Cukai minuman berpemanis di Jawa Barat, dilema industri dan kesehatan

Rolip Saptamaji
Founder Poligrabs Infographic
Konten dari Pengguna
7 Oktober 2022 16:28 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rolip Saptamaji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi minuman berpemanis, Photo by https://unsplash.com/@elsaolofsson
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi minuman berpemanis, Photo by https://unsplash.com/@elsaolofsson

Dilema rencana penerapan cukai minuman berpemanis di Jawa Barat

ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, wacana cukai minuman berpemanis kembali bergulir akibat kasus viral di media sosial tentang seorang mengenai konsumen terkena somasi oleh merk dagang minuman manis. Perguliran wacana ini memancing banyak pembahasan tentang bahaya minuman berpemanis bagi kesehatan dan pentingnya kontrol pemerintah terhadap kandungan pemanis dan peredaran minuman berpemanis melalui cukai seperti yang dikenakan pada tembakau dan alkohol. Tekanan ini kemudian mendorong pemerintah memastikan minuman berpemanis masuk kedalam cukai pada tahun 2023.
Bagi Jawa Barat, kebijakan cukai minuman berpemanis memiliki dampak seperti dua mata koin. Berdasarkan data dinas kesehatan, terdapat hampir 2 juta orang penderita diabetes di jawa barat terutama di kota-kota besar jawa barat yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang (Dinkes Jabar, 2022). Kontrol pemerintah terhadap minuman berpemanis diharapkan mampu menurunkan jumlah penderita diabetes atau setidaknya mengurangi resiko penambahan jumlah penderita diabetes di Jawa Barat. Namun pada sisi lain, banyak kota di Jawa Barat yang bergantung pada sektor industri dan perdagangan minuman sehingga kenaikan harga akibat cukai akan berdampak bagi ekonomi masyarakat.
ADVERTISEMENT

Wacana cukai minuman berpemanis

Wacana cukai minuman berpemanis sebenarnya bukanlah wacana baru. Pada awal 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menggulirkan wacana ini untuk meningkatkan pendapatan negara dari cukai. Sehingga penetapan cukai minuman berpemanis masuk dalam target penerimaan negara pada tahun 2023 merupakan penegasan dari rencana tersebut.
Penerapan cukai ini merupakan bagian dari kekhawatiran pemerintah mengenai peningkatan persentase penderita diabetes melitus yang meningkat dari 6,9% pada 2013 menjadi 8,5% pada 2018, sedangkan persentase obesitas pada periode yang sama naik dari 14,8% menjadi 21,8%. Perlu diketahui bahwa obesitas dan diabetes juga merupakan faktor utama pemicu risiko penyakit jantung, terutama pada usia lanjut.
Kecenderungan peningkatan jumlah yang signifikan pada penyakit tidak menular seperti diabetes dan obesitas perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah terutama terkait dengan komponen indeks pembangunan manusia. Dampak lain adalah meningkatnya alokasi biaya yang harus dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan untuk pengobatan penyakit katastropik termasuk diabetes yang setiap tahunnya mencapai Rp 20 triliun. Sementara, pembiayaan untuk pengobatan penyakit jantung juga terus meningkat dari Rp 4,4 triliun pada 2014 ke Rp 9,3 triliun pada 2018. Oleh karena itu tindakan preventif seperti kontrol melalui cukai merupakan tindakan penting yang perlu dilakukan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT

Memahami cukai minuman berpemanis

Cukai berbeda dengan pajak, meskipun secara umum dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh negara. Pajak merupakan iuran atau pungutan wajib yang bersifat memaksa dan digunakan untuk membiayai keperluan pemerintah atau dengan kata lain pajak diterapkan dalam fungsi budgeter. Sementara cukai merupakan pungutan negara terhadap barang-barang yang memiliki karakteristik tertentu yaitu eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari konsumsi barang tersebut. Fungsi cukai lebih pada fungsi kontrol atau fungsi regulerend. Dalam hal ini, minuman berpemanis ditetapkan sebagai objek yang perlu dikendalikan melalui cukai.
Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai, minuman berpemanis memenuhi syarat untuk dimasukkan sebagai objek cukai karena merupakan barang yang konsumsinya harus dibatasi, peredarannya harus diawasi, barang yang penggunaannya menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan serta barang yang pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Penerapan cukai terhadap gula ataupun minuman berpemanis juga telah diterapkan oleh beberapa di Asia Tenggara seperti Malaysia (2019), Filipina (2018), Thailand (2017), dan Brunei darussalam (2017).
ADVERTISEMENT

Dampak cukai minuman berpemanis

Terlepas dari argumentasi manfaat cukai minuman berpemanis sebagai instrumen untuk menambah penerimaan dan fungsi kontrolnya, kebijakan ini memancing respon negatif dari kalangan pengusaha makanan dan minuman. Pada sisi bisnis, kebijakan ini akan berdampak langsung bagi penurunan konsumsi dan pengurangan keuntungan, atau bahkan pemutusan hubungan kerja pada sektor manufaktur akibat penurunan penjualan. Sementara tren penurunan konsumsi minuman berpemanis sendiri sudah terjadi bahkan sebelum masa pandemi.
Sejak tahun 2020, volume produksi minuman ringan turun 21% dibandingkan tahun sebelumnya, begitu juga dengan jenis minuman air berperisa yang turun hingga 24%, dan susu berperisa yang turun hingga 11%. Sementara, hingga tahun 2021 tercatat bahwa terdapat 600 perusahaan menengah dan besar, serta 1,6 juta usaha kecil yang memproduksi minuman berpemanis. Oleh karena itu, kebijakan cukai akan sangat memberatkan bagi sektor industri makanan dan minuman.
ADVERTISEMENT

Dampak bagi ekonomi Jawa Barat

Sementara, di Jawa Barat sendiri terdapat 87 perusahaan menengah dan besar yang bergerak di bidang industri minuman (Kemenperin, 2022) dan 791.425 UMKM yang bergerak di sektor makanan dan minuman. Sehingga, dampak penurunan penjualan akibat kenaikan harga pada minuman berpemanis memiliki dampak langsung bagi sektor ini di Jawa Barat. Dampak pemutusan hubungan kerja industri dan UMKM akibat penerapan cukai minuman berpemanis menjadi dampak negatif yang perlu dipersiapkan oleh Pemerintah Jawa Barat untuk menerapkan kebijakan ini.
Selain dampak pemutusan hubungan kerja, penerimaan pajak lain juga berpotensi menurun akibat penerapan cukai yang menaikkan harga minuman berpemanis. Dampak tersebut berasal dari menurunnya jumlah laba perusahaan dan pemutusan hubungan kerja, jika kedua hal tersebut terjadi maha penerimaan negara dari pph badan dan pph 21 akan menurun sementara pengurangan laba perusahaan akan mengurangi penerimaan pemerintah dan membebani perekonomian secara makro. Sehingga bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, penerapan kebijakan cukai minuman berpemanis memerlukan persiapan kebijakan lanjutan yang bersifat preventif pada bidang perindustrian dan perdagangan.
ADVERTISEMENT

Pola diet dan cukai minuman berpemanis

Kontroversi penerapan cukai minuman berpemanis yang telah diwacanakan sejak tahun 2014 dan terus tertunda tidak hanya berasal dari penolakan para pengusaha makanan dan minuman namun juga dari pola konsumsi masyarakat. Menjamurnya industri dan usaha minuman berpemanis muncul dari permintaan yang juga tinggi. Pendapat bahwa cuaca panas mendorong permintaan minuman berpemanis memang ada benarnya namun serangan iklan pada media yang sangat masif dan jaring peredaran komoditas yang sangat luas juga mampu menciptakan permintaan tersebut (Maulida, 2022).
Selain itu, pilihan konsumsi produk makanan dan minuman juga sangat berkaitan dengan status sosial ekonomi masyarakat. Produksi minuman berpemanis yang melibatkan manufaktur skala besar mampu menekan harga jual sehingga harga yang diterima oleh konsumen relatif murah. Pertimbangan pembelian pada kelas menengah dan menengah bawah pada komoditas minuman berpemanis juga sangat ditentukan oleh harga yang murah yang ditawarkan produsen, selain aksesnya yang mudah. Sayangnya, hal ini juga terjadi hampir di seluruh negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Produk murah, pemasaran yang mewah dan jaringan distribusi yang kuat tanpa edukasi tentang gizi dan intervensi pemerintah membuat minuman berpemanis seakan menjadi bagian yang melekat dari kebiasaan masyarakat. Sehingga, upaya pengendalian tidak cukup hanya mengandalkan mekanisme pungutan melalui cukai. Intervensi gizi juga sangat penting untuk dilakukan dari sisi konsumen dalam rangkaian penerapan cukai minuman berpemanis.

Simpulan

Penerapan kebijakan cukai minuman berpemanis yang akan diterapkan pada tahun 2023 memiliki dampak baik dan buruk sekaligus bagi Jawa Barat. Potensi penambahan penerimaan negara dari cukai minuman berpemanis memiliki resiko pengurangan pendapatan negara dari pajak penerimaan badan (pph 21) dan munculnya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja pada sektor makanan dan minuman. Kebijakan ini juga berpotensi memancing reaksi negatif dari masyarakat sebagai konsumen yang kehilangan pilihan komoditas makanan dan minuman manis dengan harga murah di pasaran.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, Pemerintah Jawa Barat perlu mempersiapkan kebijakan dan program pendukung bagi penerapan kebijakan cukai minuman berpemanis. Kebijakan tersebut antara lain; kebijakan preventif bagi pemutusan hubungan kerja di sektor makanan dan minuman, sosialisasi penerapan cukai minuman berpemanis bagi pelaku usaha, edukasi batas gizi tambahan pada pelaku usaha, dan penguatan edukasi gizi bagi masyarakat umum. Selain itu, penerapan bertahap pada cukai minuman berpemanis juga perlu dilakukan berdasarkan klasifikasi objek cukai.

Sumber

ADVERTISEMENT