous untuk sosial media kita yang dapat melanggar hak privasi mereka dan dapat membawa berbagai konsekuensi negatif dalam prosesnya mengembangkan identitas yang unik dan orisinil. Sharenting dapat menghambat bahkan merusak proses perkembangan ini. Dengan mengekspos anak-anak di sosial media, orang tua dapat menciptakan generasi anak-anak yang lahir di bawah sorotan publik. Salah satu bahayanya, anak-anak dapat tumbuh dengan perasaan bahwa dunia privat adalah publik dan berbagi detail pribadi adalah hal yang biasa (Adi Utomo, 2022). Dalam publikasi tersebut, kita seringkali membagikan hal-hal yang bersifat privasi seperti identitas sang anak, tumbuh kembang mereka, dan informasi-informasi lainnya—seperti di mana mereka bersekolah, les apa saja yang sedang mereka ikuti, dsb.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, tak jarang demi kebutuhan konten, representasi sang anak harus mengikuti standar representasi tertentu yang dibuat oleh orang tua sebagai content creator. Contoh: sang anak harus berakting dalam situasi tertentu atau harus terlibat dalam simulasi yang tidak alamiah. Saya pernah melihat seorang anak yang harus melakukan simulasi adegan sedang dimarahi dan menangis.
Sebelum lebih lanjut mengelaborasi dampak negatif dari tersebarnya privasi anak-anak, perlu ditekankan kembali bahwa anak memiliki hak privasi. Tidak seharusnya orang dewasa secara sembarangan membagikan foto atau video mereka, termasuk informasi-informasi pribadi. Masih cukup banyak risiko lainnya selain yang telah disebutkan di atas. Risiko dari publikasi foto mereka misalnya. Sekali sebuah foto terunggah di internet, apalagi yang bisa diakses khalayak ramai, foto tersebut sudah menjadi konsumsi publik yang bisa disalahgunakan kapan saja. Misalnya, di-edit untuk kemudian dijadikan konten tertentu—dalam taraf paling ekstrem: konten pornografi, yang kemudian dapat diperjualbelikan di dark web.
ADVERTISEMENT
Foto atau video anak-anak juga bisa menimbulkan emotional harm, misalnya kelak ketika remaja atau dewasa mereka malu akan foto yang sudah dipublikasi atau mereka mendapatkan perundungan digital dari publikasi tersebut. Contoh yang lebih ekstrem lagi, memberi tahu lokasi tempat anak kita beraktivitas juga memunculkan risiko menjadikannya pintu masuk bagi sexual predator yang bisa saja menargetkan anak tersebut untuk menjadi korban. Menyebar privasi tentunya dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak. Berbicara mengenai data, Komnas Perlindungan Anak mempublikasikan bahwa terdapat 3.547 kasus kekerasan anak di tahun 2023 di mana bentuk kekerasan yang paling banyak adalah kekerasan seksual.
Publikasi anak-anak bahkan juga sering dijumpai di berbagai organisasi atau komunitas yang bergerak di bidang anak-anak. Publikasi mereka seringkali menampilkan dengan jelas muka atau identitas anak tersebut hingga lokasi di mana anak tersebut beraktivitas. Tak jarang juga kita menjumpai poster donasi dengan foto anak-anak sebagai salah satu elemen utama. Dengan berbagai risiko yang telah dijelaskan di atas dan adanya hak privasi anak, seharusnya organisasi memikirkan kembali kebijakan mengenai ini.
ADVERTISEMENT
Komodifikasi dan Eksploitasi Anak Dalam Kesadaran Palsu
Banyak publikasi atau konten yang menampilkan anak-anak yang kemudian menimbulkan berbagai benefit, di antaranya tentu monetisasi. Salah satu yang merasakan manfaat ini tentu adalah pelaku sharenting.
Seringkali tanpa sadar, mereka sudah sampai pada tahap apa yang disebut sebagai komodifikasi, yaitu perubahan nilai guna menjadi nilai tukar. Akibatnya, tanpa disadari, anak-anak bisa saja sudah menjadi korban eksploitasi.
Hal ini bisa dipahami dengan kerangka pikir skizoanalisis yang dirumuskan oleh Deleuze & Gauttari. Deleuze & Gauttari menggambarkan manusia adalah mesin hasrat yang terhubung dengan mesin-mesin hasrat lainnya. Lalu, skizoanalisis melihat bahwa perilaku manusia adalah kehendak bebas yang tidak terikat dengan aturan tertentu, namun di balik itu ada hasrat yang diproduksi tanpa kendali.
