Konten dari Pengguna

Lari Liar

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
21 September 2020 22:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mesin meraung tatkala kaki kanan saya menahan gas sampai 3.500 rpm. Kaki kiri sedikit membuka kopling tapi mobil di posisi gigi satu itu diam ditahan rem tangan. Ketika lampu hijau menyala, saya injak gas sampai mentok sembari melepas kopling dan rem tangan. Toyota Starlet edisi 1996 itu melesat dari garis start.
ADVERTISEMENT
Itu medio 2001-2006 di Jalan Supratman, Bandung, setiap Minggu dini hari. Lampu hijau yang saya maksud pun cuma orang pemberi aba-aba "satu dua tiga" yang dibayar sebatang rokok Djarum Coklat. Itulah hiburan paling yahud untuk saya at that time: balap liar.
Belakangan ini, atmosfer yang sama terlihat di media sosial. Anak-anak muda berdiri berdempetan di kiri-kanan jalan, mungkin sembari taruhan sehingga harap-harap cemas menunggu pebalap melintas. Sama seperti kami di Jalan Supratman, mereka pun menutup jalan (dan besar kemungkinan mengganggu pengguna jalan yang lain).
Nah, saya sungguh terkagum-kagum saat melihat yang beradu kencang adalah bukan mobil melainkan manusia. Balap liar versi mereka adalah sebuah aktivitas lari, wow!
Balapan—apapun yang diperbalapkan—mesti fair. Toyota Starlet aslinya bermesin 1.300 cc maka idealnya beradu cepat dengan volume silindernya segitu juga. Yang paling semarak adalah kelas sedan 1.500-1.600 cc, mobilnya bisa dari Mitsubishi Lancer, Toyota Corolla, Honda Civic, hingga Suzuki Baleno. Dari yang mesinnya culun sampai buas.
ADVERTISEMENT
Pebalap lari liar juga punya spesifikasi—sering disingkat "spek". Tapi namanya anak muda era now, ada-ada saja tingkah lakunya. Ini "spek diri sendiri" yang mereka tuliskan:
Spek - Dengkul: Setengah kopong biar enteng - Betis: Milo - Usus: Full boba - Pengapian: Super (maksudnya paru-paru dia isinya asap rokok Djarum Super)
Tak pernah tercantum merek sepatu khusus lari berharga jutaan rupiah dalam setiap "spek" mereka. Ini karena mereka copot sepatu dan baju ketika bertanding. Sungguh murah, bukan? Cuma pakai celana pendek atau kolor, lalu sprint. Kelas perempuannya juga ada (tapi tidak telanjang ya). Ini sungguh fenomena langka.
"Padahal kami yang profesional pun mengakui sulit mengkampanyekan lari," kata Odekta Elvina Naibaho sang atlet lari. Odekta—yang pada 2019 dapat medali perunggu SEA Games—benar-benar saya telepon pada Senin, 21 September 2020, khusus untuk membicarakan lari liar.
ADVERTISEMENT
Kita sama-sama tahu ini sedang pandemi COVID-19. Terlepas dari keberengsekan virus corona, karena ini fenomena langka, jangan sampai momentumnya lepas. "Pemerintah setempat bisa memfasilitasi mereka. Jangan-jangan ditemukan bakat-bakat baru," kata Odekta.
Balap lari liar tidak bisa disamakan dengan balap mobil atau motor, karena atlet lari yang dahsyat semacam Lalu M. Zohri pun suka balap lari "liar" di kampungnya di Nusa Tenggara Barat sana. Yang bilang ke saya adalah pelatihnya langsung, Eni Nuraini. "Kalau di NTB sudah biasa, Zohri juga suka. Biasanya mereka balap lari di bulan puasa usai tarawih," kata Eni waktu saya telepon, Senin, 21 September 2020.
Wahai para pelari liar, ada pesan dari Eni untuk kalian: "Bila kamu merasa bisa berlari, datangi perkumpulan lari di daerahmu. Di sana kamu bisa mengasah lagi kemampuanmu, belajar teknik, belajar diet. Apakah mahal? Tidak juga, ada juga yang malah sering memberikan uang saku."
Lari liar di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 12 September 2020. Kredit foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/hp.