news-card-video
23 Ramadhan 1446 HMinggu, 23 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

UU TNI dan Dilema Pendidikan: Ketika Ruang Demokrasi Akademik Terancam

FX Risang Baskara
Akademisi yang percaya teknologi harus inklusif. Mengajar di Universitas Sanata Dharma, meneliti tentang teknologi pendidikan. Menulis untuk berbagi, berkarya untuk negeri. Percaya bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
21 Maret 2025 12:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengesahan revisi UU TNI pada 20 Maret lalu menandai titik kritis dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Ketika DPR dengan suara bulat menyetujui undang-undang yang memungkinkan prajurit aktif menduduki 14 posisi strategis di lembaga sipil, termasuk Kejaksaan dan Mahkamah Agung, kita sedang menyaksikan erosi sistematis terhadap prinsip supremasi sipil yang selama ini menjadi pilar utama demokrasi pasca-Reformasi.
Bayangan Militer di Gerbang Kampus. Sumber: Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
zoom-in-whitePerbesar
Bayangan Militer di Gerbang Kampus. Sumber: Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Keprihatinan ini bukan sekadar kekhawatiran abstrak tentang pembagian kekuasaan. Ini tentang pergeseran fundamental dalam kultur dan nilai yang akan membentuk masa depan bangsa kita. Ketika kultur militer yang hierarkis dan berorientasi pada perintah mulai merembes ke lembaga-lembaga sipil, bagaimana mungkin kita mempertahankan etos demokratis yang mengedepankan dialog, deliberasi, dan perbedaan pendapat? Ketika loyalitas pada institusi dan atasan menjadi nilai utama, bagaimana mungkin kita memelihara kebebasan berpikir dan bersuara?
ADVERTISEMENT
Implikasi dari UU TNI ini terhadap dunia pendidikan sangatlah mendalam. Sejak Reformasi, kampus-kampus di Indonesia telah menjadi ruang publik terpenting bagi pertumbuhan pemikiran kritis dan dialog demokratis. Diskusi-diskusi terbuka tentang pelanggaran HAM masa lalu, kritik terhadap kebijakan pemerintah, eksplorasi gagasan-gagasan alternatif untuk masa depan Indonesia—semua ini hanya mungkin terjadi dalam lingkungan yang menghormati kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat.
Namun, rembesan kultur militer ke ranah sipil berpotensi mengubah ini semua. Pengalaman dari negara-negara dengan pengaruh militer yang kuat dalam struktur kekuasaan menunjukkan pola yang sama: pembatasan terhadap materi pembelajaran, pengeditan buku teks untuk menghapus sejarah kontroversial, pengawasan terhadap aktivitas mahasiswa dan dosen, dan dalam kasus ekstrem, penangkapan terhadap akademisi yang dianggap terlalu kritis.
ADVERTISEMENT
Perubahan ini mungkin tidak akan terjadi dalam sekejap. Ia akan merayap perlahan-lahan, hampir tidak terasa—sebuah aturan kampus baru di sini, sebuah kebijakan pembatasan kegiatan mahasiswa di sana, seorang dosen yang tiba-tiba ditegur atau dipindahkan karena pernyataannya yang dianggap "tidak tepat". Ketika kita menyadarinya, kebebasan akademik yang selama ini kita nikmati sudah terkikis habis.
Kesadaran tentang bahaya ini telah mendorong gelombang protes di berbagai kampus di seluruh Indonesia. Para mahasiswa dan dosen yang turun ke jalan bukan hanya memperjuangkan prinsip abstrak supremasi sipil, tapi juga melindungi ruang-ruang demokratis konkret yang telah mereka bangun dengan susah payah—ruang kelas di mana mereka bisa berdebat secara terbuka, seminar di mana mereka bisa mengundang pembicara kontroversial, jurnal di mana mereka bisa mempublikasikan penelitian kritis.
ADVERTISEMENT
Dosen UGM, Joash Tapiheru, mengungkapkan kekhawatiran tepat ketika ia mengatakan bahwa UU TNI yang baru ini akan mempengaruhi kebebasan berekspresi mahasiswa di kampus. Kita telah melihat bagaimana pengawasan dan pembatasan terhadap kebebasan akademik dapat menghambat perkembangan intelektual dan keilmuan suatu bangsa. Negara-negara dengan sejarah panjang intervensi militer dalam pendidikan seringkali tertinggal dalam inovasi dan pemikiran orisinal—dua hal yang sangat kita butuhkan di era digital dan ketidakpastian global saat ini.