ADVERTISEMENT
Dalam kerangka ini, kita bisa membaca bahwa dengan membagikan konten mengenai anaknya—yang kemudian mendapat berbagai macam pujian positif dari netizen—hasrat ingin dipuji atau diperhatikan mereka terpenuhi. Hal ini selaras dengan pernyataan Walrave (2022) di mana salah satu alasan utama orang tua mempublikasikan foto/video anak ke sosial media adalah untuk membentuk impresi bagaimana mereka dalam melakukan parenting. Belum lagi ketika konten tersebut dapat dimonetisasi, bahkan telah masuk berbagai macam endorsement. Hasrat mereka semakin terpenuhi dan saling berkaitan satu sama lain dengan berbagai hasrat lainnya. Banyaknya pujian positif yang masuk dari followers juga menjadi faktor yang membuat akhirnya mereka tidak menyadari atau paling tidak merasa berdiri berada pada batasan yang kabur mengenai apakah mereka sudah mengeksploitasi anak atau tidak, sudah melanggar hak anak atau tidak.
ADVERTISEMENT
Dalam posisi seperti itu—ditambah berada di bawah kultur kapitalisme digital dan hegemoni—mereka akan susah menggapai kesadaran diri dengan munculnya berbagai pembenaran seperti: “kan tujuannya baik agar follower dapat mengambil pelajaran dari kami”, “Hanya berbagai momen lucu anak kok, toh lebih banyak komentar positif, bisa jadi bermanfaat buat mereka”, “anaknya juga tidak dipaksa kok”, dsb.
Berbagai faktor yang disebut di ataslah yang kemudian membawa mereka pada kesadaran palsu, sebuah istilah yang digunakan oleh para ekonom dan filsuf Marxis untuk menggambarkan keadaan pikiran tertentu yang menghalangi seseorang menyadari ketidakadilan yang terjadi di situasi mereka saat ini. Kita akan susah untuk menyadari adanya eksploitasi dan pelanggaran hak-hak anak.
Deleuze & Gauttari juga menyatakan bahwa hasrat akan selalu diproduksi dan direproduksi, sederhananya: tidak pernah bisa terpuaskan. Hal ini bisa mendorong para content creator yang awalnya hanya ingin berbagi untuk kemudian melakukan “penyesuaian” untuk konten di sosial media. Layaknya sebuah dramaturgi, kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di belakang layar. Apakah ada script yang harus mereka hafal, aksi yang diskenariokan, dsb. Berbagai penyesuaian seperti ini dapat terjadi ketika sebuah konten sudah dapat menghasilkan uang atau berbagai benefit lainnya bagi sang pembuat konten.
ADVERTISEMENT
Selain sharenting, hal ini banyak terjadi juga di kalangan guru content creator yang menjadikan muridnya sebagai objek konten. Kita tidak pernah tahu apakah yang terjadi di realita sesuai dengan apa yang terlihat di konten yang mereka sajikan.
Dilakukannya ‘penyesuaian’ yang tidak alamiah untuk sebuah konten dapat menyebabkan apa yang disebut sebagai hiperealitas oleh Jean Baudrillard, di mana anak-anak bisa saja terjebak untuk memisahkan kenyataan dengan peran sebagai subjek dalam konten. Anak-anak, apalagi yang pada akhirnya menjadi kidfluencer, dapat mengalami masalah mengenai self-concept dan otonomi diri. Mereka bisa jadi tidak dapat mengekspresikan dirinya secara bebas karena harus menyesuaikan dengan konten yang dibutuhkan, yang kemudian bisa kesulitan mengembangkan diri secara otentik. Anak-anak bisa terjebak dalam hiperealitas ini yang tentunya dapat berdampak negatif bagi well-being mereka. Seorang psikologis Donna Rockwell mengatakan bahwa “many stars feel a sudden crush of ‘isolation, mistrust, and lack of personal privacy. The person develops a kind of character splitting between the ‘celebrity self’ and the ‘authentic self.”
ADVERTISEMENT
Menyoal sharenting sendiri dengan berbagai dampak negatif yang bisa saja terjadi, alangkah baiknya kita benar-benar mempertimbangkan rekomendasi Stacey Steinberg dalam sebuah penelitiannya (2017) yang menyatakan kegiatan sharenting harus ditolak sebab informasi yang dibagikan orang tua di sosial media memiliki potensi jejak digital seumur hidup.
Namun, bukan berarti kegiatan berbagai pengetahuan mengenai ilmu atau pengalaman dalam parenting harus dihentikan. Banyak cara-cara lainnya yang bisa dilakukan untuk berbagi ilmu dan pengalaman. Misalnya, melalui tulisan, infografis, hingga video animasi. Terkait berbagi momen lucu anak, rasanya itu bukanlah alasan kuat yang sampai membuat kita mengabaikan hak privasi mereka.
