Peran Tionghoa dan Arab dalam Perumusan Pancasila

1 Juni 2017 15:29 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Suasana saat Sidang BPUPKI (Foto: belajar.kemendikbud.go.id)
Pada 1 Maret 1945, Saiko Syikikan Kumakici Herada (Panglima tertinggi Dai Nippon di Indonesia) mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai, yang kita kenal sebagai Badan Penyelidik Usah-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
ADVERTISEMENT
Pembentukan badan tersebut menjadi angin segar menyongsong kemerdekaan Indonesia.
Badan yang resmi berdiri pada 29 April 1945 ini bertugas menyelidiki kesiapan Indonesia untuk menjadi negara-bangsa sendiri, lengkap dengan sistem pemerintahannya.
Sebulan kemudian, dijadwalkanlah agenda sidang untuk membahas dasar-dasar apa yang akan digunakan sebagai landasan Indonesia ketika merdeka kelak.
Kemudian dipilah dan dipilihlah anggota BPUPKI yang bisa mewakili semua golongan yang ada di Indonesia. Hal ini menjadi penting karena yang dibahas adalah landasan dasar sebuah negara.
Presiden Sukarno saat Sidang BPUPKI (Foto: belajar.kemendikbud.go.id)
Jumlah keanggotaan badan ini semula 63 orang, kemudian bertambah menjadi 69 orang. Jepang membagi anggota BPUPKI ke dalam lima golongan, yakni golongan pergerakan, golongan Islam, golongan birokrat atau kepala jawatan, wakil kerajaan, pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, wali kota), dan golongan peranakan.
ADVERTISEMENT
Anggota BPUPKI tidak semuanya pria, terdapat dua orang perempuan yang turut serta dalam perumusan awal dasar negara ini. Kedua perempuan itu adalah Ny. Maria Ulfa Santoso dan Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito.
Adanya perempuan dalam sidang ini menjadi lompatan besar yang menandakan pengakuan hak politik perempuan dalam sebuah negara.
Golongan peranakan yang menjadi minoritas pun turut serta dilibatkan. Mereka terdiri dari empat orang keturunan Tionghoa, seorang peranakan Belanda, dan seorang peranakan Arab.
Perwakilan keturunan Tionghoa adalah Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa. Sementara perwakilan peranakan Belanda ialah pria kelahiran Semarang bernama Pieter Frederich Dahler dan Abdurrahman Baswedan sebagai perwakilan peranakan Arab.
ADVERTISEMENT
Mari kita kenali satu per satu.
Liem Koen Hian (Foto: Wikimedia.org)
Liem Koen Hian
Liem Koen Hian merupakan tokoh wartawan dan pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang memiliki visi tentang kewarganegaraan Indonesia. Pria kelahiran 1897 ini sangat antikolonial, namun tetap menjunjung tinggi identitas etnis setiap golongan.
Dalam sidang BPUPKI, Liem menyerukan agar kaum Tionghoa yang lahir di Indonesia menjadi Indonesier (orang Indonesia). Liem menuntut persamaan hak dan kewajiban, yakni untuk membela tanah air.
Selain itu, Liem mengusulkan jaminan kemerdekaan pers dicantumkan dalam Rancangan UUD BPUPKI.
Bagi Liem, nasib peranakan Tionghoa juga terikat dengan nasib orang Indonesia lainnya. Liem adalah salah satu perwakilan peranakan Tionghoa yang pro-kewarganegaraan Indonesia untuk masyarakat Tionghoa.
Perlu diketahui, masyarakat Tionghoa kala itu mengalami perpecahan orientasi politik --ada yang pro-Indonesia, pro-Jepang, dan pro-Belanda.
ADVERTISEMENT
Pascakemerdekaan, Liem melanjutkan kariernya di bidang politik. Liem pernah duduk menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang merupakan badan pembantu presiden.
Pada saat Konferensi Renville tahun 1948, Liem harus berhadapan dengan delegasi Belanda dari masyarakat Tionghoa yang pro-Belanda, Thio Thiam Tjong.
Dia pernah dituduh sebagai mata-mata China pada masa pemerintahan kabinet Soekiman yang menyebabkannya ditahan pada 1951.
Hal ini mengecewakannya dan membuat dia menanggalkan kewarganegaraan Indonesia. Setahun setelah lepas dari tahanan, Liem meninggal di Medan sebagai orang asing di negeri yang pernah turut dia perjuangkan.
Tokoh Tionghoa BPUPKI (Foto: Wikimedia.org)
Oey Tjong Hauw
Oey Tjong Hauw adalah Ketua Partai Chung Hwa Hui (CHH). Partai milik kaum peranakan Tionghoa di Indonesia ini berdiri pada 1928.
ADVERTISEMENT
Bagi Oey Tjong Hauw, seluruh masyarakat Tionghoa harus dinyatakan sebagai orang Tiongkok meskipun tetap tinggal di Indonesia.
Dalam pandangannya, orang Tionghoa pada akhirnya akan mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Tiongkok.
Putra dari konglomerat Oey Tiong Ham ini meninggal pada 1950.
Oey Tiang Tjoei
Pria kelahiran Jakarta, 1893, ini merupakan pimpinan surat kabar Hong Po pro-Jepang yang muncul setahun sebelum kedatangan Jepang di Indonesia.
Oey Tiang Tjoei yang kemudian berganti nama menjadi Permana ini juga ketua Hua Ch'iao Chung-hui (HCCH). HCCH menjadi organisasi gabungan semua organisasi dagang Tionghoa kala itu.