Lebih jauh lagi, militerisasi pendidikan berpotensi memperdalam kesenjangan yang sudah ada. Di tengah pemangkasan anggaran pendidikan sebesar Rp 22,3 triliun dan proyek-proyek prestisius yang hanya menguntungkan segelintir sekolah elite (seperti program AI dan coding yang digaungkan belakangan ini), intervensi militer dalam pendidikan akan semakin mempersempit akses terhadap pendidikan kritis dan berkualitas.
ADVERTISEMENT
Kita perlu memahami bahwa pendidikan bukan sekadar tentang transfer pengetahuan atau pengembangan keterampilan teknis. Pendidikan sejati adalah tentang pembentukan warga negara yang utuh—individu yang mampu berpikir mandiri, menganalisis informasi secara kritis, dan berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi. Ketika kebebasan berpikir dan bersuara dibatasi, kita tidak hanya kehilangan ruang akademik, tapi juga kehilangan fondasi dari masyarakat demokratis itu sendiri.
Namun di tengah keprihatinan ini, ada juga alasan untuk tetap optimis. Pertama, kesadaran tentang pentingnya demokrasi dan kebebasan akademik telah tertanam begitu dalam di kalangan generasi muda Indonesia. Mereka yang bahkan belum lahir di era Orde Baru memiliki pemahaman intuitif tentang bahaya militerisasi ranah sipil. Ribuan mahasiswa yang turun ke jalan di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, dan kota-kota lain membuktikan bahwa nilai-nilai demokratis telah menjadi bagian dari identitas mereka—sesuatu yang tidak akan mudah dihapus oleh perubahan struktural apa pun.
Mahasiswa Melawan: Bela Kebebasan Akademik. Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Kedua, komunitas akademik Indonesia telah membangun jaringan solidaritas yang kuat, baik di tingkat nasional maupun internasional. Aliansi antar kampus, organisasi masyarakat sipil, dan dukungan dari komunitas akademik global akan menjadi benteng penting dalam mempertahankan kebebasan akademik. Ketika seorang dosen atau mahasiswa dikriminalisasi karena pandangan kritisnya, komunitas ini akan bereaksi dan mengorganisir perlawanan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, perkembangan teknologi dan media sosial memungkinkan sirkulasi informasi dan gagasan alternatif yang sulit dibendung. Bahkan di negara-negara dengan kontrol ketat terhadap kebebasan akademik formal, diskusi-diskusi kritis tetap berkembang melalui saluran-saluran informal. Platform digital, forum diskusi online, dan jaringan komunikasi alternatif akan terus menjadi ruang perlawanan terhadap pembatasan kebebasan berpikir.
Tantangan kita sekarang adalah mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan ini ke dalam strategi perlawanan yang efektif dan berkelanjutan. Pertama, kita perlu mendokumentasikan dan melaporkan setiap bentuk pembatasan kebebasan akademik, sekecil apa pun. Pencatatan sistematis ini akan memberikan bukti konkret tentang dampak UU TNI terhadap dunia pendidikan.
Kedua, kita perlu membangun koalisi yang lebih luas, tidak hanya dengan sesama akademisi dan mahasiswa, tapi juga dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil lainnya—jurnalis, seniman, aktivis HAM, dan kelompok marginal yang akan terdampak oleh militerisasi ruang sipil. Koalisi yang lebih beragam akan memiliki legitimasi dan kekuatan yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kita perlu terus mengembangkan pedagogi kritis yang membekali mahasiswa dengan keterampilan berpikir independen, menganalisis informasi, dan mempertanyakan otoritas. Bahkan dalam lingkungan yang represif, kita bisa memelihara pemikiran kritis melalui metode-metode pembelajaran yang mendorong refleksi dan dialog.
Perjalanan demokrasi selalu penuh dengan pasang surut. Ada masa-masa kemajuan pesat, dan ada masa-masa kemunduran yang mengkhawatikan. Namun, yang terpenting adalah kita tidak pernah menyerah dalam memperjuangkan nilai-nilai yang kita yakini—kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan martabat manusia.
Timbangan Demokrasi vs Kontrol Militer. Sumber: ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Pengesahan UU TNI mungkin menandai dimulainya era baru yang lebih menantang bagi demokrasi dan pendidikan kritis di Indonesia. Tapi selama masih ada akademisi yang berani mengajarkan pemikiran kritis, mahasiswa yang berani mempertanyakan status quo, dan warga negara yang berani turun ke jalan untuk membela kebenaran—selama itu pula, mimpi tentang Indonesia yang demokratis dan berkeadilan tidak akan pernah mati.
ADVERTISEMENT
Salam Cerdas dan Humanis.