Di Balik Asyiknya Jadi Wartawan kumparan yang Menang Lomba Tiap Tahun

Rizki Baiquni Pratama
Data Journalist
Konten dari Pengguna
27 Juni 2022 18:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Saya menang lomba Dok. Jakpro
zoom-in-whitePerbesar
Saya menang lomba Dok. Jakpro
ADVERTISEMENT
Hal paling menyebalkan dalam menulis adalah memulai kalimat pertama dan kedua. Tapi jika dua kalimat sudah disusun, biasanya akan lebih mudah melanjutkannya. Dan percayalah, ini juga terjadi saat saya menulis user story yang tengah Anda baca saat ini.
ADVERTISEMENT
Jadi, saya mau menulis tentang betapa asyiknya menjadi wartawan. Khususnya menjadi jurnalis data kumparan yang menang empat lomba dalam empat tahun berturut-turut. Sejak tahun 2019, saya memang rutin men-submit beberapa tulisan untuk lomba.
Persoalannya, orang lain kerap kali hanya tahu sisi keberhasilannya. Lalu menjadi tidak percaya diri ketika ingin memulai. Entah itu takut gagal atau memang malas untuk memulai dua kalimat pertama. Padahal, kegagalan itu hal yang biasa. Asal Anda tahu, jumlah kegagalan saya bahkan dua kali lipat lebih banyak dari yang berhasil. Cuma tidak terekspos saja. Jadi, ya, saya telan mentah-mentah sendiri.
Nah, bagi saya inilah nilai lebih menjadi seorang wartawan. Selain menjalani rutinitas, ada banyak kesempatan di luar sana yang layak dicoba. Seperti halnya ada deretan lomba jurnalistik yang tiap hari malang melintang. Asyiknya, kumparan sebagai media memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengeksplorasi diri.
ADVERTISEMENT
Kesempatan untuk eksplorasi diri itulah yang juga membawa saya ke titik ini. Sebuah titik yang benar-benar baru, yaitu jurnalisme data. Bidang inilah yang saya tekuni di kumparan hampir lima tahun terakhir. Melalui jurnalisme data, pembaca akan dapat memahami sebuah isu secara komprehensif melalui visualisasi data.
Momen menyebalkan dalam menulis adalah saat memulai kalimat pertama dan kedua. Dok. Pribadi
Nah, pendekatan inilah yang saya terapkan saat mengikuti lomba jurnalistik. Pada lomba Sustainable World Journalist Competition Formula E, misalnya, saya menulis soal ‘Gelaran Formula E Jakarta dan Peningkatan Potensi Mobil Listrik di RI’.
Berita tersebut memotret potensi dan tantangan mobil listrik di Indonesia secara realistis melalui visualisasi (chart, infografik, peta, dll) yang memanjakan mata. Tujuannya agar pembaca dapat memahami pasar mobil listrik secara komprehensif.
ADVERTISEMENT
Rasa bangga itu pun muncul pada saat saya naik ke panggung utama Formula E pada Sabtu 4 Juni lalu. Sebelum menerima plakat dan hadiah, nama saya dan nama media kumparan disebut di antara ribuan penonton ajang balapan tersebut. Oya, ini adalah panggung yang sama tempat para juara pebalap Formula E berdiri.
Rasa bangga yang sama terjadi ketika saya menjadi pemenang Data Journalism Hackathon. Ini adalah ajang kompetisi jurnalisme data nasional. Pesertanya adalah jurnalis, desainer grafis, dan programer dari berbagai media.
