news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Sekolah Rakyat: Harapan atau Hanya Sekadar Monumen Pendidikan?

FX Risang Baskara
Akademisi yang percaya teknologi harus inklusif. Mengajar di Universitas Sanata Dharma, meneliti tentang teknologi pendidikan. Menulis untuk berbagi, berkarya untuk negeri. Percaya bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
10 Maret 2025 16:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap kali saya menyaksikan pejabat meninjau bangunan baru, dengan senyum lebar dan pita merah siap digunting, hati kecil saya berbisik, "Semoga ini bukan hanya seremoni." Begitu pula ketika melihat foto-foto Menteri Sosial Saifullah Yusuf dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya berjalan menyusuri lorong Sekolah Rakyat di Bekasi yang sebentar lagi akan diresmikan. Kursi-kursi baru, papan tulis mengkilap, kamar asrama tertata rapi—sungguh pemandangan yang menyejukkan mata.
ADVERTISEMENT
Ada sesuatu yang menggetarkan tentang konsep sekolah yang baru ini. Harapan. Janji. Kemungkinan. Siapa yang tidak terharu membayangkan anak-anak dari keluarga miskin yang selama ini tersingkir dari pendidikan berkualitas, kini memiliki kesempatan untuk belajar di lingkungan yang layak?
Sekolah Rakyat: Simbol Harapan atau Kontradiksi? Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
zoom-in-whitePerbesar
Sekolah Rakyat: Simbol Harapan atau Kontradiksi? Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Terlalu naif rasanya untuk hanya terpesona pada kilau permukaan saja. Di balik riuh rendah berita tentang 40 Sekolah Rakyat yang akan dibuka tahun ajaran 2025/2026, pertanyaan-pertanyaan kritis mengetuk pintu kesadaran saya.
Bayangkan kalau Anda adalah kepala sekolah di sebuah desa terpencil. Selama bertahun-tahun, Anda mengajukan proposal perbaikan atap yang bocor, pengadaan buku baru, atau peningkatan gaji guru honorer. Setiap tahun, jawaban yang sama: "Maaf, anggaran terbatas." Lalu Anda membaca bahwa pemerintah memangkas Rp 22,3 triliun dari anggaran pendidikan, tapi di saat bersamaan mengalokasikan dana untuk membangun 40 sekolah asrama baru. Apa yang Anda rasakan?
ADVERTISEMENT
Inilah paradoks yang mengusik. Kita tahu dari data Kemendikdasmen bahwa lebih dari 50.000 sekolah di Indonesia memerlukan rehabilitasi mendesak. Ribuan guru honorer masih bergaji di bawah upah minimum. Akses internet untuk pembelajaran digital masih menjadi kemewahan di banyak daerah. Di tengah realitas ini, keputusan untuk membangun 40 Sekolah Rakyat dengan konsep boarding school—yang notabene membutuhkan investasi besar—menimbulkan tanda tanya besar.
Jangan salah paham, saya sangat mendukung upaya memberikan pendidikan berkualitas bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Masalahnya adalah pada pendekatan. Apakah membangun sekolah baru untuk segelintir anak terpilih merupakan cara paling efektif menggunakan sumber daya yang terbatas? Atau justru memperkuat sistem yang sudah ada akan memberikan dampak lebih luas?
Pertanyaan tentang skala proyek ini juga tak bisa dihindari. 40 Sekolah Rakyat, sekalipun masing-masing menampung 500 siswa, hanya akan mengakomodasi sekitar 20.000 anak. Jumlah ini seperti setetes air di lautan, mengingat ada jutaan anak dari keluarga miskin di Indonesia. Bagaimana dengan mereka yang tidak terjaring seleksi? Akankah mereka tetap terpaksa belajar di sekolah dengan fasilitas minim, atau lebih buruk lagi, putus sekolah?
ADVERTISEMENT
Keraguan saya semakin dalam ketika mengingat sejarah proyek-proyek pendidikan kita. Berapa banyak inisiatif yang dimulai dengan gegap gempita besar namun kemudian menghilang dalam senyap? Ingat Sekolah Bertaraf Internasional? Atau Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional? Proyek-proyek ini banyak yang berakhir tanpa evaluasi memadai atau keberlanjutan jelas. Akankah Sekolah Rakyat bernasib sama?
