Konten dari Pengguna

Mengenal Maid Café, Budaya Jepang yang Unik

Revita Ahya
Mahasiswa tahun 2023 S1 Bahasa dan Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga
10 Oktober 2024 11:51 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Revita Ahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
shell_ghostcage on Pixabay (https://pixabay.com/photos/landscape-garden-japan-2622203/)
zoom-in-whitePerbesar
shell_ghostcage on Pixabay (https://pixabay.com/photos/landscape-garden-japan-2622203/)
ADVERTISEMENT
Kafe, kita yang hidup di zaman ini tentunya tidak asing dengan istilah tersebut, bahkan sudah sangat familiar. Istilah ‘kafe’ sebenarnya berasal dari bahasa Perancis yaitu café yang berarti kopi, tetapi kini istilah tersebut digunakan untuk menyebut suatu tempat untuk menikmati makanan atau minuman sembari hang-out. Karena kafe adalah ruang santai yang tidak terlalu formal, makanya tidak jarang tempat ini digunakan untuk bersosialisasi, tempat berkumpul, bahkan dalam perkembangannya kafe digunakan sebagai tempat untuk menyelesaikan pekerjaan. Berdasarkan fungsinya ini, kafe sampai menjadi gaya hidup bagi beberapa orang.
ADVERTISEMENT
Kafe tidak hanya merebak di area domestik saja, tetapi juga secara internasional. Sehingga, di mana pun kita berada, pasti akan menemukan kafe. Beda negara, berbeda pula nantinya tema, dekorasi, dan pelayanan yang disediakan tiap kafe. Seperti kafe yang akan dibahas kali ini, yaitu Maid Café dari Jepang. Jepang yang terkenal dengan anime-nya pasti akan selalu menyuguhkan hiburan yang tidak jauh dari anime. Salah satunya adalah kafe maid ini.
Maid Café, atau yang dalam bahasa Jepang disebut dengan メイド喫茶 (meido kissa) adalah sebuah kafe di Jepang yang para pramusajinya – biasanya perempuan – berpakaian layaknya pelayan Perancis saat mereka memberi layanan kepada pelanggan yang datang. Layanan yang diberikan di kafe jenis ini sangat berbeda dari kafe-kafe pada umumnya, para pramusaji tidak hanya sekadar memesankan menu, tetapi mereka juga berinteraksi dengan para pelanggan layaknya antara pembantu dengan tuannya.
ADVERTISEMENT
Daya tarik dari kafe maid ini adalah konsep yang dimilikinya. Yaitu, kafe ini diibaratkan sebagai dunia ‘fantasi’, di mana para pelanggan yang datang akan cenderung ‘melupakan’ hal-hal yang berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari. Dengan kata lain, tak jarang mereka menjadikan kafe maid ini sebagai pelarian dari penatnya kehidupan nyata. Pramusaji yang juga melakukan cosplay dari karakter suatu anime semakin menguatkan konsep ini. Pelanggan yang datang juga merasa terhibur karena mereka dapat berinteraksi dengan karakter yang semulanya hanya dapat dipandangi melalui layar elektronik.
Ada banyak hal yang melatarbelakangi kemunculan dan model pelayanan dari kafe maid. Salah satunya yaitu, adanya para otaku – orang yang memiliki ketertarikan pada anime dan manga – yang memiliki kecenderungan untuk ‘berinvestasi’ (mengeluarkan uang) pada hobi otaku-nya – ‘menafkahi istri’ anime-nya – ketimbang mengeluarkan uang untuk berkencan dengan wanita di kehidupan nyata. Selain itu, Okada Toshio berpendapat bahwa sejak tahun 1980-an para otaku menganggap hobi mereka sebagai ‘tempat perlindungan murni’ (junsui de irareru tōhi basho). Sehingga para otaku lebih fokus membangun ‘hubungan’ dengan gadis-gadis dua dimensi. Para otaku ini, menyebabkan sektor bisnis di Jepang juga banyak menawarkan produk untuk memuaskan keinginan para otaku – salah satunya adalah kafe maid.
ADVERTISEMENT
Selain karena hal yang sudah dijabarkan di atas, untuk mengetahui awal kemunculan kafe maid pertama kali, kita harus kembali ke tahun 1990-an. Sejarah kemunculan kafe maid ini berkaitan erat dengan sebuah video game simulator kencan yang berjudul Welcome to Pia Carrot!! (1996). Dalam permainan ini, si pemain mencoba untuk menjalin hubungan dengan gadis-gadis cantik yang bekerja di sebuah kafe. Serta pakaian yang dikenakan para gadis ini layaknya pelayan khas Perancis – maka dari itu pakaian pelayan di kafe maid juga layaknya pelayan khas Perancis.
