Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Wawancara Khusus Joko Anwar: Mari Rayakan “Pengabdi Setan”
27 Oktober 2017 9:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Setiap kali mendengar suara lonceng berdenting, sosok Ibu dalam film Pengabdi Setan garapan Joko Anwar selalu muncul. Bulu kuduk tak tahan untuk tak meremang seketika.
ADVERTISEMENT
Terbayang jelas adegan pembuka di mana Ibu berbaring pucat dengan mantra atau doa di mulutnya. Potret menghadapi kematian yang menakutkan, karena bukankah kematian selalu ditakuti?
Setelah dirilis pada 28 September 2017, film yang menjadi prekuel dari film pertamanya yang tayang pada 1980 itu telah meraup 3.468.792 penonton. Sampai sekarang film ini masih diputar di beberapa bioskop dan siap bergentayangan di 17 bioskop luar negeri.
Negara-negara yang akan memutarkan Pengabdi Setan di antaranya Malaysia, Singapura, Jepang, Brasil, Argentina, dan Polandia.
Pada Jumat (20/10), kumparan sempat berbincang dengan penulis skenario, sutradara, dan sekaligus aktor: Joko Anwar --maestro Pengabdi Setan. Ia berkisah panjang, mulai tentang filmnya, kekagumannya pada Ayu Laksmi sang “Ibu Setan”, alasan kenapa memakai aktor Malaysia Bront Palarae untuk karakter Bapak, hingga kondisi psikis alam bawah sadarnya yang secara tak langsung ikut membentuk karyanya. Berikut wawancara lengkapnya.
Sudah sering nulis dan menyutradarai langsung film, tapi kenapa baru membuat film horor sekarang? Tantangannya seperti apa?
ADVERTISEMENT
Horor kan memang genre film aku yang paling utama. Dari kecil, aku memang lahir (besar) dengan film horor, Indonesia terutama. Aku hafal film Indonesia, bukan cuman judul sama durasi, tapi dialognya juga aku hafal dari kecil. Karena waktu kecil aku gampang menghafal, sekarang mungkin karena tua, susah.
Film-film aku (dulu) memang belum ada yang full horor, tapi banyak yang punya elemen horor. Misalnya Kala, Pintu Terlarang, Modus Anomali. Baru kali ini aku berani bikin film horor, karena pertama, film horor itu adalah film yang sangat technical. Jadi kalau misalkan kita bikin film, (kalau) film drama kita bisa bereksplorasi dengan kesederhanaan teknis misalnya. Kita bisa pakai teknis yang biasa.
ADVERTISEMENT
Cuma kalau horor, it's very technical karena kita bermain dengan antisipasi penonton. Penonton yang nonton berharap ada antisipasi, “ini setannya di sini” dan segala macem. Dan kita harus bermain dengan (ekspektasi mereka) itu.
Dan dalam rangka untuk membuat sebuah adegan yang mengerikan segala macem, technical sekali, (harus diatur) kamera gerakannya seperti apa, lensanya juga harus yang nomor berapa.
Khusus untuk Pengabdi Setan, aku menempatkan penonton sebagai observer yang ada di ruangan itu. Jadi ketika aku syuting, kebanyakan pakai lensa yang sesuai dengan mata manusia. Jadi ketika orang nonton di layar, kayak mereka ada di situ dengan suara yang didesain sedemikian rupa. Sehingga penonton berasa berada di rumah itu. Itu mungkin yang membuat Pengabdi Setan, ketika orang nonton, kok kayaknya creepy banget gitu.
ADVERTISEMENT
Jadi kami menempatkan manusia, penonton, ada di situ. Itu yang mungkin membuat lebih creepy kali.
Kenapa baru sekarang (membuat film horor), karena (dulu) aku nggak berani buat film horor yang merupakan genre kecintaan aku. Aku bilang gini, “Kalau aku bikin film horor harus bagus, paling nggak ya nggak malu-maluinlah.” Jadi mengumpulkan niat, okay I can do this, baru bikin.
