Konten dari Pengguna

Hardiknas 2025: Pandai Berdandan, Gagap Berbenah

FX Risang Baskara
Akademisi yang percaya teknologi harus inklusif. Mengajar di Universitas Sanata Dharma, meneliti tentang teknologi pendidikan. Menulis untuk berbagi, berkarya untuk negeri. Percaya bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
1 Mei 2025 12:38 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Surat edaran itu ditandatangani 24 April 2025. Instruksinya jelas dan rinci: Seluruh insan pendidikan diharapkan mengenakan pakaian adat daerah saat upacara bendera Hardiknas 2 Mei esok hari. Logo sudah dirilis, tema sudah ditetapkan: "Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua."
ADVERTISEMENT
Warna-warni kebhinekaan akan jelas menghiasi setiap halaman sekolah. Merah, biru, abu-abu, dan bintang emas dalam logo akan menjelma menjadi batik, ulos, kebaya, baju bodo, dan beragam busana tradisional dari Sabang hingga Merauke. Sangat indah dan menggugah rasa nasionalisme, tentu saja. Siapa yang akan bisa menolak keindahan visual ini?
Tapi di tengah seremonial berwarna-warni itu, izinkan saya bertanya: Apakah makna "partisipasi semesta" dan "pendidikan bermutu untuk semua" telah benar-benar kita renungkan? Atau sekadar jargon tahunan yang berganti bersama logo dan warna tema?
Seremoni Megah, Sekolah Lelah. Sumber: Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Partisipasi Semesta dalam Pakaian, Absen dalam Infrastruktur
Sementara kita sibuk memilih pakaian adat terbaik untuk upacara Hardiknas, ada fakta menohok yang hampir luput dari perhatian publik. Kepala Biro Perencanaan Kemendikdasmen Vivi Andriani mengungkapkan pada rapat dengar pendapat dengan Panja Pendidikan Komisi X DPR (4/3/2025): "Dari total satuan pendidikan di daerah 3T sebanyak 20 ribu, 10 ribunya masih dalam kondisi rusak."
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja. Setengah dari seluruh sekolah di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal kita sedang sekarat secara fisik. Rusak sedang hingga berat. Tanpa perpustakaan, kekurangan ruang kelas, tanpa listrik, tanpa internet. Jika diurai, ada 12.064 sekolah tanpa perpustakaan, 4.988 sekolah kekurangan ruang kelas, 5.783 sekolah tanpa listrik, dan 10.692 sekolah tanpa akses internet.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik semata. Ini adalah potret nyata masih timpangnya sistem pendidikan kita. Di satu sisi, kita berapi-api bicara "partisipasi semesta" dan "pendidikan bermutu untuk semua." Di sisi lain, kita membiarkan separuh anak bangsa di daerah 3T belajar di bawah atap bocor, duduk berdesakan, tanpa buku bacaan, tanpa daya listrik untuk menyalakan lampu, tanpa internet untuk mengakses dunia.
ADVERTISEMENT
Ada ironi halus dalam instruksi mengenakan pakaian adat pada peringatan Hardiknas 2025 ini. Di satu sisi, kita merayakan keberagaman budaya Indonesia melalui busana tradisional. Di sisi lain, sistem pendidikan kita masih sangat tersentralisasi dan seragam, bahkan dalam kerusakannya. "Kerusakan (yang) merata" dari Sabang sampai Merauke, tapi penyelesaiannya tidak kunjung datang.
Kemiripan Menyedihkan: Sekolah Rakyat dan Sekolah Roboh
Entah kebetulan atau hanya ironi takdir semata, hampir bersamaan dengan tersebarnya surat edaran Hardiknas, pemerintah dengan bangga meluncurkan Program Sekolah Rakyat (SR). Digagas oleh Presiden Prabowo Subianto dan dikelola oleh Kementerian Sosial, SR menjanjikan pendidikan gratis, fasilitas lengkap, sistem berasrama penuh, dan beasiswa untuk memutus rantai kemiskinan.
Sebuah gagasan yang mulia, tentu saja. Tapi secercah keraguan muncul: apakah kita butuh Sekolah Rakyat baru sementara 10 ribu sekolah yang sudah ada sedang sekarat? Bukankah lebih masuk akal memperbaiki yang rusak sebelum membangun yang baru?
ADVERTISEMENT
Bintang Emas di Logo, Langit Bolong di Kenyataan
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya belajar saat hujan turun? Bukan rasa nyaman yang dibayangkan kebanyakan orang. Bagi ribuan siswa di pelosok negeri, hujan berarti bencana kecil: tetesan air dari atap yang bocor, papan tulis yang basah, buku dan seragam yang lembab. Ketika petir menyambar, listrik padam. Pembelajaran terhenti.
Di pelosok Indonesia, realitas pendidikan jauh dari kilau bintang emas di logo Hardiknas. Tak ada gemerlap, yang ada hanya perjuangan sehari-hari. Guru-guru honorer dengan gaji di bawah UMR menempuh jarak puluhan kilometer untuk mengajar. Mereka bertahan bukan karena insentif yang memadai, tapi karena panggilan nurani yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Ratusan sekolah di pulau-pulau kecil, di lereng gunung, dan di tengah hutan berdiri tegak berkat tekad baja masyarakat setempat. Tanpa menunggu uluran tangan pemerintah, warga bergotong royong membangun ruang belajar seadanya. Mereka menyulap bambu menjadi dinding, daun rumbia menjadi atap. Tak ada laboratorium canggih, tak ada perpustakaan digital. Yang ada hanya tekad untuk memastikan anak-anak mereka mendapat pendidikan, bagaimanapun caranya.
ADVERTISEMENT
Cerita-cerita heroik semacam ini jarang muncul dalam narasi-narasi besar pendidikan nasional. Padahal dari sekolah-sekolah sederhana inilah lahir generasi penerus yang kini mengisi berbagai posisi penting di masyarakat. Bukti nyata bahwa keberhasilan pendidikan bukan semata soal gedung megah atau teknologi canggih, tapi soal semangat dan dedikasi.
Ironisnya, sekolah-sekolah pahlawan ini justru semakin terpinggirkan. BOS tak cukup untuk biaya operasional dasar. Dana perbaikan infrastruktur jauh dari memadai. Bahkan tunjangan daerah terpencil yang dulu menjadi penopang semangat guru kini banyak yang dicabut karena perubahan status administratif desa.
Bagaimana mungkin kita berbicara tentang "pendidikan bermutu untuk semua" ketika kondisi dasar untuk belajar dengan layak saja belum terpenuhi? Saat guru-guru masih berjuang untuk bertahan hidup, saat siswa masih harus berteman dengan tetesan air hujan dari atap yang bocor?
Sekolah Rakyat vs Sekolah Roboh. Sumber: Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Upacara vs. Substansi, Baju Adat vs. Atap Sekolah
ADVERTISEMENT
Pedoman upacara Hardiknas 2025 sangat detail mengatur susunan acara, dari pengibaran bendera hingga pembacaan doa. Namun ironis bahwa pedoman untuk transformasi substantif dalam sistem pendidikan tidak pernah sedetail itu.
Tidak ada "pedoman rinci" untuk memastikan setiap anak Indonesia mendapat guru berkualitas. Tidak ada "susunan acara baku" untuk mengentaskan buta aksara yang masih menghantui sebagian wilayah Indonesia. Tidak ada "ketetapan menteri" yang merinci langkah demi langkah bagaimana mempersempit kesenjangan kualitas antara sekolah di kota dan di desa.
Kita sangat pandai berseremoni, tapi masih gagap dalam melakukan perubahan substantif. Kita lihai menciptakan momen-momen simbolik, tapi masih tertatih-tatih mewujudkan hak atas pendidikan berkualitas bagi semua anak.
Bahkan program-program unggulan pun terkesan saling berkompetisi, alih-alih bersinergi. Kemendiktisaintek memperkenalkan 12 SMA/MA Unggul Garuda Transformasi dengan kurikulum International Baccalaureate. Kementerian Agama meluncurkan Kurikulum Cinta. Kementerian Sosial membangun Sekolah Rakyat. Kemendikdasmen mengusung konsep Deep Learning.
ADVERTISEMENT
Dalam hiruk-pikuk program-program baru ini, akankah pendidikan di pelosok negeri kembali tetap terabaikan? Akankah 10 ribu sekolah rusak itu tetap menunggu, sementara dana dan perhatian tercurah pada proyek-proyek prestisius baru?
Romo Mangun dan Pendidikan yang Memerdekakan
Di tengah kebingungan arah pendidikan kita, ada baiknya kita menengok kembali filsofi pendidikan YB Mangunwijaya atau yang akrab disapa Romo Mangun. Jauh sebelum istilah "partisipasi semesta" menjadi jargon Hardiknas, Romo Mangun telah mempraktikkannya melalui pendidikan pemerdekaan yang berakar pada realitas masyarakat pinggiran.
Ketika mendampingi masyarakat di bantaran Kali Code Yogyakarta, Romo Mangun tidak datang dengan gedung megah atau kurikulum canggih. Ia datang dengan kesediaan mendengar, memahami, dan mendampingi. Pendidikan menurut Romo Mangun bukanlah seremoni, melainkan praksis hidup sehari-hari. Bukan transfer pengetahuan, melainkan proses memanusiakan manusia.
ADVERTISEMENT
Konsep pendidikan yang dirintisnya di Sekolah Eksperimental Mangunan menunjukkan bahwa pendidikan berkualitas tidak harus mahal atau mewah. Yang dibutuhkan adalah kesadaran bahwa anak-anak belajar dari alam, dari kehidupan sehari-hari, dari interaksi sosial yang bermakna. Kelas bisa berlangsung di bawah pohon, di tepian sungai, atau di pasar tradisional. Yang penting adalah proses belajar yang menyenangkan dan memerdekakan.
"Pendidikan sejati adalah pendidikan yang memerdekakan," kata Romo Mangun. Bukan pendidikan yang membelenggu dengan seragam kaku, ritual kosong, atau standar yang seragam. Pendidikan yang memerdekakan adalah yang mengakui keunikan setiap anak, konteks sosial-budaya yang beragam, dan potensi lokal yang belum tergali.
Romo Mangun juga menekankan keberpihakan pada "wong cilik" dalam penyelenggaraan pendidikan. Baginya, pendidikan bukan hak istimewa kaum berada, melainkan hak setiap anak, termasuk mereka yang terpinggirkan. Karena itulah ia memilih bekerja dengan masyarakat bantaran sungai, dengan petani gunung, dengan nelayan di pesisir. Bukan untuk sekadar memberi bantuan, tapi untuk bersama-sama membangun kesadaran dan kapasitas.
ADVERTISEMENT
Jika kita serius dengan tema "Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua," mungkin model pendidikan ala Romo Mangun bisa menjadi inspirasi. Pendidikan yang sederhana namun bermakna. Pendidikan yang kontekstual dan berakar pada kebutuhan nyata masyarakat. Pendidikan yang tidak terobsesi dengan gedung megah atau teknologi canggih, melainkan dengan proses belajar yang memerdekakan.
Jalan Menuju Partisipasi Nyata, Bukan Sekadar Simbolik
Agar tema "Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua" tidak sekadar jargon, kita butuh lebih dari sekadar upacara dengan pakaian adat. Kita butuh redistribusi perhatian dan sumber daya.
Setiap rupiah yang akan dibelanjakan untuk 53 unit Sekolah Rakyat baru, bisa jadi lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk memperbaiki 10 ribu sekolah yang sudah ada tapi sedang sekarat. Setiap headline media tentang program pendidikan elit dan prestisius, seharusnya diimbangi dengan liputan mendalam tentang kondisi nyata pendidikan di pelosok.
ADVERTISEMENT
"Partisipasi semesta" seharusnya berarti seluruh elemen bangsa, dari pengambil kebijakan di Jakarta hingga guru honorer di pulau terpencil, bersama-sama membangun sistem pendidikan yang adil dan merata. Bukan sekadar berpartisipasi dalam seremonial dan foto bersama.
"Pendidikan bermutu untuk semua" seharusnya berarti standar minimal layanan pendidikan terpenuhi terlebih dahulu, sebelum kita bermimpi tentang standar internasional. Perpustakaan dulu, baru laboratorium canggih. Listrik 24 jam dulu, baru internet kecepatan tinggi. Ruang kelas yang tidak bocor dulu, baru smart classroom.
Seperti yang ditekankan Romo Mangun, pendidikan bukanlah soal gedung mewah atau kurikulum yang canggih, tapi soal kesempatan belajar yang memerdekakan. Mungkin kita perlu lebih rendah hati lagi: belajar dari sekolah-sekolah sederhana yang telah berhasil mendidik generasi tangguh di tengah keterbatasan, alih-alih terobsesi dengan model-model pendidikan impor yang belum tentu sesuai dengan konteks Indonesia.
Partisipasi Semesta: Refleksi Bukan Hanya Busana. Sumber: Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Merayakan Hardiknas dengan Kejujuran
ADVERTISEMENT
Peringatan Hardiknas dengan busana tradisional bisa menjadi momen yang bermakna jika kita mengisinya dengan refleksi jujur tentang kondisi pendidikan kita. Mari gunakan momen ini bukan hanya untuk foto-foto indah berbalut pakaian adat, tapi juga untuk dialog substantif tentang kesenjangan dan ketimpangan pendidikan yang nyata.
Seperti pakaian adat yang beragam dari Sabang sampai Merauke, permasalahan pendidikan kita juga beragam dan kompleks. Masing-masing daerah memiliki tantangan unik yang tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan seragam dari pusat.
Saat kita berbaris rapi di lapangan dalam balutan kebaya, beskap, ulos, atau baju bodo, semoga kita juga merefleksikan apa yang bisa kita lakukan, tentunya dalam kapasitas kita masing-masing, untuk menjembatani kesenjangan pendidikan di negara kita tercinta ini. Semoga tahun depan, Hardiknas tidak hanya sekedar berubah tema dan logo saja, tetapi juga mengubah pendekatan dan menghasilkan sesuatu yang jauh lebih bermakna.
ADVERTISEMENT
Pendidikan Indonesia jelas layak mendapatkan lebih dari sekadar upacara indah dengan pakaian warna-warni. Ia pantas mendapatkan transformasi substantif yang membawa keadilan, kualitas, dan relevansi bagi setiap anak di seluruh pelosok negeri, termasuk 10 ribu sekolah yang kini sedang menunggu perhatian kita.
Seperti yang sering ditekankan Romo Mangun: tugas pendidikan bukanlah menghasilkan manusia yang seragam, tapi manusia yang merdeka. Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari ketergantungan. Mungkin itulah esensi "partisipasi semesta" dan "pendidikan bermutu" yang sesungguhnya.
Salam Cerdas dan Humanis.