Investasi Pendidikan: Harapan atau Ketimpangan? Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Akan tetapi, di tengah segala keraguan, saya masih melihat secercah harapan. Jika—dan ini adalah "jika" yang besar—Sekolah Rakyat dirancang dengan cermat sebagai bagian dari strategi peningkatan pendidikan yang komprehensif, inisiatif ini bisa menjadi game-changer. Jika—sekali lagi, "jika" yang besar—ada transparansi dalam pengelolaan, keterlibatan komunitas dan stakeholders pendidikan lainnya dalam pengambilan keputusan, serta komitmen pendanaan jangka panjang, Sekolah Rakyat bisa menjadi model yang menginspirasi reformasi pendidikan secara luas.
ADVERTISEMENT
Saya teringat perkataan seorang kolega, Muhammad Nur Rizal dari UGM, bahwa pendidikan kita masih terjebak dalam paradigma "hardware"—gedung, fasilitas, peralatan—dan kurang memperhatikan "software"—kurikulum yang relevan, metode mengajar yang efektif, guru yang termotivasi. Perkataan ini memang pedas, tapi sarat kebenaran.
Ki Hajar Dewantara, jauh sebelum era digital, sudah mengingatkan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Dalam perspektif ini, gedung mewah hanyalah wadah. Yang lebih penting adalah isinya—interaksi manusiawi antara guru dan murid, kurikulum yang membangkitkan keingintahuan, lingkungan yang mendorong eksplorasi.
Saya membayangkan jika 40 Sekolah Rakyat ini benar-benar menjadi laboratorium inovasi pendidikan. Jika di dalamnya, guru-guru terbaik diberikan kebebasan untuk mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan murid. Jika kurikulumnya dirancang tidak hanya untuk mengejar nilai ujian, tapi juga untuk membangun karakter, kreativitas, dan keterampilan hidup. Jika lulusannya tidak hanya mendapatkan ijazah, tapi juga kepercayaan diri dan kemampuan untuk berkontribusi pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jika semua "jika" ini terpenuhi, maka Sekolah Rakyat layak didukung—tidak sebagai proyek terpisah yang eksklusif, tapi sebagai katalis perubahan yang menginspirasi seluruh sistem pendidikan kita.
Anies Baswedan dalam ceramah Ramadan di UGM mengingatkan kita bahwa "pendidikan itu bukan sekadar bangunan kampus yang megah dan banyak fasilitas, tapi juga lingkungan sekitar kampusnya yang akan mendidik para mahasiswa untuk belajar hidup sesungguhnya." Pesan ini perlu kita renungkan dalam-dalam.
Sebagai pendidik yang masih percaya pada kekuatan transformatif pendidikan, saya berharap Sekolah Rakyat tidak hanya menjadi monumen prestise, tetapi sungguh-sungguh menjadi ruang untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu menemukan jalan menuju masa depan yang lebih baik. Lebih dari itu, saya berharap inisiatif ini menjadi awal dari reformasi pendidikan yang lebih luas—yang menjangkau tidak hanya 20.000 anak terpilih, tetapi jutaan anak Indonesia yang masih menunggu kesempatan untuk meraih mimpi mereka.
ADVERTISEMENT
Bukankah itu esensi pendidikan sesungguhnya? Bukan seberapa megah gedungnya, tetapi seberapa dalam pembelajaran yang terjadi di dalamnya. Bukan seberapa terpilih muridnya, tetapi seberapa terbuka aksesnya bagi semua anak. Bukan seberapa besar anggarannya, tetapi seberapa bijak penggunaannya.
Mari kita kawal Sekolah Rakyat ini dengan harapan tinggi, mata kritis, dan hati yang peduli pada semua anak Indonesia—baik yang terpilih masuk Sekolah Rakyat maupun yang tidak.
Salam Cerdas dan Humanis.