Mengapa memilih membuat ulang film Pengabdi Setan?
Nah aku suka sekali sama film Pengabdi Setan yang asli, karena ketika aku menonton film itu di bioskop, kenikmatan menontonnya itu sampai sekarang aku masih ingat.
Aku masih ingat bagaimana horornya masuk ke dalam kulit tembus ke tulang. Semriwing-semriwing di bulu kuduk dan menjerit dan membelalak. Begitu keluar (bioskop), aku pengen nonton lagi. Itu masih terbayang-bayang.
ADVERTISEMENT
Sehingga aku ingin membuat sebuah film yang bisa memberikan (efek serupa) itu kepada penonton di bioskop.
Berapa lama proses pengerjaan film Pengabdi Setan, termasuk casting para pemain?
(Untuk) project Pengabdi Setan, sebenarnya aku mencoba untuk dapat project ini selama 10 tahun yaa minta ke Rapi Film, dan akhirnya dikasih. Tapi proses greenlight-nya itu bulan Desember tahun lalu.
Saya mulai menulis bulan Januari, selesai Februari, persiapan dimulai bulan Februari. Itu mulai casting. Dan semuanya ya harus ikut casting karena walaupun, misalnya Tara Basro, bintang film yang sering saya ajak kerja sama, tinggalnya juga di sebelah rumah saya, tapi ya harus ikut casting karena (sudah) prosedur.
Sama, Ibu Ayu juga. Walaupun saya udah yakin kayaknya Ibu Ayu (yang main), tapi kami juga meng-casting orang lain dan Ibu Ayu juga ada screen test, bukan casting. Karena kadang-kadang, kalau misalkan kita berpikir, kayaknya si ini cocok untuk memerankan satu karakter, tapi ternyata di screen mungkin beda. Jadi tetap harus ada screen test.
ADVERTISEMENT
Ayu Laksmi kan seniman, lebih ke musik. Kok bisa memilih dia sehingga akhirnya dia pun mau?
Wah, kalau Ibu Ayu Laksmi itu memang seniman yang saya hormati banget. Dan dia betul-betul luar biasa. Ketika saya mengajak dia masuk project itu, saya agak deg-degan juga karena dia seniman yang bukan saja memiliki prestasi luar biasa, tapi seniman sejati.
Uang itu mungkin nomor kesekian buat dia, (yang utama) adalah dedikasi untuk seni. Saya mencari orang untuk memerankan Ibu, yang bisa mengubah sesuatu yang simple, karakter yang seemingly sangat sederhana, menjadi suatu karakter yang bisa dibawa orang pulang ketika mereka selesai menonton.
Gerakannya minimal, ngomongnya sedikit, tapi saya kepengen ini jadi suatu seni. Jadi, saya minta tolong ke dia (Ayu Laksmi) sebenarnya. “Mau nggak Mbok tolongin, saya mau bikin film.” Dan syukur dia mau.
ADVERTISEMENT
Karena kadang-kadang kalau dia udah seniman, tiba-tiba dikasih karakter hantu kan jadi kayak… yaa mungkin tersinggung. Tapi ternyata nggak, dia bilang “Oke, ayo kita bikin. Karena buat saya ini adalah dedikasi terhadap seni.”
Kalau pemilihan karakter Bapak sendiri seperti apa?
Proses casting Bapak sebenarnya kami yang nyari. Yang paling susah untuk dicari (pemerannya) itu karakter Bapak. Sampai dua minggu sebelum syuting, itu belum dapat. Dan aku sampai mencari bintang film dari Malaysia.
Aku minta tolong sama Bront (Palarae--aktor, penulis skenario, sutradara, dan produser Malaysia). Bront itu kayak my very dear friend, very closed. Jadi aku kenal Bront itu dulu pas lihat trailer film Malaysia, judulnya Terbaik dari Langit tahun 2014 di Twitter. Ada yang nge-tweet, aku lihat itu keren banget.
