Hidup di Bali dan Kepuasan Pancaindra

Robertus Krisnanda
Penulis magang untuk kumparan. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Menulis mengenai fenomena sosial, beberapa di antaranya menjuarai lomba dan beberapa yang lain dibukukan.
Konten dari Pengguna
15 April 2021 12:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Robertus Krisnanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berkunjung ke tempat idaman belum tentu menimbulkan kepuasan karena keterbatasan waktu. Paling tidak itu kesimpulan yang saya dapat dari dua kali hidup di Bali sebagai wisatawan pada tahun kedua perkuliahan. Pengalaman pertama hanya lima hari, sedang yang kedua malah cuma tiga hari.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada pengalaman itu, saya berpikir cara terbaik untuk mengatasi ketidakpuasan memang bukan berkunjung. Solusinya adalah tinggal dan merasakan hidup sehari-hari. Hidup di Bali untuk waktu yang lebih lama adalah pikiran saya waktu ini.
Tahun 2019 saya kembali ke Bali. Tidak tanggung-tanggung! Dua kali dengan selisih hitungan minggu. Total waktu saya hidup di Bali hampir dua bulan pada saat itu.
Jangan membayangkan liburan. Hidup di Bali ini dilakukan untuk kebutuhan penelitian tugas akhir. Jadilah saya benar-benar merasakan kehidupan sehari-hari di Bali termasuk makan, “minum”, dan berkegiatan selayaknya orang Bali.
Arak-arakan Ogoh-ogoh Pada Malam Pengerupukan (Foto: Robertus Krisnanda
Di luar penelitian, saya mendapat pengalaman hidup di Bali yang tidak mungkin dialami pada kunjungan wisata. Saya berkesempatan merayakan Pengerupukan – ritual sebelum Nyepi, dan Catur Brata Penyepian pada hari Nyepi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Oleh teman yang adalah warga lokal, saya berkesempatan hadir ke resepsi pernikahan adat Bali dan hampir ikut Melukad – kalau saja Tirta Empul hari itu tidak berdesakan. Bagian terbaiknya adalah mengikuti Aksi Parade Budaya Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa untuk ikut serta perjuangan krama Bali menjaga laut yang disucikan.
Aksi Parade Budaya Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (Foto: Robertus Krisnanda)
Setelah semua urusan selesai, saya kemudian pulang ke Yogyakarta menggunakan bus. Menurut banyak orang perjalanan lambat seperti menggunakan bus cenderung meditatif dan reflektif. Muncullah pertanyaan dari diri saya sendiri, “kenapa hidup di Bali serasa begitu membekas?”
Saya tidak langsung menemukan jawabannya dalam perjalanan pulang itu. Tapi ketika rasa ingin ke Bali itu muncul lagi, saya menemukan jawabannya.
Bali sangat membekas karena Bali dialami oleh keseluruhan pancaindra. Penglihatan, peraba, pengecap, pendengar, dan pembau merasakan Bali. Kepuasan pancaindra dialami dengan hidup di Bali. Mari kita bahas satu per satu.
ADVERTISEMENT

Kepuasan Pancaindra Ketika Hidup di Bali

Mengenai penglihatan, mungkin ini adalah alasan orang mengidamkan suatu tempat. Tawaran pemandangan indah yang menyejukkan mata tentu sulit untuk ditolak.
Tidak perlu lanskap matahari tenggelam di Kuta atau terasering sawah di Ubud, tinggal di perkotaan Denpasar saja sudah cukup. Beragam pura di pinggir jalan, rumah dengan pintu gebyok, tembok dengan paduan warna asli batu dan terakota saja sudah menyegarkan mata untuk mendapat kepuasan pancaindra bagian penglihatan.
Gerbang masuk pekarangan rumah (Foto: Robertus Krisnanda)
Kepuasan pancaindra pada indra peraba juga didapatkan dengan hidup di Bali. Saya memegang banyak benda yang tidak pernah atau setidaknya jarang saya pegang. Canang, penjor, udeng, nasi jinggo berbungkus daun pisang dan kain endek Bali adalah beberapa di antaranya.
Umat Hindu mempersembahkan canang sebelum melukad (Foto: Robertus Krisnanda)
Kemudian jika berbicara mengenai indra pengecap hampir semua tempat juga memiliki gastronomi andalannya masing-masing. Tapi Bali tetap yang teristimewa karena memiliki base genep atau bumbu genap. Bumbu ini terdiri dari belasan rempah dan bisa ditemui di hampir semua masakan khas Bali.
Base genep dalam sepiring nasi campur (Foto: Robertus Krisnanda)
Kepuasan pancaindra selanjutnya adalah pendengar. Dari percakapan sehari-hari orang Bali, indra pendengar mendapat stimulus menarik karena logat dari Bahasa Bali yang kaya nada. Selain itu setiap pukul 6.00, 12.00, dan 18.00 dari pengeras suara di banjar dan siaran televisi akan terdengar Sembahyang Tri Sandya.
ADVERTISEMENT
Saya banyak mendengarkan musisi dari Bali seperti Nosstress, The Hydrant, dan Navicula sebelum datang ke Bali. Selama dua bulan di Bali saya berulang kali mendapat kesempatan menonton penampilan musisi tersebut.
Nosstress dan Sandrayati Fay (Foto: Robertus Krisnanda)
Indra pembau mungkin janggal dan sulit ditemui padanannya di tempat lain. Percayalah, Bali adalah pulau yang wangi. Semenjak tiba – baik di bandara maupun pelabuhan, semerbak bau dupa akan tercium. Dupa sendiri dipakai umat Hindu Bali dalam sembahyang sehari-hari.
Canang, dupa, dan matahari terbit di Sanur (Foto: Robertus Krisnanda)
Begitulah cara Bali meninggalkan kesan yang membekas. Bali yang dirasakan seluruh pancaindra, membuat pengalaman di sana susah dilupakan dan seakan memanggil untuk datang kembali.