Pandemi dan Logika Makan 20 Menit

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
26 Juli 2021 17:17 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
*catatan: Sebenarnya bukan cuma warteg tapi warung makan pada umumnya, namun saya tulis "warteg".
ADVERTISEMENT
Suasana makan di Vietnam. Image by Thomas G. from Pixabay.
Durasi makan 20 menit ini sedang ramai dibicarakan. Ada yang bilang mustahil bekerja menyediakan makanan dengan cepat, ada yang bilang makan secepat itu berbahaya, ada juga yang bilang sulit menegakkan aturannya.
Saya ingin berbagi perspektif lain, yaitu perspektif paranoia. Begini: Ketika pelonggaran "makan di tempat" itu diumumkan, saya langsung cemas. Kenapa? Karena makan di tempat dalam kondisi sekarang pada faktanya berbahaya. Dan itu tidak dapat dipungkiri.
Orang makan sudah pasti lepas masker maka potensi penularan virus langsung terjadi seketika. Maka harusnya, urusan "makan di tempat" tetap dilarang. Kegiatan makan harus menjadi aktivitas yang menyendiri, terpisah dari orang lain.
ADVERTISEMENT
Bila anda membaca ini kemudian merasa saya "sok sok mengatur", anda salah. Paragraf di atas bukan saya yang bilang tapi Doni Monardo sang Ketua Satuan Tugas COVID-19 (beliau sudah pensiun).
Sepanjang kariernya menangani pandemi COVID-19, Doni amat cakap baik dalam perencanaan maupun eksekusi. Untuk penerapan protokol kesehatan alias prokes, Doni amat disiplin hingga menjadi panutan bagi masyarakat se-Tanah Air.
Tapi pernah Januari lalu ia terpapar virus corona. Kok orang yang taat prokes seperti Pak Doni bisa terpapar? Kena dari mana? Diduga, dari aktivitasnya makan. Itulah mengapa ia bilang makan terpisah dari orang lain saja dulu. "Untuk sementara, makan bisa sendiri atau terpisah dari orang lain," kata Doni Monardo seperti di berita kumparan yang ini.
ADVERTISEMENT
Saya familiar sekali dengan warteg (dan warung nasi lain dalam bentuk apapun). Maka saya tahu di warung-warung itu besar kemungkinan seorang pengunjung bertemu pengunjung lain tanpa bisa dipastikan jejak mereka dari mana saja, serta kondisi kesehatannya bagaimana.
Warteg bukan cuma tempat makan melainkan juga menjadi sandaran lelah bagi mereka yang bekerja. Kurir, ojol, buruh, dan mereka para pencari nafkah tanpa punya kantor, melepas lelah di warteg. Maka itu saya cukup paranoia atas penyebaran COVID-19 dari pelonggaran ini.
Ya, saya tahu pelonggaran tersebut diberlakukan untuk mendongkrak perekonomian masyarakat. Tapi saya merasa ini tetap kurang bijak. Bak poco-poco, kebijakan ini rasanya tidak tegas.
Bila anda yang membaca ini merasa saya sok tahu, anda salah. Yang bilang paragraf di atas juga bukan saya tapi pengusaha warteg yang menjadi Ketua Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni.
ADVERTISEMENT
"Kelihatannya pemerintah ambigu, serba sulit. Maju salah, mundur pun salah, karena kebijakannya tidak tegas. Kebijakan itu dibuat untuk mempermudah bukan mempersulit apa lagi membahayakan," kata Mukroni seperti di berita kumparan yang ini.