Padahal Sepekan Sekali (Doang), tapi (Menulis Itu) Berat Sekali

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
9 Desember 2019 11:17 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
deadline
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Awalnya hanya kelakar di kedai kopi.
"Ini adalah gentlemen's agreement. Kita menulis sepekan sekali, tayang setiap Senin."
ADVERTISEMENT
Peristiwanya terjadi pada akhir Oktober lalu, dan "kita" adalah saya dan Pak Dalipin.
Saya amat bersemangat kala itu. Penayangan tulisan sepekan sekali benar-benar terjadi, tak ada ingkar janji usai "jabat tangan" kami.
Di kumparan, itu semua disebut User Story. Biasanya pakai tanda pagar jadi #userstory. Semacam tulisan bebas (kendati tak ada yang benar-benar "bebas" di dunia ini), gayanya tergantung penulisnya.
ADVERTISEMENT
Tulisan-tulisan semacam itu memang berbeda dengan berita kebanyakan. Toh, ini supaya konten di kumparan banyak "sentuhan personal"-nya.
Saking semangat, saya ajak juga teman-teman di kumparan. Sebutlah Katondio Wedya hingga Tiara Hasna. Akbar Ramadhan hingga M. Darisman.
Dan mereka masih menulis saja hingga sekarang.
***
Baru juga jalan sebulan. Saya sudah merasakan kutukan. Bukan perkara apa, cuman lama-lama tidak tahu juga mau menulis tentang apa.
Waktu masih jadi wartawan yang setiap hari "ke lapangan", saya melihat banyak peristiwa, mendengar banyak hal, bertemu banyak orang. Buanyak buanget yang bisa ditulis.
Sekarang sudah enggak ke lapangan. Setiap hari di kantor. Orang, ketemu, tapi ketemunya dengan si itu-itu saja.
Sudah buka-buka file foto lama, biar seperti tulisan Tiara yang ini, tapi enggak nemu inspirasi.
ADVERTISEMENT
Ini seperti yang Nicholas Sparks tulis:
Lazimnya, sumber inspirasi datangnya dari membaca buku. Tapi, sial. Sepekan ini saya tidak baca buku. Atau terlalu sibuk untuk baca buku.
Padahal, kata Pak Dalipin, membaca (yang tujuannya untuk menulis) itu ya gampang saja, sama gampangnya dengan makan-minum: Tinggal dilakukan.
Katakanlah durasi makan kita 20 menit, ya tinggal disamakan saja: Baca juga 20 menit. Beres.
Saya ambil novel Nicholas Sparks yang judulnya The Rescue. Tapi telat. Ini sudah hari Senin, dini hari pula.
Yang bisa saya ambil dari baca buku bang Nicholas hanyalah pelajaran deskripsi. Tulisannya amat detail. Ini mungkin yang disebut "menulis dengan panca indera". Hasilnya, sebuah adegan dengan seru sekali seakan-akan kita ada di situ.
ADVERTISEMENT
Padahal baru 6 halaman pertama yang saya baca. Itu pun bab Prolog. Si keenam halaman ini, jika saya yang nulis, hanya jadi satu kalimat ini: "Denise Holton, ibu satu anak, mengisi bensin."
Untungnya, menulis seperti ini, di kumparan ini, enggak terkekang jumlah kata—saya akhiri di sini pun bisa.
Dan Senin yang dimaksud enggak bersinggungan dengan mesin cetak. Artinya, jam 23.59 juga boleh karena, toh, masih Senin.
Dan enggak perlu punya klimaks. Toh, banyak tulisan di kumparan yang enggak ada klimaksnya. Asal jadi deh, gitu.
Soal klimaks-sebuah-tulisan ini Pak Dalipin pernah bilang, "Kenapa harus ribet soal klimaks. Enggak usah ada klimaks kan enggak apa-apa. Hidup ini juga datar-datar saja."
Saya sanggah. "Tapi, Pak, kan setidaknya harus menghibur pembaca? Kalau yang terhibur hanyalah penulisnya, namanya masturbasi," kata saya.
ADVERTISEMENT
"Enggak dong," ujar beliau.
"Jadi, apa faedahnya tulisan ini?" tanya saya.
Siap-siap. Ini jawaban beliau:
Begitulah. Itu maksa tapi saya amat menghargai upayanya menghibur saya. Saya iya-iya saja.
Tapi bukan niatan saya menjadikan kumparan sebagai tempat sampah. Kalau enggak mendidik, ya menghibur, ya saya minta maaf saja. Sudah berupaya.
Ya, memang, tak ada yang sempurna. Redaktur Otomotif kumparan, Gesit Prayogi, saja pekan lalu nabrak saat parkir mobil. Ini dunia yang enggak terprediksi.
Berjanji menulis sepekan sekali. That was both blessing and a curse. Kami melakukannya. Mengapa anda tidak?
ADVERTISEMENT
***