Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Maju Mundur Kebijakan Penjurusan: Siswa (yang) Kembali Menjadi Kelinci Percobaan
16 April 2025 16:26 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya menjadi murid SMA di Indonesia? Baru saja Anda membiasakan diri dengan satu sistem pembelajaran, tiba-tiba semuanya berubah. Baru saja Anda memahami cara memilih mata pelajaran berdasarkan minat, tiba-tiba Anda harus kembali ke kotak-kotak jurusan yang kaku. Begitulah nasib para siswa kita, tersandera dalam pusaran kebijakan pendidikan yang berputar-putar seperti gasing.
ADVERTISEMENT
Minggu lalu, Mendikdasmen Abdul Mu'ti mengumumkan dengan yakin bahwa penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa akan kembali diterapkan di SMA. "Jurusan akan kami hidupkan lagi," tegasnya dalam diskusi dengan media. Keputusan ini datang hanya beberapa tahun setelah Nadiem Makarim dengan sama yakinnya menghapus sistem penjurusan tersebut dan menggantikannya dengan sistem peminatan dalam Kurikulum Merdeka.

Dua Sisi Mata Uang yang Sama-sama Kusam
Mari jujur sejenak. Baik sistem penjurusan maupun sistem peminatan Kurikulum Merdeka sama-sama memiliki cacat bawaan. Ibarat memilih antara dua mobil bekas yang sama-sama pernah tabrakan, kita dipaksa memilih mana yang "lebih baik" tanpa opsi untuk mencari kendaraan yang benar-benar layak.
Sistem penjurusan lama memang menimbulkan stigma dan segregasi. "IPA untuk anak pintar, IPS untuk yang biasa-biasa, Bahasa untuk yang kurang mampu akademis." Begitulah konstruksi sosial yang terlanjur mengakar. Tak heran jika Nadiem Makarim merasa perlu mendobrak paradigma ini.
ADVERTISEMENT
Namun Kurikulum Merdeka dengan sistem peminatannya ternyata juga melahirkan masalah baru. Budy Sugandi dari Yayasan Cendekia mengidentifikasi berbagai kekurangan, mulai dari "siswa kebingungan memilih mata pelajaran sesuai bakat minat" hingga "minimnya asesmen bakat minat potensi dan karier yang komprehensif."
Alih-alih memberikan kebebasan yang memberdayakan, sistem peminatan justru menciptakan kebingungan dan ketidakpastian. Siswa diberi kebebasan memilih tanpa bekal pemahaman yang cukup tentang konsekuensi pilihannya. Seperti anak kecil yang dilepas di toko permen dengan uang terbatas, tanpa pemahaman tentang nilai gizi dari masing-masing permen.
"Terlalu dini di kelas XI awal, siswa harus menetapkan profesinya apa kelak," ungkap praktisi pendidikan Heriyanto dengan tepat. Bagaimana mungkin kita mengharapkan kepastian arah hidup dari remaja yang identitasnya masih dalam proses pembentukan?
ADVERTISEMENT
Maju-Mundur tanpa Peta Jalan
Yang lebih menyedihkan dari kontroversi ini bukanlah substansi kebijakan itu sendiri, melainkan pola pengambilan keputusan yang reaktif dan terkesan egois.
Ada rasa getir ketika menyadari bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki "Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025-2045" yang dirancang Bappenas. Dokumen yang seharusnya menjadi kompas kebijakan pendidikan selama dua dekade ke depan. Tapi apa yang terjadi? Dokumen itu seolah hanya pajangan di lemari kantor, dilupakan setiap kali ada pergantian menteri.
"Jadi kita bisa mengukur misalnya lima tahun Nadiem sudah sampai mana, maka Pak Abdul Mu'ti melanjutkan, kan begitu," kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji dengan nada frustrasi. "Tapi ini kan enggak, kesannya maju mundur."
