Konten dari Pengguna

Pak Dalipin di Era Google Voice Typing

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
1 November 2019 15:34 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di atas tuts, jemari Pak Dalipin bergerak kaku. Jari tangan beliau ada 10, yang digunakan hanya dua--kadang cuma telunjuk, kadang hanya jari tengah.
ADVERTISEMENT
Aktivitas Pak Dalipin seperti itu terlihat normal saja, jika ini adalah tahun 1987. Tapi sekarang kan sudah tahun 2019 dan di hadapan Pak Dalipin bukan mesin tik melainkan bluetooth keyboard canggih.
Kecepatan mengetik Pak Dalipin sungguh lambat. Menunggu beliau menyelesaikan suatu tulisan adalah ujian bagi kesabaran hati dan pikiran.
---Untungnya, kesabaran hati dan pikiran saya sudah teruji kala dulu menunggu Pak Anton Aprianto (kini Redaktur Eksekutif Tempo.co) mengedit tulisan saya.
Durasi Pak Dalipin mengetik bertambah lama karena beliau sering mendadak berhenti dan merenung padahal baru satu kalimat yang dibuat sejak "perenungan" sebelumnya.
Berhenti, merenung, membaca-baca lagi tulisan di internet untuk memadatkan substansi pada tulisan. Itulah gaya menulis Pak Dalipin.
"Untuk menulis justru harus banyak baca, toh," kata Pak Dalipin kepada saya yang ada di hadapannya.
ADVERTISEMENT
Iya, Pak.
Detik ini masih pagi, 1 November 2019. Saya dan Pak Dalipin sedang "bekerja" di kedai kopi: Ia menulis tulisannya, saya menulis tulisan ini.
Pikir-pikir, banyak kesamaan saya dengan Pak Dalipin pagi ini. Sama-sama menulis, sama-sama merokok, sama-sama minum kopi, sama-sama pakai kacamata.
Secara kasat mata, perbedaan kami pagi ini hanya dua. Pertama, usia beliau sudah "matang" sedangkan saya masih "mentah".
Perbedaan kedua, metode mengetik. Beliau mengetik menggunakan "dua" jarinya, sedangkan saya 10 jari ditambah Google Voice Typing.
Voice typing. Tinggal bicara, ucapan kita mendadak (dikonversi) jadi teks. Buah pikiran kita tertuang ke Google Docs atau Google Keep dalam sekejap. Magic.
Gambar ini diunduh dari pngfly.com. Thank you, Pngfly Team!
Saya pernah mendemonstrasikan voice typing ke Pak Dalipin, tapi nampaknya beliau tak tertarik. Ini yang beliau bilang setelah melihat voice typing bekerja:
ADVERTISEMENT
Reaksi 1:
Reaksi 2:
Reaksi 3 (pamungkas):
Ya, sudah. Apa mau dikata.
Menulis memang susah-susah-gampang. Pak Dalipin bilang, ada kok penulis yang kalau nulis tinggal nulis, enggak perlu (lama) membaca. "Namanya Emha Ainun Nadjib," kata beliau. "Karena 'membaca' itu satu hal, 'mau berpikir' adalah hal lain."
ADVERTISEMENT
Sebagai wartawan, saya gampang saja menulis berita. Tapi menulis "artikel-bukan-berita" rasanya memang sulit.
Sejenak kita ke tahun 2011, ketika saya masih wara-wiri liputan di lapangan. Kala itu, untuk menulis straight news, seringkali saya tidak perlu berada di kondisi yang serba-ideal. Maksud saya: Tidak harus ada rokok, tidak harus ada kopi, tempatnya tidak harus tenang, arus internet tidak harus lancar.
Dalam panas, dingin, terik, hujan, berisik, dan/atau bagaimana pun, saya bisa saja menulis berita. Ini termasuk di mana pun saya berada: Di warung nasi, di teras gedung KPK, di trotoar, di tempat parkir, bisa semua.
Tapi sekali lagi: Kala. Itu. Yang. Ditulis. Adalah. Berita. Hanya. Mindahin. Apa. Yang. Disaksikan. Ke. Sebuah. Teks.
ADVERTISEMENT
Giliran menulis tulisan-yang-bukan-berita, ampun deh. Saya sering enggak tahu lagi mau nulis apa. Termasuk. Ketika. Saya. Nulis. Bagian. Ini. Persis.
Pak Dalipin memberi saran: Banyak baca, banyak menulis. Nanti akan terbiasa menulis.
Ya, Pak.
Begini saja. Untuk sekarang, saya tayangkan tulisan ini saja. Dangkal tak masalah. Ini kan latihan.
Kelak saya akan bisa menulis tulisan yang dalam, mencerahkan, menghibur, membuai. Persis seperti tulisan Pak Dalipin atau setidak-tidaknya seasyik tulisan berjudul Komunisme Ini Begitu Menjemukan.
Mari...
Saya dan Pak Dalipin, berpura-pura seru. Fotografer: Tiara Hasna