Selanjutnya, pada bulan Agustus tahun 1998, di sebuah acara yang bernama Tokyo Character Collection, muncul sebuah kafe temporer yang bertujuan untuk mempromosikan Welcome to Pia Carrot!! 2 (1997). Pada bulan Juli 1999, gamer’s di Akihabara membuka Restoran Pia Carrot yang bertahan hingga tahun 2000. Karena Akihabara adalah surga para otaku, maka semakin marak toko yang menyediakan permainan simulator kencan, sekaligus kafe di dalamnya sebagai bentuk promosi. Hingga muncullah game simulator kencan lain yang bertemakan maid yaitu Bird in The Cage (1996) dan Song of The Chick (1999). Citra Victoria yang ditampilkan pada game ini memunculkan sebuah kafe maid pertama, Cure Maid Café, yang dibuka di Akihabara pada Maret 2001. Mulanya, kafe maid ditujukan untuk pelanggan yang berbelanja permainan simulator kencan agar mereka dapat menikmati fantasi berupa dilayani oleh orang yang berkostum karakter fiksi.
ADVERTISEMENT
Layaknya pembantu atau pelayan yang melayani tuannya, di kafe maid ini, para pelanggan diperlakukan layaknya seorang tuan di sebuah rumah. Begitu memasuki kafe, pelanggan akan disambut oleh beberapa maid yang berseru “okaerinasaimase, goshujinsama!” yang berarti “selamat datang di rumah, tuan!”. Selanjutnya, pelanggan akan diantarkan ke meja untuk diberi pelayanan lebih lanjut. Biasanya, pelanggan akan mendapat layanan berupa foto dengan maid yang melayani mereka, memainkan sebuah game bersama, serta sekadar berbincang-bincang, jadi pelanggan tidak hanya datang untuk makan dan minum.
Namun, ada semacam peraturan tidak tertulis di kafe maid saat si ‘pembantu’ berbincang-bincang dengan ‘tuannya’. Seperti yang sudah disinggung di paragraf awal, kafe maid diibaratkan sebagai dunia fantasi, di mana para pelanggan menjadikan kafe ini sebagai pelarian. Oleh karena itu, tak jarang baik ‘pembantu’ maupun ‘tuan’ menghindari pembicaraan di luar kafe maid – maksudnya membicarakan kehidupan pribadi. Meskipun memang di beberapa kafe maid menyediakan sebuah layanan khusus ‘konsultasi jiwa’, di mana ‘pembantu’ akan menjalin komunikasi dengan ‘tuan’ yang diharapkan akan mampu menyembuhkan jiwa mereka dari stres.
ADVERTISEMENT
Karena namanya juga kafe, tentu tidak lengkap jika tidak membicarakan mengenai hidangan yang disajikan di kafe maid ini. Menu yang dihidangkan sangat beragam di tiap kafe, tetapi hidangan yang menjadi ciri khas kafe maid adalah omurice, kari, salisbury steak, parfait, dan kue. Makanan yang dihidangkan juga dikatakan ‘memiliki hati’ (kokoro wo kometa) dan ‘dipenuhi dengan cinta’ (aijō wo tsumatta). Ada hal yang paling menarik ketika menghidangkan makanan di kafe maid, ketika memesan omurice, pelanggan bisa melakukan request kepada si maid untuk menuliskan atau menggambarkan sesuatu di atas telur dadarnya dengan saus tomat. Kemudian maid akan meminta tuannya untuk mengikutinya mengucapkan sebuah mantra sebelum menyantap hidangan. “Moe moe kyun!” itulah mantra yang umum diucapkan dengan harapan bahwa hidangan yang disajikan bakal terasa lebih sedap.
ADVERTISEMENT
Bagaimana? Apakah budaya Jepang yang satu ini menarik? Atau mungkin terlalu berlebihan? Ya, memang tak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa orang yang memiliki prasangka negatif terhadap kafe ini, tidak jarang mereka berpikir bahwa interaksi yang dilakukan antara maid dengan pelanggannya ini bernuansa sensual. Padahal, kafe maid secara umum mencoba untuk membatasi interaksi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena fokus mereka adalah memberi afeksi – bahkan kadang terlihat seperti orang dewasa yang menghibur anak-anak.
Karena konsep kafe maid ini sudah menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia, Indonesia juga tentunya sudah mengenal dan menerapkan konsep ini. Bagi para otaku yang tertarik dengan kafe maid tidak perlu jauh-jauh terbang ke Jepang – karena yang lokal pun ada. Jadi, tertarik mencoba kafe maid?
ADVERTISEMENT
Referensi
Galbraith, P. W. (2011). Maid in Japan: An Ethnographic Account of Alternative Intimacy. Intersection: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific, 25.
Maahury, H. A. (2022). Budaya Kafe dalam Dinamika Perkembangan Ruang Kota. DeSciArs, 12.