Batasan, Consent, dan Relasi Kuasa
Bagaimana jika anak sudah memberi persetujuan? Atau lebih lanjut lagi, bagaimana jika sang anak sendiri yang ingin tampil di depan kamera untuk mengembangkan minat dan bakatnya?
Untuk pertanyaan pertama, tentu kita perlu mengajarkan anak-anak mengenai consent. Hal ini terkadang masih luput untuk kita lakukan. Terkadang kita mengabaikan pentingnya meminta persetujuan mereka. Lebih jauh lagi, selain meminta persetujuan, sudahkah kita menjelaskan dampak apa saja yang bisa timbul dari publikasi tersebut?
ADVERTISEMENT
Consent memang sangat penting, tetapi tidak bisa menjadi faktor penentu apakah sebuah konten yang menampilkan mereka bijak ditayangkan atau tidak. Perlu disadari bahwa mereka—apalagi yang masih jauh di bawah umur—belum punya kapasitas penuh untuk mempertimbangkan baik atau buruknya bagi mereka.
Bahkan, anak-anak seringkali merasa bahwa mereka tidak punya hak untuk menetapkan boundaries. Seringkali anak kesulitan untuk bilang “tidak” pada orang dewasa. Kita perlu juga memahami ini dalam kerangka teori relasi kuasa milik Michael Foucault dengan memahami hubungan antara pihak superordinate dan subordinate. Kita bisa sepakat bahwa orang dewasa umumnya secara tidak langsung memiliki posisi superordinate bagi anak-anak. Hal ini membuat anak-anak mudah percaya atau tidak terbiasa—bahkan takut—untuk menolak sehingga mudah memberikan izin kepada orang dewasa untuk mempublikasikan diri mereka.
ADVERTISEMENT
Lalu bagimana apabila sang anak sendiri yang meminta? Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dan orang tua memainkan peran vital di sini. Perlu disadari bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara tampil di publik untuk mengembangkan bakat dengan menjadikan anak sebagai elemen utama sebuah konten. Anak yang terlibat dalam ranah konten kreator biasanya memberikan kesan bahwa aktivitas tersebut bukanlah bentuk utama mengembangkan bakat, kalaupun ada porsinya hanya sedikit.
Terkait dengan pengembangan bakat, terdapat peraturan yang harus dipenuhi, salah satunya Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.115/MEN/VII/2004 tentang Perlindungan Anak Yang Melakukan Pekerjaan untuk Mengembangkan Bakat dan Minat. Terdapat kriteria-kriteria yang harus dipenuhi: biasa dikerjakan oleh anak sejak usia dini, diminati oleh anak, berdasarkan kemampuan anak, dan menumbuhkan kreativitas serta sesuai dengan dunia anak. Jadi kunci pembedanya ada pada kesukarelaan anak dan kesadaran orang tua untuk mematuhi batas wajar.
ADVERTISEMENT
Terdapat pula aspek-aspek yang harus dipenuhi yang tertuang dalam Pasal 71 ayat 2 UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan seperti harus di bawah pengawasan langsung oleh orang tua/wali, waktu kerja paling lama tiga jam sehari, dan tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. Jadi terlihat jelas bahwa orang tua harus berperan aktif dalam menjaga anaknya dalam batasan yang sehat sehingga tidak terjadi pelanggaran hak maupun eksploitasi.
Hentikan Normalisasi Akses ke Anak-Anak Panti Asuhan
Terakhir, pelanggaran privasi anak juga sering terjadi di panti asuhan di mana seringkali mereka harus berjumpa dengan banyak orang dewasa yang datang melakukan aksi sosial. Kita masih jarang menyadari berbagai konsekuensi negatif yang timbul dari aksi sosial tersebut . Apalagi, masih banyak panti asuhan yang dengan mudahnya memberi izin bagi pihak eksternal untuk melakukan kegiatan kunjungan dengan berbagai bentuk acara. Dalam Child Protection Privacy yang dipublikasi oleh Australian Volunteer (2020) bahkan menyebutkan bahwa “It can reduce a child’s access to privacy, which is one of their rights.”
ADVERTISEMENT
Anak-anak di panti asuhan punya hak untuk tidak terekspos kepada banyak pengunjung yang silih berganti. Selain berkaitan dengan privasi, membiarkan mereka mudah terekspos dengan beragam pengunjung dapat meningkatkan risiko lainnya seperti permasalahan psikologis akibat hubungan relasi dengan pengunjung yang singkat.
***
Sebagai penutup, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan repetisi: sebelum melakukan publikasi terkait anak-anak, mari pikirkan kembali dampak apa saja yang bisa timbul bagi mereka dan at the very first place, hargai hak privasi mereka.