news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Semata-mata

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
1 Februari 2021 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Kredit foto: rj z from Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
(Kredit foto: rj z from Pixabay)
ADVERTISEMENT
Sebenarnya tinggal belok kiri saja kemudian mobil yang saya kendarai akan tiba di parkiran. Tapi semata-mata agar mobil ngepot dan terlihat keren, sembari memutar setir ke kiri saya juga menarik rem tangan.
ADVERTISEMENT
Yang tak dipertimbangkan adalah sisa-sisa hujan yang membuat aspal jadi licin. Mobil Suzuki Sidekick itu memelintir hingga hampir terbalik.
Di dalam mobil ada dua penumpang: Panji—yang punya mobil—yang nampak pucat dan Thomas yang terbahak-bahak. Saya tertawa meski sebenarnya deg-degan juga.
Gublak-goblok sudah keluar dari mulut Panji tapi kami tahu si anak tambun itu enggak marah karena sempat bercanda menyanyikan lagu Indonesia Raya waktu menutup kaca (jendela Suzuki Sidekick masih pakai engkol belum electric power window—gerakannya seperti petugas upacara menaikkan bendera).
Malam Minggu kami meriah seperti biasanya dan yang akan kami lakukan adalah main biliar (billiard). Kala itu, tahun 2004, kami termasuk golongan anak-anak SMA di Bandung yang kecanduan billiard.
Betapa asyik billiard itu. Enggak ngos-ngosan, bisa sambil merokok, dan rasanya gaul aja gitu. Sembari main memang wajib mejeng karena bisa saja ada ciwik-ciwik yang menawan di ujung ruangan.
ADVERTISEMENT
Keseruan kami main bola sodok memuncak, biasanya, saat tiba hukuman bagi yang kalah: Merangkak di bawah meja billiard. Kami menyebutnya dengan istilah ngolong. Setiap ada loser yang ngolong, tugas teman-teman adalah menyodok-nyodok bokongnya dengan stik billiard.
Kami sudah sering main billiard sehingga kami tahu banyak "atlet-atlet" billiard yang menggantungkan hidupnya dengan cara berjudi. Nilai uang disepakati lalu pemenang mengambil semuanya.
Saya kenal beberapa pemain di antaranya, tapi tidak pernah bermain (berjudi) dengan mereka. Sampai pada malam itu. Semata-mata agar tidak penasaran.
Peraturannya gampang: Rp 50 ribu bagi yang memenangi 1 game "9 Ball".
Game pertama, saya kalah—tentu. Si atlet kemudian memberi semangat, merayu, agar pertandingan kami jalan terus. "Ayo balas," katanya memberi api semangat semu.
ADVERTISEMENT
Bertanding billiard tak cukup cuma bermodal keberuntungan. Malam itu Rp 250 ribu uang saya amblas diambil si "atlet". Sudah begitu, saya pula yang mesti bayar sewa meja.
Uang Rp 250 ribu tahun 2004 ya lumayan.
Semata-mata begini dan semata-mata begitu bikin masa muda saya banyak cerita. Tapi yang namanya "semata-mata", konon, bakal dipandang sebelah mata. Seperti tulisan ini yang semata-mata memenuhi deadline menulis sepekan sekali saya dan Pak Dalipin.