Setelah Moeldoko di Demokrat lalu Apa? Amandemen UUD?

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
8 Maret 2021 19:25 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Jansen Sitindaon merepresentasikan politikus muda yang energik. Gaya berbicara Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat itu berapi-api termasuk ketika menyanjung Jhoni Allen Marbun, senior sekaligus lawan bicaranya di talkshow Mata Najwa.
ADVERTISEMENT
Tak kurang dari empat kali Jansen menyebut kata "sakti" untuk menunjukkan kepada publik betapa lawan bicaranya itu jagoan di kancah politik. "Pertemuan (beberapa kader Demokrat dengan Moeldoko) itu jadi punya makna karena dihadiri oleh Jhoni Allen Marbun," kata Jansen.
Cerita dari Kongres Partai Demokrat di Bandung pada 2010 mungkin bisa sedikit menjelaskan siapa Jhoni Allen Marbun. Pada kongres tersebut, Anas Urbaningrum berhasil menjadi Ketua Umum Demokrat. Anas yang ketika itu sedang menjabat Ketua Fraksi Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat mengalahkan dua pesaingnya:
Pertama, Marzuki Alie—yang menjabat Ketua DPR; kedua, Andi Mallarangeng—yang menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga. Nama terakhir adalah yang secara pribadi didukung Susilo Bambang Yudhoyono sang inisiator Demokrat juga Presiden RI. "Didukung secara pribadi" artinya disokong modal dan promosi (pengaruh).
ADVERTISEMENT
Jhoni—termasuk Sutan Bhatoegana—adalah tim pemenangan Anas.
Saya tidak mengenal Jhoni, hanya tahu ia mudah diwawancarai. Ia tidak masalah mau membahas politik atau kasus korupsi, semalam apapun (biasanya tengah malam menjelang tenggat Koran Tempo—media saya dulu), Jhoni biasanya mengangkat telepon wartawan.
Kartu Jhoni cs terhadap Demokrat ada beberapa. Pertama, soal keluhan kader-kader yang keberatan atas mahalnya ongkos operasional dan ongkos menjadi kepala daerah dari Demokrat—nilainya mencapai miliaran rupiah.
Kartu kedua adalah Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Demokrat. Dalam perubahan termutakhirnya terdapat klausul bahwa Kongres Luar Biasa baru sah bila ada persetujuan Majelis Tinggi Demokrat (majelis ini kini dipimpin SBY dan tidak merestui KLB tersebut).
Alih-alih melemahkan, hal ini justru membuat Jhoni punya alasan "menyelamatkan" Demokrat dari politik dinasti Cikeas.
ADVERTISEMENT
Kartu ketiga adalah soal dukungan kader terhadap Jhoni cs. Harus diakui "orang-orang Anas" ini memang kuat di akar rumput. Ketika SBY bilang hanya sedikit perwakilan cabang (DPC) yang ikut KLB, wartawan tidak sungguh-sungguh bisa memverifikasi itu. Bisa jadi jumlahnya lebih banyak, kendati mungkin saja jumlahnya lebih sedikit.
Jhoni lah, menurut Jansen, center of gravity gerakan kudeta.
Bola api kudeta membesar akibat keterlibatan Moeldoko, pensiunan Jenderal TNI yang menjabat Kepala Staf Kepresidenan. Kini Moeldoko menjadi Ketua Umum Demokrat versi Kongres Luar Biasa.

Apa skenario liarnya?

Wayan Agus Purnomo punya pandangan yang menarik soal kudeta ini. Ketika mendengar penjelasannya, sepintas memang ngawur. Tapi era sekarang yang ngawur dan yang tidak ngawur sudah tidak relevan lagi. Siapa Wayan bisa dilihat di artikel saya yang ini.
ADVERTISEMENT
Skenario pertama, tentu, adalah Demokrat berjalan dengan dualisme kepemimpinan dan selama itu pula persidangannya akan bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara. Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, hingga Partai Berkarya pernah punya masalah serupa. Di ujung memang ada islah namun sebelum itu terjadi memang adu kuat saja.
Skenario kedua, dan ini yang "liar", adalah rencana mengamandemen UUD 1945 utamanya agar Joko Widodo bisa kembali menjadi presiden di 2024. Ngawur? Sebentar, begini penjelasannya:
Elite politik sekarang ini sudah terkonsolidasi. Semua sudah anteng. Sudah begitu, tidak ada ketua umum partai politik yang cukup kuat untuk menjadi presiden—mungkin kecuali Prabowo Subianto.
Sehingga menunggu regenerasi kepemimpinan adalah pilihan yang logis juga praktis. Semua aman, semua senang.
ADVERTISEMENT
Mungkinkah mengamandemen UUD? Dengan tambahan kekuatan Demokrat DPR yang hampir 8% itu, agaknya bisa. Apalagi kata Wayan begini: "Konstitusi itu kesepakatan bukan kitab suci yang enggak bisa diubah."
Mungkin sekarang pertanyaannya: Akan sengawur itukah?