Konten dari Pengguna

Kolom Pertama di Tahun Baru

Chris Wibisana
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Kontributor Reguler Tirto.ID. Humanis. Sosialis Demokrat.
9 Januari 2022 14:31 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chris Wibisana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Jalan Panjang dan Gelap (WallpaperCave)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Jalan Panjang dan Gelap (WallpaperCave)
ADVERTISEMENT
APA harapan Anda untuk tahun baru 2022?
Saya sendiri punya banyak. Terlalu banyak, rasanya, dan hampir semuanya ingin saya wujudkan di tahun ketiga dalam dasawarsa 2020-an ini. Akan tetapi, kalau pertanyaan itu ditambah sedikit menjadi, "Apa harapan yang Anda yakini akan terwujud di tahun 2022?" maka jawabannya tidak lebih dari jumlah jari setangan.
ADVERTISEMENT
Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya bukan termasuk orang yang percaya dengan "resolusi tahun baru". Bagi saya, selain membebani pikiran, resolusi tahun baru atau apapun itu, lebih sering memanjang-manjangkan daftar kegagalan yang mau-tidak-mau harus diterima saban kalender memasuki pekan keempat Desember setiap tahun, dan itu sungguh tidak nyaman.
Karena itu, saya tidak akan cerita banyak tentang pesta tahun baru atau perayaan syukur. Keluarga saya, kalau dipikir-pikir, termasuk puritan dalam soal raya-merayakan hal-hal yang kurang esensial atau condong pada pemborosan. Juga, saya tidak akan menumpahkan terlalu banyak harapan dalam kolom pertama saya di tahun 2022 ini.
Harus saya akui, cukup banyak peristiwa terjadi sejak terakhir kali saya menulis kolom di Kumparan ini. Kolom terakhir itu sejatinya masih terlalu subjektif dan emosional untuk disebut kolom. Tetapi, jika dihitung sebagai catatan pribadi, terdapat segi-segi umum yang sebetulnya perlu diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Kolom itu, ujung ke ujung berisi kejengkelan saya sebagai anggota Perpustakaan Nasional RI yang tidak kunjung buka, padahal pusat-pusat perbelanjaan besar maupun kecil—yang tentu saja merangkap kuil penyembahan mazhab hedonisme—sudah dibuka lebar-lebar. Dalam kolom itu, saya menggugat, apakah Perpustakaan (dengan 'P' besar) sengaja ditutup agar masyarakat berhenti belajar, sementara mall (dengan 'm' kecil) sengaja dibuka agar masyarakat menjadi boros dan ogah memperbarui pengetahuan dalam dirinya?
Banyak perubahan terjadi. Sewaktu menulis kolom itu, perkuliahan saya di Semester I sebagai mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia belum lagi dimulai. Sementara saat menulis kolom ini, saya baru saja menerima transkrip nilai dan Indeks Prestasi Semester yang, syukur pada Tuhan, menggembirakan hati.
ADVERTISEMENT
Sambung-menyambung kelucuan di negeri ini juga terjadi tidak habis-habisnya. Mulai dari lagu lama gontok-gontokan politik akar rumput antar cebong melawan kampret dan sebangsanya, hingga paradoks Indonesia yang ikut menggertak panggung COP26 Glasgow, tetapi tak kunjung menggeber pembangkit energi alternatif selain batu bara. Dari kaset rusak Jenderal Gatot Nurmantyo tentang kebangkitan PKI, hingga cerita lempar-kaos ala Presiden Joko Widodo yang—entah kenapa—menjadi konten media sosial yang menarik, setidaknya menurut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Sebagai miniatur tanah air yang tumpuk-undung tak karuan dengan masalah yang dibikin sendiri, kampus saya pun beberapa kali memantik cerita. Mulai dari Statuta yang sarat kemelut dan tarik-menarik kepentingan elite birokrasi kampus, hingga mangsi hitam yang dilaburkan oleh majalah berita mingguan TEMPO kepada kampus tempat saya mengangsu ilmu sebagai perguruan tinggi negeri dengan angka laporan kekerasan seksual tertinggi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tentang yang terakhir, saya yakin TEMPO tidak sembarang tunjuk. Sebabnya, dua kali mata kepala saya menangkap berita pemberhentian tidak hormat seorang wartawan pers mahasiswa dan seorang pengurus BEM UI karena menjadi pelaku kekerasan seksual. Jadi, dalam hal cabul-mencabuli, dosen dan mahasiswa sedikitnya punya kekompakan untuk menambah daftar panjang pelaku.
Meminjam idiom Betawi, apakah dengan segambreng masalah dan ontran-ontran itu, apakah saya tidak tertarik mengupasnya dalam sebuah kolom, seperti yang aktif saya kerjakan antara pertengahan 2020 hingga pertengahan 2021 lalu?
