Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Atas dasar pertimbangan apa kebijakan sekolah 8 jam per hari diberlakukan?
ADVERTISEMENT
Jawabannya beragam. Begitu pula respons atas kebijakan yang ditetapkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah sejak 12 Juni 2017 ini.
[Baca juga: Ini Isi Peraturan Mendikbud tentang Full Day School ]
Mereka yang pro mengatakan, keuntungan perubahan hari sekolah ini memberi waktu anak-anak untuk bisa berlibur Sabtu-Minggu, bersama orang tua mereka. Selain itu, meringankan tugas orang tua --yang bekerja dan khususnya di perkotaan-- dalam mengawasi anak-anaknya.
Pernyataan tersebut menjadi alasan yang juga dikemukakan Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. “Dengan sistem full day school, anak didik akan terbangun karakternya. Tidak menjadi ‘liar’ di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja,” kata dia, 7 Agustus 2016.
ADVERTISEMENT
[Baca juga: Murid Indonesia Sayang, Murid Kami Malang ]
Alasan lainnya adalah persoalan beban kerja guru yang mengajar minimal 24 jam seminggu. “Tugas pokok guru tidak hanya mengajar di kelas 24 jam (seminggu). Banyak tugas pokok guru yang tak diakui. Jika kita kedepankan kinerja guru sebagaimana standar yang berlaku bagi ASN (aparatur sipil negara), maka sekolah harus menyesuaikan hari sekolah jadi 5 hari seperti 5 hari kerja,” kata Muhadjir.
Paparan itulah yang kemudian memunculkan lebih banyak pertanyaan. Jadi, demi siapa perubahan kebijakan ini dilakukan?
Argumentasi yang kontra terhadap kebijakan ini terutama menyorot bias kelas menengah dan warga perkotaan. Padahal Indonesia bukan hanya di kota, di Jawa, dan berisi kelas pekerja.
ADVERTISEMENT
“Kebijakan 8 jam di sekolah tak berorientasi pada anak, dan memukul rata tanpa melihat fakta kehidupan anak di Indonesia. Padahal Indonesia bukan Jakarta, dan Indonesia bukan hanya di kota,” kata Retno Listyarti, salah satu komisioner di KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia).
[Baca juga: “Mengurung” Anak Sehari Penuh di Sekolah ]
Sebelum perdebatan ini hanya berputar di satu titik. Mari kita lihat lebih dulu kebijakan 8 jam di sekolah ini --yang tidak mau disebut full day school.
Kebijakan 8 jam di sekolah direncanakan mulai diberlakukan pada tahun ajaran baru, Juli 2017 mendatang. Dari 8 jam di sekolah itu, peserta didik tidak hanya duduk di kelas mendengarkan gurunya berceramah.
Dan dari 8 jam tersebut, termasuk di dalamnya kegiatan kokurikuler atau proyek mandiri dan ekstrakurikuler, yang diharapkan untuk penguatan karakter. “Jadi rentang 8 jam ini jangan dibayangkan siswa akan berada di kelas sepanjang hari,” ujar Muhadjir.
ADVERTISEMENT
Program-program tambahan tersebut juga bukanlah program yang saklek, sebab sifatnya adalah pilihan. Sekolah bisa memilih kegiatan apapun sesuai kondisi dan potensi sekolah, siswa, dan daerah --demi pengembangan potensi peserta didik.
[Baca juga: Mau Dibawa ke Mana Pendidikan Kita? ]
Pergi ke museum, pasar, perpustakaan serta kegiatan keagamaan, kegiatan kesenian, dan olahraga menjadi salah satu agenda-agenda yang bisa dilaksanakan dalam rentang waktu 8 jam di sekolah tersebut. Di sinilah kreativitas serta keluwesan guru dan sekolah diperlukan.
“Bahkan saya cenderung ingin mata pelajaran SD dan SMP dikurangi, tapi jumlah kegiatannya semakin banyak. Jika guru merasa perlu mengunjungi museum, perpustakaan, atau pasar, boleh saja mata pelajaran hari itu ditangguhkan ke hari berikutnya agar murid bisa fokus. Jadi sekolah harus dibikin luwes, fleksibel, tidak kaku," ujar Muhadjir.
ADVERTISEMENT
Sementara waktu belajar di kelas direncanakan hanya sekitar 4-5 jam saja.
Belum adanya petunjuk teknis pelaksanaan sebagai turunan dari kebijakan ini menjadi salah satu ruang untuk diisi berbagai saran serta kritik. Agar jangan sampai kebijakan 8 jam di sekolah yang mungkin bisa meringankan beban orang tua --terutama di perkotaan, namun justru menjadi beban bagi anak-anak hingga merenggut masa kecil mereka.
[Baca juga: 10 Kali Gonta-ganti Kurikulum Pendidikan ]