ADVERTISEMENT
Sampai aku nonton itu filmnya bulan Desember tahun itu, (ke Malaysia) hanya untuk nonton film itu. Aku tweet, “Aku barusan nonton film Terbaik dari Langit, filmnya keren banget.” Dan akhirnya para pemain dan filmmaker-nya nge-tweet aku, “Lagi di Kuala Lumpur ya Joko? Bisa ketemu nggak? Jumpa?”
Akhirnya aku kenalan sama semua, termasuk sama Bront. Terus aku bikin film HBO, Halfworlds, aku ngajak Bront untuk main. Tapi untuk film Pengabdi setan, aku nggak bisa pakai dia awalnya. Karena dia kan muda, umurnya baru 34 tahun. Tapi ternyata aku nggak dapet (pemain) --dari Indonesia nggak dapet, dari Kuala Lumpur nggak dapet. Mau ngambil dari Filiphina, takut bahasanya susah.
Akhirnya (saya bilang), “Bront, please help me. Nggak ada lagi pemain yang bisa main. Can I transform you into an older man?” Jadi dia pakai make up dituain segala macem. Tapi dia aslinya kan clean shaven banget.
ADVERTISEMENT
Foto keluarga (Pengabdi Setan) itu kan foto keluarga untuk gala premiere yang (Bront kelihatan) muda sekali. Orang bilang, “Kok Rini sama bapaknya muda?” Ya itu kan bukan foto film, tapi foto gala premiere, gitu. Begitu prosesnya. Jadi Bront nggak casting, tapi aku minta langsung.
Memang banyak orang kan ramai komentar, Bapaknya ganteng banget.
Ganteng banget dan as a human being, Bront is fantastic. In facts, semua orang di film-film aku (fantastic). Aku nggak bisa bermain sama orang yang susah, diva segala macem. Karena menurut aku, untuk menjadi seorang aktor yang bisa memerankan sebuah karakter dengan baik, dia harus jujur. Dan diva is none of the qualities yang dimiliki sama orang jujur. Orang jujur itu apa adanya dan tidak ada fasad itu.
ADVERTISEMENT
Banyak sekali perubahan yang dilakukan hingga soal sekte kesuburan, pertimbangannya seperti apa?
Film Pengabdi Setan 2017 mengalami beberapa perbedaan dengan versi 1980 karena memang ini prekuel. Jadi secara timeline, waktu, (film) ini terjadi sebelum film yang asli. Dan ada beberapa elemen yang berbeda karena memang kalau misalnya film tahun ‘80 kita bawa peketiplek, nggak bakal bisa.
Karena secara logika, untuk audience zaman sekarang harus di-update sensibilitasnya, logikanya. Kalau zaman dulu kita lihat ada hantunya yang bisa dipukul pakai bantal, orang sekarang pasti ketawa kalau dibikinnya sama. So, memang harus di-upgrade sensibilitas dan logika internal dari film tersebut.
Film yang pertama juga soal sekte, yang pertama sekte-sekte berbaju merah pakai topeng. Bahkan karakter Tomi diambil sama sekte di situ, ditaruh di sebuah meja, ada yang pakai topeng dan pakai obor. Kalau kita pakai payung.
ADVERTISEMENT
Darminah tidak dihilangkan. Darminah muncul di akhir film dan karena ini film prekuel, jadi memang sambungannya yang tahun ‘80.
Keluarga berbeda karena kalau dibikin keluarga kaya juga, nanti terlalu sama dengan cerita yang jadi prekuelnya.
Kok bisa memilih Sekte Kesuburan sebagai bagian dari alur cerita? Apakah melihat ada persoalan terkait kehamilan atau kesuburan perempuan?
Mungkin pertimbangannya tidak sedalam itu ya, karena ini adalah film entertainment, film hiburan. Seorang penulis mencari cerita, menggabungkan cerita untuk sebuah film tentunya pertimbangannya storytelling. Ada beberapa filmmaker, saya juga, yang bikin film beberapa yang memang ingin dijadikan suatu alat untuk membuat sebuah pernyataan mungkin akan ada pertimbangan seperti itu. Ada pertimbangan lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Tapi kalau ini sih saya rasa pertimbangan cerita aja. Soalnya agak susah kalau semuanya mesti ditarik menjadi sesuatu yang deep begitu. Saya rasa kesalahan orang Indonesia, semuanya (merasa) harus dalem gitu. Sesuatu yang seharusnya sangat ringan, dibikin susah. Itu mungkin yang menyebabkan kita tidak relax sebagai masyarakat.
Tapi menjawab soal kesuburan segala macam, kalau misalnya temen-temen nonton film aku sebelumnya, semua film aku itu punya ciri khas. Kayak trademark tentang perempuan hamil dan kesuburan.
Mulai dari perempuan hamil dalam taksi yang mendapat musibah di film Janji Joni, film pertama aku. Terus perempuan hamil yang ditabrak truk di Kala. Perempuan hamil di Pintu Terlarang. Semua tentang perempuan. Patung aja hamil kan di Pintu Terlarang. Di Modus Anomali juga perempuan hamil yang ditusuk, terus di Copy of My Mind juga ada yang hamil. Ini juga hamil.
ADVERTISEMENT
Itu secara subconscious sebenarnya selalu muncul di kepalaku. Sebenarnya kalau diceritain sudah nggak spesial lagi. Tapi ada film pendek aku yang judulnya Waiting Room, yang aku bikin tapi tidak aku rilis. Itu semacam jawaban dari kenapa film-film aku ada tentang wanita hamilnya.
Punya kegelisahan apa sih, Mas?
Sebenarnya gini, aku melihat banyak sekali orang-orang yang punya anak hanya karena mengikuti convention dari society. Misalnya abis SMA itu harus kuliah, karena orang bakal nanya “Eh, kuliah di mana?” gitu. Jadi oke, aku kuliah deh karena nanti orang bakal nanya.
Abis kuliah, lulus, (ditanya) “Kerja di mana?” Kerjanya juga harus yang prestigious atau duitnya banyak. Setelah itu, “Kapan nikah?” Jadi orang harus nikah karena secara sosial itu sesuatu yang harus diikuti. Habis nikah tentunya, “Punya anak kapan?”
ADVERTISEMENT
Padahal abis SMA, kalau misalnya nggak mau ya nggak usah kuliah, nggak apa-apa. Abis kuliah, ya nggak apa-apa kalau nggak mau nikah. Abis nikah nggak mau punya anak juga nggak apa-apa. Some of my friends nggak punya anak. Mereka nikah tapi memang nggak mau punya anak.
Dan aku rasa masalah dunia ini banyak sekali karena orang punya anak tanpa berpikir untuk apa, bagaimana planning mereka untuk membesarkannya. Apakah mereka punya guarantee anak ini akan menjadi manusia yang bahagia atau tidak. Hanya ikut convention aja.
Dan akhirnya, karena anak lahir tanpa planning yang kuat, banyak anak-anak yang nggak punya planning ini --ya alhamdulillah mungkin masih banyak yang mendapatkan keberuntungan disayangi sama kedua orang tuanya, dapat pendidikan yang baik, kehidupan yang baik.
ADVERTISEMENT
Tapi nggak sedikit juga yang akhirnya hanya menjadi statistik. Statistik orang-orang yang terlantar, statistik orang yang karena terlantar lalu terjerumus ke kriminal, dan sebagainya.
Itu sih, secara subconscious. Tapi aku nggak pernah betul-betul mikir “Aku harus bikin film tentang kesuburan, orang hamil.” Nggak gitu sih kayaknya, I think. Mungkin.
Lalu, apakah pemilihan Sekte Kesuburan ini karena si Ibu mendapat tekanan dari society untuk hamil?
Sebenarnya latar belakang dari karakter Ibu di Pengabdi Setan --karena kalau aku bikin film, aku bikin history, sejarah setiap karakter seperti apa. Dan karakter si Ibu ini sebenarnya adalah orang yang sangat, well, teremansipasi. Tapi dia juga punya beberapa kelemahan. Dia adalah orang yang sangat ambisius. Dia ingin mendapatkan semua --wealth, luxury-- yang ada di dunia.
ADVERTISEMENT
Pada waktu itu kan, luxury pastinya ketenaran, karier yang sangat baik, harta, terus dia mau punya keluarga yang ideal gitu. Dengan suami yang ganteng, anak-anak yang cantik dan ganteng juga.
Dan itu semua (hampir) dia dapatkan. Ketenaran, popularitas, dia oke banget. Dia dapat uang juga, karena secara artis dia sangat menguntungkan. Kan ada platinum record di kantornya itu. Tapi dia mentok menginginkan sebuah keluarga yang ideal. Buat dia, sebuah keluarga itu adalah ada suami dan anak-anak yang lucu-lucu. Ternyata dia nggak dapet anak.
Jadi sebenarnya keputusan untuk mendapatkan anak dari cara lain (masuk Sekte Kesuburan), itu bukan dia diopres, tapi dia sendiri yang mau.
Apakah itu juga sebab peran sentral si Pengabdi Setan ini berputar di sekitar perempuan, sementara tokoh Bapak-nya cuma ada di awal dan akhir?
ADVERTISEMENT
Ya, memang kalau dilihat, film-film aku karakter bapaknya either not present atau asshole. Nggak sih, itu kata orang --dan itu bener. Ya, beberapa kreator seni atau novelis itu ada sesuatu yang hang up di pikiran mereka, yang tidak bisa dijelaskan. Selalu seperti itu.
Dan kebetulan kalau aku bikin film, tokoh bapaknya selalu tidak reliable, dari mulai Modus Anomali yang nggak reliable sama sekali. Ada yang ternyata jahat juga. Film Pintu Terlarang, bapaknya juga jahat gitu.
Film-film aku bisa dibilang film-film feminis. Karena kalau dilihat, misalnya Janji Joni, yang taking control adalah si Mariana Renata kan. “Nama kamu siapa sih?” (tanya Joni) “Oke kalau misalnya kamu bisa nganter film dengan tepat waktu, aku bisa kasih namaku.” (jawab Angelique). Maksudnya, kasih nama aja kok susah banget sih. So, she's very controlling, she's dominant.
Kalau di Kala, obviously, heroine-nya at the end ternyata yang membunuh semua adalah perempuan dengan pedang yang gede sekali. Pintu terlarang obviously dominan sekali ibu mertua dan istrinya. Modus Anomali, kind a... walaupun tidak digambarkan tokoh femininnya yang sangat dominan, tapi tokoh laki-lakinya semuanya ancur.
ADVERTISEMENT
Kalau A Copy of My Mind obviously heroine-nya si Tara Basro. Very strong, very motivated, yang doesn’t take a bullshit. Dia dicurangi, dia curangin balik, nyuri segala macem. Dan di Pengabdi Setan obviously karakter yang menjadi sumber ceritanya adalah Ibu karena ambisinya untuk mendapatkan apa yang ditawarkan dunia.
Bagaimana respons Mas Joko melihat film-film horor dulu yang banyak mengeksploitasi sensualitas perempuan?
Kita ngomong film secara umum berarti ya? Kalau menurut aku, itu sensibilitas tahun ‘70-’80. Mungkin kita ingetnya film-film lama. Kalau film-film baru tuh nggak begitu, ya. Kalaupun misalnya ada sensualitas dalam film horor, it's not just about perempuan, is also about male. Male nudity juga banyak, nggak melulu soal perempuan yang harus tampil seksi.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu mungkin film Indonesia ya, tapi kan kita nggak ngomong film Indonesia yang nggak layak disebut film juga. Cuman ria-ria yang harus kita abaikan dan kita lupakan pernah ada di film Indonesia.
Tapi kalau kita ngomong untuk sensibilitas film mutakhir termasuk film horor, nggak seperti itu lagi sih. Seperti yang kita tahu, hero dari film horor itu banyak perempuan. Halloween misalnya, survivor-nya adalah perempuan. Dia adalah orang yang mengalahkan Michael Mayers. Scream, hero-nya adalah perempuan. A Nightmare on Elm Streets, Freddy misalnya dikalahkan oleh perempuan. Dan obviously di A Nightmare on Elm Streets tokoh perempuannya sama sekali nggak harus seksi segala macem.
In facts pemainya adalah Heather Langenkamp, dia adalah seorang yang dari fisik biasa aja gitu. Dia nggak punya badan yang dianggap standar cantiknya perempuan, mukanya juga tidak dianggap standar perempuan yang cantik. Tapi dia di situ sebagai hero yang bisa mengalahkan si Freddy Kruger. Dan banyak lagi.
Ya mungkin di sini masih terbayang-bayang film semacam Pocong Mandi Goyang Pinggul dan kawan-kawannya.
ADVERTISEMENT
Agak susah kalau misalnya kita mau mengambil fim-film seperti itu sebagai sampel. Karena ada film sebagai film yang merupakan gabungan antara komoditas komersil dan arts, sama film yang memang komoditas komersil doang, tidak ada art-nya sama sekali.
Kalau kita ngomongin film-film seperti itu agak susah karena dibuat sama orang yang juga tidak tahu film dan tidak punya latar belakang apa-apa. Tujuan mereka, berpikir bahwa kalau membuat film horor, kalau misalnya kita nggak bisa bikin film horor yang bagus, ada tambahan perempuan seksi misalnya. Agak susah, karena nggak bisa dianggap film juga. It just special segment film exploitation.
Maksudnya, di Amerika juga ada banyak exploitation flick terutama dari tahun ‘60-an dan ‘70-an. Banyak. You see exploitation flick misalnya, itu perempuan yang dipenjara. Namanya WIP, women in prison subgenre. Tapi itu ya spesial pembahasan yang berbeda.
Oke, balik lagi ke film Pengabdi Setan. Pembuatan meme-meme yang ramai di media sosial itu sebagai bagian dari promo?
ADVERTISEMENT
Untuk Pengabdi Setan memang sangat signifikan ya impact dari promo lewat medsos. Aku nggak menamakan itu promo. Karena gini, aku sebagai film buff, movie fans, aku kalau misalnya suka sama suatu film, aku bukan cuman menikmati filmnya ketika di dalam bioskop. Tapi juga di luar bioskop. Aku ngumpulin merchandise, ngumpuling trivia-trivia terhadap film itu, aku mencari kesalahan-kesalahan take-nya apa segala macam. Buat aku itu adalah sesuatu yang menambah kenikmatan dari menonton film. Menikmati film bukan cuma di bioskop, tapi di luar bioskop juga.
Ketika aku mengajak temen-temen di media sosial untuk bikin meme segala macem, sebenarnya bukan cuman untuk promo. Tapi adalah cara aku untuk mengajak temen-temen, “Hai temen-temen, ini adalah film kita bersama. Thank you for your support, ini memang film dibuat buat kalian, mari kita rayakan bersama.”
ADVERTISEMENT
Kalau misalnya tujuan untuk promo, menurut aku it's not fair ya. Karena mereka ada effort-nya. Bikin meme itu kan capek ya, sampai ribuan lho memenya itu. Kita kalau nggak salah bikin lima apa enam hashtag dan masing-masing itu ada 300-400 meme.
Jadi itu salah satu cara mengajak penonton untuk merayakan film ini bersama. Karena film ini aku bikin buat mereka, let's celebrate this film together.