Momen saat liputan saya dan desainer kece kumparan, Nadia Permatasari, diumumkan mendapat pendanaan dari IDJN. Dok. Pribadi
Kala itu, saya menulis ‘Hutan Kota, Senjata Jakarta Hadapi Efek Gas Rumah Kaca’. Tulisan tersebut berisi hitung-hitungan mengenai serapan jumlah karbon di 32 hutan kota kota melalui pemodelan matematis. Lengkap dengan kalkulator karbon yang bisa diakses dengan mudah oleh pembaca. Data-data itu dapat menjadi gambaran bagi warga Jakarta untuk bisa merawat lingkungan lebih baik lagi.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, rutin ikut lomba jurnalistik adalah cara untuk menguji kapasitas diri. Kalau tak pernah dicoba, saya tak akan pernah tau limitnya seperti apa. Ini persis seperti ikut Ujian Kompetensi Wartawan (UWK) dari Dewan Pers. Barangkali saya atau Anda merasa bahwa sudah menjadi jurnalis yang kaffah. Tapi, perasaan adalah perasaan. Tetap perlu alat ukur agar publik bisa semakin percaya bahwa kita adalah wartawan yang berkualitas.
Pada tahun 2018 lalu, saya sudah mengantongi sertifikasi wartawan muda. Pada hari Minggu 27 Juni 2022 kemarin, level saya naik satu tingkat menjadi wartawan madya. Ini adalah sebuah bukti bahwa pekerjaan wartawan bukanlah pekerjaan sepele. Ada tanggung jawab besar di pundak para pewarta atas validitas sebuah berita yang dipublikasikan.
Saya, Nicha, Fadjar, dan Mas Aldo lulus uji kompetensi wartawan madya. Dok. Fadjar Hadi
Lucunya, profesi wartawan sebetulnya tak pernah masuk dalam daftar cita-cita saya. Kalau ditarik ke belakang, Budiarto Danujaya mungkin adalah orang paling bertanggung jawab dalam profesi saya saat ini. Dosen filsafat politik UI sekaligus eks wartawan senior harian kompas itulah yang menghasut saya, mahasiswanya, jadi seperti dirinya.
ADVERTISEMENT
“Kamu cocoknya jadi wartawan. Biar otak kritismu terus berpikir,” kata Pak Budi di kediamannya di BSD, 2015 lalu.
Kala itu, Pak Budi tampak santai dengan celana pendeknya. Kami larut dalam diskusi di meja makan rumahnya yang besar dan mewah. Percakapan kami merentang dari teori politik kiri kontemporer hingga kisahnya menjadi wartawan berprestasi.
Jadi, dahulu tulisan Pak Budi sering nongol di halaman depan koran. Belum lagi sederet penghargaan terhadap karya tulis, puisi, kritik sastra, dan cerpennya yang berbobot. Sangat inspiratif.
Oya, saya jauh-jauh datang ke rumah dosen berusia 59 tahun itu untuk meminta tanda tangan skripsi. Beliau memang merupakan pengujinya. Dan kalau tidak salah, saya tiba sekitar pukul 1 siang dalam keadaan lepek dan bau besi. Maklum, Bus Pusaka jurusan Parung-Serpong yang saya tumpangi memang jauh dari kata ideal.
Buku Pak Budi tentang filsafat politik kontemporer. Dok.Pribadi
Kembali ke petuah Pak Budi, waktu itu saya sama sekali tidak mengiyakan sarannya untuk menjadi wartawan. Sebab, orientasi saya usai lulus, ya, mau melamar jadi Management Trainee (MT). Bayangan saya adalah: saya bisa jadi manager dan punya banyak anak buah. Itu rencana yang saya utarakan ke Pak Budi.
ADVERTISEMENT
Tapi mau bagaimana lagi, belasan lamaran MT itu ternyata gagal semua. Paling mentok cuma sampai tes wartegg alias tes psikologi. Sisanya, ya, di-ghosting. Tanda bahwa saya tak cocok di bidang tersebut.
Pada akhirnya, saya banting setir ke dunia startup di Kebayoran Lama dan bekerja selama 2 tahun di sana, sebelum akhirnya benar-benar menjadi wartawan di kumparan sejak November 2017 lalu.
Jadi, andai saya benar-benar menjadi MT, pasti tak pernah ada story ini. Tak pernah ada dua kalimat pertama. Juga tak ada nama Baiquni dalam deretan pemenang lomba jurnalistik dalam empat tahun terakhir. Terima kasih untuk petuahnya, Pak Budi. Anda adalah filsuf dan wartawan yang menginspirasi saya untuk terus berproses.
ADVERTISEMENT