Saat sidang BPUPKI, Oey Tiang Tjoei berargumen bahwa saat kemerdekaan nanti, semua masyarakat Tionghoa diperbolehkan memilih kewarganegaraan mana yang akan dipilihnya.
ADVERTISEMENT
Pendapatnya ini menengahi pertentangan antara Liem Koen Hian dan Oey Tjong Hauw.
Tidak banyak catatan mengenai pengusaha dan pemimpin surat kabar berbahasa Tionghoa-Melayu ini.
Tan Eng Hoa
Tak banyak pula catatan tentang pria kelahiran Semarang tahun 1907 ini. Dia bersekolah di HBS pada 1925, kemudian menjadi sarjana hukum pada 1932.
Pada usia 38 tahun, dia dipercaya ikut serta sebagai anggota BPUPKI.
Tan merupakan orang yang mengusulkan hukum untuk menetapkan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan sebagainya, menjadi pasal tersediri dalam undang-undang.
Dari usulan itulah kemudian lahir Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat.
Tan juga merupakan pendukung ide republik sebagai bentuk negara Indonesia.
Yap Tjwan Bing (Foto: Wikimedia.org)
Terdapat satu nama lagi, yakni Yap Tjwan Bing yang merupakan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
ADVERTISEMENT
Pemuda asal Solo kelahiran 31 Oktober 1910 ini meraih gelar sarjana farmasi dari salah satu universitas di Amsterdam pada 1939.
Dia segera pulang ke Indonesia, kemudian mendirikan apotek di Bandung.
Yap Tjwan Bing bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) bersama Sukarno dan Hatta. Ia kemudian turut hadir dalam pengesahan UUD 1945 dan pemilihan presiden dan wakil presiden pada 18 Agustus 1945.
Pascakemerdekaan, Yap Tjwan Bing menjadi anggota KNIP sekaligus anggota DPR-RIS.
Bagi masyarakat Solo, Tjwan Bing adalah salah satu tokoh panutan hingga diabadikan menjadi nama jalan di salah satu kampung Jagalan.
“(Tahun) lahir saya jauh dari masa beliau, namun keteladanan tentang nasionalisme dan sikap toleransi beliau masih sangat kontekstual pada masa kini. Perjuangan untuk bangsa dan negara tanpa melihat perbedaan sudah beliau lakukan dan membuahkan hasil yang bermanfaat bagi seluruh bangsa, kemerdekaan Indonesia,” kata FX Hadi Rudyatmo, Wali Kota Solo, Sabtu (28/1).
ADVERTISEMENT
Pieter Frederich Dahler
P.F Dahler lahir di Semarang pada 21 Februari 1883. Ia salah satu aktivis dan politisi peranakan Belanda yang memperjuangkan Hindia Belanda --yang kini menjadi Indonesia.
Setelah Perang Dunia II, P.F. Dahler berganti nama menjadi Amir Dachlan.
Dahler bersama Douewes Dekker menjadi salah satu peranakan asal Eropa yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Dahler adalah Pemimpin Redaksi Bintang Timur, surat kabar berbahasa Melayu sekaligus guru di sekolah Pergoeroean Rakjat.
Pascakemerdekaan Indonesia, Dahler bergabung dengan PNI dan ikut serta dalam revolusi nasional.
Dia bahkan pernah ditangkap oleh Belanda pada 1946, namun kemudian dilepaskan. Pada 1948, Dahler meninggal tanpa sempat melihat penyerahan kekuasaan secara resmi dari Belanda ke Indonesia.
AR Baswedan (Foto: Wikimedia.org)
Abdurrahman Baswedan
ADVERTISEMENT
Jurnalis dan nasionalis kelahiran Surabaya, 11 September 1908, ini mendukung kemerdekaan Indonesia lewat tulisan-tulisannya sejak 1934. Bagi AR Baswedan, tanah airnya adalah tempat di mana ia dilahirkan.
Dia mengumpulkan semua keturunan Arab dan menggalang dukungan untuk membela Indonesia. Pernyataan Indonesia sebagai tanah air dan akan berjuang untuk mendukung tercapainya kemerdekaan Indonesia, dikenal dengan nama Sumpah Pemuda Keturunan Arab.
Setelah itu berdirilah Partai Arab Indonesia, di mana ia menjadi ketuanya dan meninggalkan Harian Matahari yang menggajinya tinggi.
“Demi perjuangan,” ujar AR Baswedan saat itu.
Dalam Sidang BPUPKI, AR Baswedan menyampaikan bahwa peranakan Arab pun harus dianggap sebagai bagian dari orang Indonesia dan memiliki hak serta kewajiban yang sama, yakni membela Indonesia
ADVERTISEMENT
"Dari peranakan Arab, tidak ada sama sekali seorang pun jang mengharap kerakjatan lain dari pada kerakjatan Indonesia."
Pascakemerdekaan, AR Baswedan menjadi diplomat dan berhasil secara de facto dan de jure meraih pengakuan atas eksistensi Republik Indonesia, yaitu dari Mesir.
AR Baswedan juga pernah menjadi Wakil Menteri Penerangan di masa Kabinet Sutan Sjahrir 2 Oktober 1946-3 Juli 1947.
Keterlibatan empat orang tokoh Tionghoa, peranakan Belanda, dan Arab di dalam BPUPKI termuat dalam “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Djilid Pertama” karya Muhammad Yamin.
Di dalamnya, Yamin juga menyertakan peta tempat duduk dan notulen pidato-pidato mereka.
Ini menjadi salah satu bukti, sejak awal negara ini berdiri, Indonesia selalu berusaha untuk merangkul semua golongan, dan mestinya hingga kini pun: milik seluruh golongan.
Saya Indonesia, Saya Pancasila! (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT