Wahai Editor

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
25 Mei 2020 21:42 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Naskah berita majalah Tempo itu dicetak di kertas bekas, kertas yang satu sisinya sudah dipakai tapi sisi lainnya masih putih kosong. Judul salah satu berita edisi Mei 2015 tersebut KOMIK GERILYAWAN DAN PANDUAN PERANG, memang dicetak huruf kapital.
ADVERTISEMENT
Di bagian atas kertas ada kotak yang harus diparaf oleh tiga orang: Redaktur foto, redaktur piket, dan redaktur bahasa. Masing-masing redaktur sudah memberikan jejak, lengkap dengan jam berapa-menit berapa mereka mengisinya.
Tugas kertas itu sesungguhnya sudah selesai lima tahun lalu. Tapi kertas (yang diam-diam aku menyimpannya) itu barusan aku pegang lagi, baca-baca lagi, dan aku masih saja terpukau dengan kilau prosesnya.
"Kilau proses" yang aku maksud: Bagaimana sang redaktur bahasa berjibaku memberangus apa-apa yang salah. Apa-apa yang boros. Apa-apa yang enggak pas. (...ada tiga "apa-apa" juga di paragraf ini, mungkin mestinya diberangus juga)
Bagaikan Lionel Messi di kotak penalti Bayern Munich medio Mei 2015, kertas itu menjadi "arena berdansa" si redaktur bahasa. Dengan pulpen merahnya, dia menari-nari dari awal hingga ujung kata.
ADVERTISEMENT
Betapa saya kagum dengan kerja-kerja detail seperti itu. Sebuah pekerjaan penuh ketelitian. Butuh kecermatan dan pengalaman. Dan mungkin butuh juga suntikan kafein.
Di dunia tulis-menulis—atau setidaknya di dunia kewartawanan, kerja editor memang mesti meluruskan, mempercantik, hingga mempertegas naskah (berita).
Pekerjaan editor bukan hanya soal tipo—bila cuma begitu maka kelak ia akan tergantikan oleh artificial intelligence machine—tapi juga soal konteks bertutur.
ADVERTISEMENT
Maka apresiasi untuk mereka ada di tempat tersendiri. Misalnya begini kalau di novel:
Karena memang cuma manusia, maka editor sering pula tak sempurna. Kita wartawan pernah ramai membicarakan kesalahan editor suatu surat kabar sehingga muncul istilah Fakta Warsawa yang seharusnya Pakta Warsawa (pakai P). [Pernah kusentil di sini: Wartawan Kurang Baca]
ADVERTISEMENT
Kemudian tak kalah heboh, "nabi" ditulis (maaf...) "babi". Memang tuts "n" dan "b" bersebelahan, tapi mestinya tidak boleh jadi alasan.
Semua kesalahan (baik yang telanjur sampai di tangan pembaca atau tidak) membuat para redaktur itu berevolusi, mengembangkan diri. Belajar dari adaptasi.
Sering saya mengingatkan (terutama diingatkan) agar tidak salah ketik bahkan untuk berkirim chat. "Merepresentasikan kebodohanmu," katanya.
***
Tulisan ini dipersembahkan untuk seluruh editor di muka bumi. Kepada mereka yang sering cerewet mengoreksi. Kepada dia yang pergi di tengah pandemi. Sungguh, tetap abadi di hati.
(ilustrasi ini dibuat oleh Indra Fauzi/kumparan)