Saya membayangkan pendidikan kita sebagai sebuah bangunan yang tidak pernah selesai. Begitu fondasinya terpasang, datang arsitek baru yang merasa perlu membongkar semua dan memulai dari awal lagi. Begitu dinding mulai berdiri, datang lagi pemimpin proyek baru dengan desain berbeda. Hasilnya? Sebuah bangunan aneh dengan fondasi yang ditambal-sulam, dinding yang tidak simetris, dan atap yang bocor di sana-sini.
ADVERTISEMENT
Kurikulum Merdeka: Kebebasan yang Tidak Siap Infrastruktur
Kritik terhadap Kurikulum Merdeka bukan tanpa dasar. Dengan slogan "merdeka belajar," kurikulum ini menganut filosofi progressivisme dan konstruktivisme yang memang ideal dalam teori pendidikan modern. Siswa sebagai pusat pembelajaran, guru sebagai fasilitator, dan kebebasan untuk mengembangkan minat.
Tapi seperti demokrasi yang datang ke negara tanpa tradisi demokratis, kebebasan tanpa infrastruktur pendukung justru berpotensi melahirkan kekacauan.
Sekolah-sekolah elite di kota besar mungkin mampu menyediakan guru berkualitas untuk berbagai kombinasi mata pelajaran. Tapi bagaimana dengan sekolah di daerah terpencil yang bahkan untuk mata pelajaran wajib saja masih kekurangan guru?
"Karena keterbatasan jumlah guru dan jadwal, dan ketersediaan sarpras penunjang mapel," jelas Budy Sugandi tentang kesulitan sekolah menyediakan sumber daya untuk semua kombinasi mata pelajaran.
ADVERTISEMENT
Saya teringat pepatah lama: "Jangan berikan orang lapar sebuah resep masakan, berikan mereka makanan." Kurikulum Merdeka seolah memberikan resep pendidikan ideal, tanpa mempertimbangkan bahwa banyak sekolah kita masih berjuang dengan kebutuhan dasar.
Penjurusan Kembali: Solusi atau Kemunduran?
Lantas, apakah keputusan kembali ke sistem penjurusan merupakan langkah yang tepat? Tergantung dari mana kita melihatnya.
Di satu sisi, penjurusan memberikan struktur dan kejelasan arah bagi siswa. "Dengan adanya penjurusan IPA, IPS dan Bahasa itu bagus agar siswa bisa mempelajari ilmu sesuai dengan minatnya dan menjadi ahli," kata Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi.
Penjurusan juga memberikan kedalaman pemahaman yang lebih baik dalam satu rumpun ilmu. Siswa tidak sekadar mencicipi banyak mata pelajaran secara dangkal, tapi mendalami beberapa mata pelajaran yang saling terkait.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, kembali ke penjurusan bisa dianggap sebagai kemunduran. Kita kembali ke sistem yang membatasi eksplorasi minat dan bakat siswa. Kita kembali ke kotak-kotak yang kaku dan berpotensi melahirkan stigma sosial.
Yang lebih memprihatinkan, kita kembali mengulangi siklus gonta-ganti kebijakan tanpa evaluasi menyeluruh. "Biasanya pergantian kurikulum itu setiap sepuluh tahun, ini belum sampai tiga tahun sudah ganti lagi," keluh Ketua Umum Federasi Serikat Guru Indonesia, Fahmi Hatib.
Korban Sesungguhnya: Siswa dan Guru
Di tengah pertarungan ego dan ideologi para elit pendidikan, siswa dan guru menjadi korban sebenarnya dari ketidakpastian kebijakan ini.
Coba bayangkan perasaan siswa kelas X yang baru masuk SMA tahun ini. Mereka memilih mata pelajaran berdasarkan sistem peminatan, menyusun rencana akademik jangka panjang, lalu tiba-tiba harus beralih ke sistem penjurusan saat naik ke kelas XI. Bagaimana dengan mata pelajaran yang sudah mereka pilih namun tidak masuk dalam jurusan yang harus mereka ambil?