Jawaban Canggih dan Jawaban Klise
Ada dua jawaban. Pertama, jawaban klise: saya sibuk. Dengan penugasan kuliah dan bahan bacaan yang cukup memerlukan tenaga dan kesabaran untuk membacanya (terutama karena nyaris semua bahan bacaan tersaji dalam bahasa Inggris, sedangkan di awal perkuliahan, kemampuan saya menangkap vocabulary bahasa Inggris masih tertatih-tatih), saya menghabiskan waktu cukup banyak di hadapan layar laptop.
ADVERTISEMENT
Jika diringkas dalam satu alinea, gambaran perkuliahan daring sebenarnya tidak terlalu mengesankan. Mulai mengerjakan tugas saat matahari baru sepenggalah, lanjut telekonferensi tatap muka dengan dosen dalam sesi perkuliahan berdurasi 100-150 menit, sebelum meneruskan tugas yang belum rampung sampai matahari pulang ke peraduan, tentu dengan tertawa ngakak karena saya masih saja memelototi layar laptop yang tidak cantik-cantik amat.
Kalau menggunakan jawaban yang klise, saat itu juga saya akan dibidas, sebab semua mahasiswa juga mengalami seperti itu. Beruntung, saya diselamatkan oleh bacaan pengisi waktu luang yang cukup bermutu (11 buku dalam lima bulan antara Agustus-Desember, di luar bacaan referensi kuliah), sehingga saya bisa terhindar dari penyakit umum teman-teman seangkatan: burnout, alias kelelahan dan kejenuhan setengah mati karena tuntutan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Di samping jawaban klise, ada satu jawaban yang canggih: saya tidak ingin menulis hal-hal yang menyita waktu saya, tetapi setelah jadi, saya sendiri tidak puas dengan tulisan itu. Dalam bahasa Jawa, saya tidak mau menulis untuk kemudian menyadari bahwa tulisan itu "salah-kedaden" atau produk gagal. Asal menulis, asal jadi, tetapi tidak tahu tujuannya apa dan kepuasan apa yang saya dapat sesudah selesai.
Jika beberapa mata kuliah seringkali membuat saya jenuh karena dosen gagal menstimulus suasana kelas sehingga berakhir canggung atau kurang darah, maka konstelasi politik dalam negeri justru membuat saya lebih jenuh lagi, karena semua omong-kosong pemerintah (yang 90% diisi golongan tua) seakan-akan dilakukan demi saya, generasi muda yang mereka sebut "Indonesia Emas". Emas sebelah mananya, saya tidak tahu. Di depan mata saya tidak kelihatan sebuah generasi emas, tetapi seonggok kaleng-rombeng yang menggapai-gapai di pinggir pusaran sejarah kolosal menuju abad 22.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan pemerintah dengan mendekati generasi muda dan di mana-mana bicara tentang Indonesia 2045 seakan tahun ini sudah 2044? Satu-satunya yang saya rasakan dan amati, pemerintah tengah asyik memasang jebakan-jebakan di sepanjang jalan masa depan kami yang sudah digambarkan sampul tulisan ini. Meminjam larik puisi "Sebatang Lisong", jebakan made in pemerintah bagi generasi muda itu menimpali perjalanan kami yang sudah menempuh sebuah jalan "....tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan, tanpa ada bayangan ujungnya."
Moga-moga, dengan jebakan sepanjang jalan itu, pemerintah punya harapan agar ada satu-dua, mungkin sepuluh-dua puluh juta generasi muda yang kejeblos, dus bisa disetir untuk kepentingan politik golongan tua yang sudah bersuara serak-serak basah dan bergelambir lemak di sana-sini. Kalau tidak kena di jebakan satu, barangkali akan ada yang terperangkap jebakan berikutnya. Tinggal menunggu waktu, dan kembalilah tanah airku ini pada pribadi asalnya: een naties van koelies en koelies onder de naties.
ADVERTISEMENT
Karena tidak bergairah menulis masalah sosial-politik, saya beralih menulis artikel sejarah sepanjang 2.000 - 3.000 kata yang diterbitkan secara berkala oleh Tirto.ID di rubrik "Mild Report" dan "Mozaik". Dari hitungan saya, sejak Mei 2021, saya telah menulis sekutar 20 artikel sejarah, semua tentang peristiwa atau tokoh Indonesia.
Alasannya sederhana. Sejarah adalah cermin paling baik bagi mereka yang sadar diri bahwa sesudah tujuh setengah dekade merdeka, kita sebetulnya tidak ke mana-mana. Karena sejarah menawarkan cermin yang bening dan sebuah dunia yang tidak pernah menua, saya memutuskan menceburkan diri ke dalamnya.
Butuh Lebih Keras
Meski produktif dalam menulis artikel dengan benang merah sejarah, saya tidak bisa membohongi diri kalau saya terusik ketika mengurungkan niat menulis soal-soal politik, terlebih sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang gatal dengan carut-marut keadaan tanah air.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, baru-baru ini, seperti romantisme mahasiswa seumumnya, saya baru mencapai fase Soe Hok Gie: menarik segala bentuk kepercayaan dari golongan tua, para bapak dan ibu di Gedung Nusantara Senayan, tetapi masih skeptis kepada angkatan sendiri—secara eksplisit, gerakan mahasiswa.
Tidak terhitung sudah berapa kali kanal percakapan instan di HP saya menerima pesan dan undangan "aksi mahasiswa"—maksudnya demonstrasi—di berbagai tempat: di depan Rektorat, di depan kantor Nadiem Anwar Makarim, hingga di Bundaran Air Mancur-Patung Diponegoro, Jakarta. Tuntutannya macam-macam. Hawa sumpek yang disampaikan pamflet itu pun tidak kalah beragam, dari isu-isu domestik di kampus hingga masalah sosial-politik nasional.
Tentu, bagi mahasiswa semester awal yang wajar dan sepantasnya, tawaran demonstrasi dari kakak angkatan terasa seperti ditawari rokok pertama kali. Coba sekali, lalu tambah, lalu kecanduan. Tetapi, saya memang bukan tipikal mahasiswa yang wajar, bahkan di luar kewajaran.
ADVERTISEMENT
Terhadap setiap ajakan demonstrasi mahasiswa, yang pertama kali terlintas di benak saya hanya dua hal: kemacetan yang merugikan lebih banyak orang dan bentrokan nirfaedah dengan oknum berseragam coklat. Syukur-syukur jika aksi itu damai, tetapi yang damai tidak didengar, sedangkan aksi yang ricuh harus siap-siap dikandangkan.
Saya kira, di sinilah titik tolak yang baik untuk sebuah konflik generasi yang lebih keras. Bukan sekadar tuntutan menolak ini, menolak itu, mendukung ini, atau menyerukan ini dan itu, tetapi sebuah pernyataan tegas untuk memboikot apa saja yang diarahkan, diprogramkan, dan dikehendaki golongan tua.
Boikot (=menolak kerja sama; menolak patuh) yang tidak hanya insidental dan mengandalkan momentum, tetapi hasrat mendasar untuk menghentikan pembusukan politik yang menjadi-jadi. Kandungan dalam ajakan boikot bermuatan lebih besar daripada keinginan transisional untuk menggantikan penguasa sekarang dengan penguasa lain, tetapi membukakan liang kubur bagi politik golongan tua yang korup dan menjijikkan.
ADVERTISEMENT
Tentu konflik generasi tidak terjadi dalam semalam. Dibutuhkan kuldesak yang memungkinkan perselisihan tumbuh dan berkembang sebagai landasan terciptanya konflik orang tua dan anak(-anak)nya, yang menyangkut lebih dari masalah generatif, tetapi mengoreksi cara pandang lama yang menemukan refleksinya dalam kebijakan-kebijakan politik hari ini.
Melalui kolom ini, saya tidak berpretensi memulai genderang konflik generasi itu. Apakah yang akan timbul seandainya seorang wartawan pers mahasiswa dan kontributor sejarah memulai genderang itu?
Oleh karena itu, posisi saya sekarang hanya membuka celah yang memungkinkan agar jalan penuh jebakan golongan tua itu dihindari oleh generasi saya, yang dalam hemat saya cukup dekat dengan ide-ide universal dan masih lentur untuk menerima gagasan tentang masalah ruang hidup yang lebih mendasar, termasuk perubahan iklim, krisis pangan, air bersih, dan pengembangan kearifan lokal sebagai sokoguru perekonomian masa depan.
ADVERTISEMENT
Ada ketakutan melawan orang tua—sebuah budaya ketimuran yang umum. Tetapi jika tidak dilawan, orang tua justru akan merepotkan, lebih-lebih jika kita termakan omong-kosong dan bualan muluk-muluk tentang masa depan; yang belum tentu mereka saksikan.
Suka tidak suka, saya mempunyai keinginan agar 2022 membuka gerbang menuju konflik generasi yang lebih keras, berani, substansial, dan mendaftar kembali dosa-dosa golongan tua yang menjerumuskan anak-anaknya sendiri ke dalam jurang. Saya tidak takut memulai, tetapi saya membutuhkan kawan. Saya masih mencarinya.