Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
Konten dari Pengguna
Dari Akar Rumput Hingga Pelosok: Ketika Pendidikan Butuh Pelajaran Nenengisme
17 Maret 2025 12:39 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat membaca tentang seorang ibu rumah tangga bernama Neneng Rosdiyana yang tanpa sengaja mengambil alih halaman Facebook Marxisme Indonesia dan menjadikannya platform untuk menyuarakan gerakan petani perempuan, saya terpaku. Tak lama kemudian, sebuah video viral menyita perhatian saya: seorang guru honorer perempuan dari pelosok Jangkat, Jambi, yang dengan lantang menyindir Presiden Prabowo Subianto tentang nasib para pengajar yang telah mengabdi belasan tahun di pedalaman.

Dua perempuan, dua realitas berbeda, namun satu benang merah yang sama: suara-suara dari pinggiran yang terlalu sering kita abaikan. Dari "Nenengisme" hingga kritik sang guru honorer, ada pelajaran mendalam tentang bagaimana seharusnya kita merancang masa depan pendidikan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Neneng tidak mengerti Marxisme—ia bahkan mengira itu nama sebuah band. Tapi tanpa disengaja, ia justru menjalankan esensi dari teori kritis sosial dengan memberdayakan petani perempuan di akar rumput. Sementara itu, sang guru honorer yang telah mengabdi 18 tahun di pelosok Jambi dengan berani mempertanyakan janji-janji politik: "Bukan basa-basi pak, bukan sekadar omong-omong. Kami datang ke pelosok untuk apa kesini? Untuk mendapatkan kesejahteraan."
Inilah ironi pendidikan kita hari ini: kita sibuk membangun Sekolah Rakyat yang mengilap, mengimplementasikan kurikulum internasional, dan merancang proyek prestisius, sementara suara-suara paling otentik dari lapangan—seperti Neneng dan sang guru honorer—tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari diskusi kebijakan pendidikan nasional.
Padahal, bukankah mereka yang setiap hari berhadapan langsung dengan realitas di lapangan yang seharusnya menjadi pusat dari setiap perumusan kebijakan? Guru yang berjalan kaki tiga jam untuk mencapai sekolah terpencil dengan gaji Rp300.000 per bulan tahu persis apa yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di pelosok. Petani perempuan seperti Neneng yang setiap hari berjuang melawan tengkulak dan lintah darat memahami dengan jernih bagaimana ketimpangan ekonomi mempengaruhi akses anak-anak terhadap pendidikan berkualitas.
ADVERTISEMENT
Jika kita serius ingin merancang masa depan pendidikan yang lebih adil dan bermakna, kita perlu mulai mendengarkan—benar-benar mendengarkan—suara-suara dari pinggiran ini.
Pertama, mari kita bicarakan soal guru honorer. Dengan pendekatan top-down yang selama ini kita terapkan, nasib mereka seolah hanya menjadi catatan kaki dalam grand narrative pembangunan pendidikan nasional. Padahal, merekalah ujung tombak pendidikan di daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau guru PNS. 18 tahun mengabdi tanpa kepastian status dan kesejahteraan yang layak—jika ini terjadi dalam konteks industri, kita akan menyebutnya sebagai systemic exploitation.
Program Makan Bergizi Gratis yang menjadi andalan pemerintah saat ini pun, seperti dikatakan sang guru, "belum banyak sampai ke daerah, termasuk ke daerah kami." Ini menunjukkan bahwa ada jurang lebar antara kebijakan yang dirumuskan di Jakarta dan implementasinya di lapangan. Kita membutuhkan lebih dari sekadar program-program yang fotogenik; kita butuh komitmen jangka panjang untuk mengubah kondisi struktural yang menyebabkan ketimpangan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Kedua, pelajaran dari Nenengisme. Tanpa pelatihan formal dalam teori sosial atau aktivisme, Neneng berhasil memberdayakan kelompok perempuan petani di sekitarnya dan menciptakan dampak nyata. Celotehannya yang kritis di media sosial—"Petani nanam, lintah darat senyum. Petani panen, tengkulak tepuk tangan. Pas petani ngeluh? Pemerintah bilang 'sabar ini ujian hidup'"—mengungkapkan kebenaran tajam tentang bagaimana sistem ekonomi kita beroperasi.
Pendidikan yang transformatif seharusnya seperti ini: membuka mata kita tentang ketidakadilan struktural dan menginspirasi tindakan kolektif untuk mengubahnya. Tapi berapa banyak kurikulum sekolah kita yang benar-benar mengajarkan hal ini? Berapa banyak guru yang diberi kebebasan untuk mendorong siswa berpikir kritis tentang sistem yang tidak adil dan membayangkan alternatif yang lebih baik?
Mungkin inilah yang kita butuhkan untuk masa depan pendidikan Indonesia: sebuah pendekatan yang menggabungkan kebijaksanaan akar rumput dengan dukungan struktural yang memadai. Kita perlu menciptakan ruang di mana suara-suara dari lapangan—guru honorer di pelosok, petani perempuan seperti Neneng, siswa dari keluarga miskin—dapat ikut membentuk arah kebijakan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Bayangkan jika kita mendirikan DPR (Dewan Pendidikan Rakyat) di setiap kabupaten, di mana perwakilan dari berbagai kelompok masyarakat—termasuk guru honorer, petani, buruh, dan tentu saja siswa sendiri—dapat berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan pendidikan lokal. Bayangkan jika kementerian pendidikan memiliki program "mendengarkan langsung dari lapangan" yang terstruktur, di mana pembuat kebijakan secara berkala menghabiskan waktu di sekolah-sekolah terpencil untuk benar-benar memahami tantangan di lapangan.
Bayangkan jika anggaran pendidikan kita dialokasikan berdasarkan prinsip keadilan, bukan sekadar pemerataan—memberikan lebih banyak sumber daya untuk daerah-daerah yang selama ini tertinggal dan memastikan guru-guru di pelosok mendapat insentif yang layak. Ini bukan soal belas kasihan; ini soal investasi strategis untuk masa depan bangsa.
Kritik tajam sang guru honorer kepada Presiden Prabowo perlu kita jadikan cermin: "Honorer di Provinsi Jambi ini adalah bagian dari rakyat Indonesia, rakyat Jambi yang harus diperbaiki kehidupan." Bukankah ini esensi dari demokrasi? Bahwa pemimpin dipilih untuk melayani seluruh rakyat, termasuk mereka yang jauh dari pusat kekuasaan?
ADVERTISEMENT
Dan dari Nenengisme, kita belajar bahwa perubahan sejati seringkali bermula dari inisiatif lokal yang sederhana—sekelompok perempuan yang bersama-sama membabat lahan, menanam sayur, dan saling mendukung. Pendidikan transformatif harus berakar pada realitas semacam ini, dan berfungsi sebagai katalysator untuk memberdayakan komunitas, bukan mengalienasi mereka.
Jika kita benar-benar ingin menciptakan sistem pendidikan yang adil dan bermakna, kita harus berhenti memperlakukan masyarakat di daerah terpencil sebagai "penerima pasif" kebijakan yang dirumuskan dari atas. Mereka adalah pemegang pengetahuan lokal yang berharga, agen perubahan yang potensial, dan pemimpin di komunitas mereka sendiri.
Neneng tidak perlu memahami teori Marxisme untuk menjalankan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat. Guru honorer dari Jangkat tidak perlu gelar dalam kebijakan publik untuk mengidentifikasi ketimpangan struktural dalam sistem pendidikan kita. Mereka hidup dalam realitas itu setiap hari. Dan kita akan menjadi lebih bijak jika mulai mendengarkan apa yang mereka katakan.
Pada akhirnya, masa depan pendidikan Indonesia tidak akan ditentukan oleh seberapa megah Sekolah Rakyat yang kita bangun atau seberapa canggih teknologi yang kita gunakan. Ia akan ditentukan oleh seberapa serius kita mendengarkan suara-suara dari pinggiran, dan seberapa berani kita merombak struktur yang melanggengkan ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Seperti kata Neneng dalam salah satu status Facebook-nya: "Karl Marx ingin menghapus kapitalisme, KWT Mentari ingin menghapus hama dan gulma." Dalam konteks pendidikan, mungkin tugasnya akan sama: menghapus hama ketidakadilan dan gulma birokrasi yang menghalangi tumbuhnya sistem pendidikan yang benar-benar melayani seluruh anak bangsa.
Salam Cerdas dan Humanis.