ADVERTISEMENT
Atau bagaimana dengan guru-guru yang sudah bersusah payah mengikuti pelatihan Kurikulum Merdeka, mengubah cara mengajar, menyesuaikan metode penilaian, dan kini harus kembali ke sistem lama? Berapa banyak energi, waktu, dan sumber daya yang terbuang percuma?
"Kasihan anak-anak jadi kelinci percobaan, karena korbannya peserta didik, tapi yang lebih serius lagi korbannya ya masa depan kualitas pendidikan di Indonesia yang terus memburuk," kata Ubaid Matraji dengan tepat.
Jalan Tengah yang Terabaikan
Yang menyedihkan, debat kebijakan pendidikan kita seringkali terjebak dalam dikotomi palsu: penjurusan versus peminatan, tradisional versus progresif, disiplin versus kebebasan. Padahal, jalan tengah yang mengambil kelebihan dari kedua sistem mungkin justru yang kita butuhkan.
Bagaimana jika kita mempertahankan kerangka penjurusan untuk memberikan struktur dan kedalaman, tapi dengan fleksibilitas tertentu yang memungkinkan eksplorasi lintas jurusan? Bagaimana jika kita memberi siswa kebebasan memilih dalam batasan yang realistis sesuai kapasitas sekolah?
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pikiran-pikiran semacam ini terbenam dalam hiruk-pikuk kebijakan yang serba hitam-putih. Para pemangku kebijakan seperti lebih tertarik membuat gebrakan dramatis daripada perbaikan sistematis yang mungkin kurang seksi secara politis.
Menuju Pendidikan yang Bermartabat
Jika kita benar-benar ingin memajukan pendidikan Indonesia, kita perlu menghentikan siklus gonta-ganti kebijakan yang memusingkan ini. Kita perlu membangun sistem pendidikan yang benar-benar berpusat pada kebutuhan siswa dan realitas lapangan, bukan pada ego pejabat atau tren kebijakan global.
Pertama, kita butuh konsistensi. Mari beri waktu sebuah kurikulum untuk berakar dan berbuah sebelum mencabutnya dan menanam yang baru. Setidaknya biarkan satu angkatan lulus dengan kurikulum tersebut agar kita punya data konkret tentang keberhasilan atau kegagalannya.
Kedua, kita butuh kontekstualisasi. Kebijakan yang sama tidak bisa diterapkan secara seragam di seluruh Indonesia dengan kondisi yang sangat beragam. Mungkin sistem peminatan cocok untuk sekolah-sekolah dengan sumber daya melimpah, sementara penjurusan lebih realistis untuk sekolah dengan keterbatasan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kita butuh kebijakan yang memberdayakan guru di lapangan, bukan menambah beban administrasi mereka. Guru adalah ujung tombak perubahan. Tanpa dukungan pada mereka, kurikulum seindah apapun hanya akan menjadi dokumen mati.
Lebih dari itu, kita butuh kerendahan hati para pembuat kebijakan untuk mengakui bahwa perubahan dalam pendidikan membutuhkan waktu. Bahwa hasil dari investasi pendidikan tidak bisa dilihat dalam hitungan bulan atau tahun, tapi dalam dekade.
Siswa-siswa kita bukan kelinci percobaan di laboratorium kebijakan. Mereka adalah masa depan bangsa yang berhak mendapatkan pendidikan terbaik. Pendidikan yang membebaskan, bukan membingungkan. Pendidikan yang menginspirasi, bukan mengekang. Pendidikan yang konsisten, bukan terombang-ambing mengikuti ganti menteri.
Sudah saatnya kita memikirkan pendidikan Indonesia dengan lebih bermartabat, jauh dari ego sektoral dan arogansi kekuasaan. Karena pilihan kita hari ini akan menentukan Indonesia seperti apa yang akan kita serahkan pada generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Salam Cerdas dan Humanis.